Ormas Islam Dibubarkan, Ustaz MIY: Bagian dari War on Islam
Mediaumat.news – Merespon pembubaran ormas Islam yang dikaitkan dengan khilafah, Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (MIY) menilai bahwa ini tidak bisa dilepaskan dari konteks global yakni war on radicalism yang sebenarnya adalah war on Islam.
“Setelah war on terrorism berjalan dan sukses, Barat melihat ternyata masih cukup banyak komponen dari kekuatan umat Islam itu yang tidak bisa dijaring melalui program war on terrorism karena tidak semua dari mereka itu commited violance yakni melakukan tindak kekerasan. Mereka lalu meluncurkan lanjutan dari war in terrorism yaitu war on radicalism. Sama seperti war on terrorism, war on radicalism itu juga hanyalah kedok untuk maksud sesungguhnya yaitu war on Islam,” ujarnya dalam acara Live FGD Spesial elSAD & PKAD: Pembubaran Ormas Islam, Ada Apa dengan Khilafah? Sabtu (9/1/2021) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Menurutnya, dari dua dokumen penting yang dikeluarkan oleh Rand Corporation dapat dipahami bahwa Barat saat ini memang sedang melancarkan war on radicalism. “Sebelumnya mereka melancarkan war on terrorism. Dan kita semua sudah tahu bahwa war on terrorism itu hanyalah kedok atau mask, topeng untuk menutupi maksud sesungguhnya yakni war on Islam,” tuturnya.
Ia menilai, Barat sangat tahu bahwa upcoming challenger yakni penantang paling potensial di masa yang akan datang itu tak lain adalah Islam atau dunia Islam. “Mereka tahu persis bagaimana ajaran Islam, mereka tahu persis bagaimana sejarahnya, dan potensi kekuatan yang dimiliki dunia Islam secara faktual dari sisi jumlah pengikutnya yang saat ini sudah mencapai 1,7 miliar menghuni wilayah-wilayah yang strategis. Baik secara geopolitik maupun strategis dari sisi geoekonomi,” ungkapnya.
“Lebih dari 60-70 persen cadangan minyak dan gas dunia itu ada di dunia Islam. Belum lagi sumber-sumber tambang mineral dan sebagainya. Jadi, mereka tahu persis bahwa upcoming challenger itu adalah dunia Islam,” imbuhnya.
Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa Barat menilai upaya umat Islam untuk kembali pada kejayaannya setelah kemundurannya yang panjang semenjak runtuhnya Khilafah Islamiyah 1924 itu dipandang sebagai ancaman bagi Barat.
“Dan bagaimana agar itu tidak menjadi ancaman? Dunia Islam, kata mereka, harus dibuat ramah terhadap nilai-nilai Barat. Karena itu kemudian diperlukan pemetaan kekuatan dunia Islam itu termasuk di dalamnya untuk memilah dan memilih siapa yang bisa dijadikan sebagai kawan dan siapa yang menjadi lawan. Intinya mereka mengatakan yang menjadi lawan itu adalah kelompok yang mereka katakan kelompok fundamentalis. Menurutnya, ciri utama adalah yang menginginkan syariah kaffah apalagi khilafah,” bebernya.
Kemudian, lanjutnya, tiga kelompok Islam lainnya yakni kelompok modernis, tradisionalis dan sekularis direngkuh oleh Barat untuk melawan kelompok fundamentalis. “Inilah yang dikatakan oleh Daniel Pipes bahwa tujuan jangka pendek dari perang ini haruslah untuk menghancurkan Islam militan. Namun tujuan jangka panjangnya adalah modernisasi Islam artinya mereka hendak mengembangkan Islam model Barat,” ujarnya.
Ia menilai yang Barat lakukan dalam memerangi kelompok fundamentalis ini adalah yang sekarang ini dirasakan umat Islam di negeri ini. “Jadi, itu yang saya maksud bahwa apa yang terjadi di negeri ini itu sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari konteks global,” tandasnya.
Ia mengungkapkan yang Barat lakukan itu pertama, melabeli setiap Muslim yang menginginkan penerapan syariah sebagai fundamentalis, ekstrimis, pengecut dan pengacau. “Kelompok ini dianggap sebagai hendak menghancurkan negara ini. Hendak mensuriahkan Indonesia. Hendak merusak tatanan. Mengacau segala macam. Menimbulkan intoleransi,” ungkapnya.
“Padahal siapa yang merusak negara ini? Siapa yang korupsi? Siapa yang menjual aset negara? Siapa yang menjual Indosat? Siapa yang menjual murah gas Tangguh? Siapa yang korupsi bansos? Siapa yang menyembunyikan Harun Masiku? Semua orang tahu bahwa itu tidak ada hubungannya dengan yang dikatakan sebagai kelompok fundamentalis itu. Tidak ada hubungannya dengan FPI maupun HTI,” tegasnya.
Kedua, merusak pemahaman tentang konsep syariat tentang jihad dan khilafah. Ia menilai itu terjadi saat ini.
“Bahkan sekarang ini materi khilafah itu sudah digusur dari 155 buku sekolah di lingkungan Kementrian Agama. Bagaimana bisa materi yang ada di buku ajar selama puluhan tahun lamanya dan secara resmi dicetak oleh Kemenag lalu tiba-tiba dihilangkan begitu saja hanya karena dianggap radikal? Sejak kapan materi ini disebut radikal? Kan setelah saya sebut tadi konteks globalnya itu yakni ketika Barat melakukan war on radicalism itu. Dulu-dulunya kan enggak pernah,” ujarnya.
“Bahkan kalau kita mau lihat secara jujur, jihad itulah yang memberikan andil besar di dalam memerdekakan negara ini. Atas semangat apa itu Bung Tomo dan kawan-kawan di Surabaya berani melawan Belanda? Atas spirit jihad yang didengungkan oleh Syeikh Hasyim Ashari melalui fatwa jihad yang kemudian menjadi resolusi jihad dan Nahdhatul Ulama. Kalau tidak ada jihad, spirit apa yang mendorong? Ndak ada. Jadi, aneh kemudian sekarang ini syariat atau ajaran jihad yang begitu pentingnya itu lalu kita sendiri mengatakan itu sebagai ajaran radikal. Itu kan sesuatu yang luar biasa. Kalau dikatakan oleh orang kafir mungkin kita masih bisa agak memahami. Tapi kalau itu dikatakan umat Islam sendiri, apalagi pemimpinnya atau tokohnya atau menterinya, itu kan tragis. Tapi itu terjadi,” bebernya.
Ketiga, menurutnya, Barat mengembangkan Islam dalam konteks lokal. “Ada Islam Indonesia, Islam Nusantara dan seterusnya. Itu terjadi juga. Jadi, sekali lagi bahwa apa yang terjadi di negeri kita ini tidak bisa dilepaskan dari konteks global tadi,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia menilai bahwa ini penting untuk dipahami oleh umat Islam di negeri ini. “Pertanyaan pentingnya adalah apa yang harus kita lakukan? Tentu saja yang harus kita lakukan bahwa kita harus menghadapi ini semua dengan penuh kesabaran,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it