Potret Nyata Lesunya Ekonomi Indonesia
Ekonomi Indonesia ternyata tidak seindah yang digembor-gemborkan oleh pemerintah. Boleh saja secara akumulasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai kembali level 5%, tapi berbagai sektor alami penurunan yang juga tidak sedikit. Bahkan patut untuk dikhawatirkan.
Mulai saja dari Pasar Glodok, Jakarta. Makin sepinya pengunjung memaksa para pedagang untuk menutup tokonya di area yang terkenal sebagai sarang barang elektronik tersebut.
Tak ingin cepat mengambil kesimpulan, namun hal yang serupa ternyata juga terjadi pada WTC Mangga Dua dan Roxy Square. Nasibnya terlihat lebih buruk. Deretan toko tertutup rapat di sepanjang lorong, yang menandakan turunnya aktivitas ekonomi.
Asumsi awal dari berbagai kalangan pengamat, bahwa terjadinya penurunan daya beli masyarakat selama proses pemulihan ekonomi. Di sisi lain juga ada transformasi bisnis ke dunia online yang lebih efisien bagi konsumen maupun pedagang.
Namun kembali lagi ke data makro ekonomi. Hingga akhir semester I-2017, inflasi masih cukup terjaga pada level 3%, nilai tukar stabil di kisaran Rp 13.300 dan bahkan neraca perdagangan tercatat surplus sebagai efek peningkatan ekspor barang manufaktur.
Sepertinya memang tidak ada celah untuk melihat sisi buruk dari perekonomian Indonesia, apalagi di tengah kondisi global yang juga tak baik dan penuh ketidakpastian.
“Ekonomi tetap tumbuh tapi tidak diikuti oleh kegiatan usaha yang harusnya bisa tumbuh lebih cepat, bukan bagian dari perlambatan,” kata Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih kepada detikFinance, Kamis (27/7/2017).
Asumsi Lana juga diperkuat oleh data lain dari konsumsi semen nasional. Hingga semester I-2017, realisasinya mencapai sekitar 29 juta ton atau turun 1,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Konsumsi semen salah satu indikator kuat pembangunan berjalan baik atau tidak.
Tadinya kabar baik bisa diharapkan datang dari properti, sebagai sektor yang seharusnya cemerlang akibat kebijakan agresif pemerintah soal pembangunan. Akan tetapi Rumah.com Property Index mencatat (RPI) volume suplai properti mengalami penurunan signifikan di kuartal II-2017, yakni sebesar 9,6%.
Capaian tersebut berbanding terbalik jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang mencatatkan kenaikkan sebesar 11,4%. Sedangkan untuk harga properti residensial secara nasional berapa pada titik 103 pada kuartal II-2017 atau naik tipis 0,39% dibandingkan kuartal I-2017.
Cerita yang sama juga disampaikan oleh Lembaga konsultan properti asal Australia, Savills. Risetnya menunjukkan tingkat kekosongan (vacancy) pasar perkantoran di area CBD, Jakarta mencapai 18,4% atau naik 2,7% dibanding semester sebelumnya.
Permintaan yang tak tumbuh lebih tinggi dibandingkan suplai. Total pasokan pada semester I-201 mencapai 270 ribu m2, sementara penyerapan ruang kantor tidak sampai 63 ribu m2 atau hanya sekitar 1/3.
Savills juga menunjukkan data tentang mal yang makin sepi. Tingkat kekosongan area tenant di mal di Jakarta bergerak naik ke angka 10,8% pada semester I-2017 dari sebelumnya 10,3% di semester II-2016.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru akan merilis realisasi pertumbuhan ekonomi pada awal bulan depan. Semua berharap tentunya lebih baik data yang disampaikan sesuai dengan realitas.
Ekonomi tumbuh 5-5,5% menurut Lana tidak akan mengubah keadaan sekarang. Kue ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh sedikit sektor yang memang sudah masuk dalam kategori kuat.
“Kalau hanya sampai 5,5% itu bakal sulit. Pemerintah harus bisa mendekati 6% agar hampir semua sektor bisa akan meningkat,” tandasnya.[]detikfinance