Jual Batubara Terlalu Murah ke Cina, Siapa yang Rugi?
Mediaumat.bews – Terkait kesepakatan pembelian batubara Indonesia oleh Cina senilai 20,6 triliun untuk 200 juta ton batubara, Profesor Riset dan Cendekiawan Muslim Prof. Dr.-Ing Fahmi Amhar mempertanyakan siapa yang dirugikan?
“Kalau penjual dan pembelinya itu satu pihak yang rugi siapa? Rakyat, karena sumber batubara itu kan milik rakyat tapi negeri ini kan pakai mazhab liberalisme ya, jadi batubara yang sebenarnya milik rakyat tadi dikonsesikan,” ujarnya dalam acara Kabar Malam, Senin (30/11/2020) di kanal YouTube Khilafah Channel.
Menurutnya, Cina adalah pemilik cadangan batubara nomor empat terbesar di dunia yaitu sebesar 149 miliar ton. Sedangkan Indonesia nomor sepuluh dengan cadangan batubara sebesar 25 miliar ton. Tapi anehnya, Indonesia saat ini adalah eksportir batubara terbesar nomor satu di dunia sedangkan Cina importir batubara terbesar di dunia.
Prof. Fahmi menilai politik energi Cina saat ini adalah membeli batubara negara-negara lain kalau ada yang menjual dengan harga murah. Dan apabila cadangan batubara di negara lain sudah habis baru memanfaatkan milik sendiri, kalau perlu negara yang dulu menjual batubaranya ke Cina nanti bisa beli ke Cina. Karena secara global cadangan batubara di dunia diprediksi hanya cukup untuk 130 tahun saja.
“Jadi mengapa Cina membeli batubara kita? Itu antara lain karena ia melihat ada negara yang lebih murah ya, jadi batubara kita itu lebih murah daripada di Cina sendiri,” katanya.
Menurutnya, harga batubara di dunia saat ini adalah di 50 dollar/ton, tapi Cina membeli batubara dari Indonesia harganya tidak sampai 8 dollar/ton kalau dihitung dengan nilai perjanjian yang ditandatangani yaitu 20,6 triliun untuk 200 juta ton. “Harganya murah banget ya,” bebernya.
Ia melihat hal ini terjadi karena pemilik perusahaan yang mengekspor batubara dari Indonesia itu kemungkinan juga dimiliki oleh perusahaan yang mengimpornya di Cina.
“Jadi kalau perusahaan yang mengekspor dan mengimpor itu satu tangan suka-suka dia ya naruh harga,” katanya.
Fahmi mengungkapkan, sebenarnya pernah ada transaksi penjualan yang sangat murah semacam ini tahun 2002 di era Presiden Megawati. Indonesia pernah menjual gas bumi dalam bentuk LNG ke Cina yang harganya 2,4 dollar/mmbtu dengan kontrak jangka panjang 25 tahun. Karena banyak desakan akhirnya tahun 2016 perjanjian ini direvisi.
“Itu hampir sama, investornya LNG itu juga pihak yang membelinya gitu ya,” ungkapnya.
Menurut Fahmi, Indonesia tidak cukup mandiri dalam proyek-proyek raksasa di bidang energi karena butuh investasi yang besar dan tidak punya uang. Jadi kalau ada investor yang mau masuk, maka investor tersebut akan memberikan syarat yang bahwa nanti yang membeli harus investor itu juga sehingga harga jual hasil tambangnya murah dan Indonesia hanya bisa gigit jari.
Terakhir ia mengingatkan, inilah yang terjadi kalau swasta bermain yang rugi adalah rakyat karena batubara itu adalah milik rakyat. “Jadi selama mazhabnya liberalisme pemainnya swasta akan terjadi seperti ini,” pungkasnya.[] Agung Sumartono