Aktivis ’98: UU Buatan DPR Pro Kapitalis dan Rugikan Rakyat
Mediaumat.news – Aktivis ’98 Agung Wisnuwardana menilai kinerja DPR tahun 2020 ini dalam membuat dan mengesahkan UU cenderung pro kapitalis dan merugikan kepentingan rakyat.
“UU di negeri ini pro kepada para kapitalis pemegang modal termasuk di dalamnya para kapitalis asing dan tidak pro kepada kepentingan rakyat, bahkan cenderung merugikan rakyat,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Jumat (27/11/2020).
Salah satu indikasinya, menurut Agung, dalam satu tahun terakhir ini DPR memang banyak mengesahkan UU yang menuai kontroversi. Kenapa muncul kontroversi? Karena publik mengkritisi UU itu yang cenderung tidak memihak pada kepentingan rakyat tapi berpihak pada kepentingan kelompok politik yang ada di parlemen termasuk cenderung berpihak kepada pihak-pihak yang mendukung kelompok politik itu dalam memenangi kontestasi politik.
“Itulah yang menyebabkan DPR dianggap membuat atau mengesahkan UU yang menguntungkan diri sendiri, maknanya menguntungkan kelompok politik mereka,” ujarnya.
Ia menilai cinta sejati partai politik dalam sistem demokrasi saat ini adalah kepada para kapitalis pemegang modal. Menurutnya, sistem demokrasi itu berbiaya tinggi. “Dalam memenangi kontestasi politik, baik kontestasi pemilihan legislatif maupun kontestasi pemilihan eksekutif, kepala daerah maupun presiden, itu memerlukan biaya yang sangat tinggi. Dan biaya yang sangat tinggi itu tentu harus ada penyandang dana yang berasal para kapitalis pemegang modal,” ungkapnya.
Lebih lanjut, para kapitalis pemegang modal itu, menurutnya, tentu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan para kapitalis asing yang memang menginginkan SDA yang ada di negeri ini. “Penyandang dana ini tentunya tidak menyediakan makan siang gratis bahwa modal yang mereka berikan kepada calon eksekutif dan calon legislatif dalam memenangi kontestasi politik, tentu ada konsekuensinya,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa konsekuensinya adalah anggota DPR dan eksekutif harus menyiapkan UU atau peraturan yang tentunya memberikan peluang kepada penyandang dana yakni para kapitalis pemegang modal terutama dari asing untuk mendapatkan keleluasaan dalam mengeksploitasi kekayaan SDA di negeri ini. Para kapitalis menanamkan modal di negeri ini, tentu demi kepentingan kapitalisme yang ujungnya adalah kolonialisme yakni penjajahan.
“Itulah logika berkelindan dari sistem demokrasi yang akhirnya seperti benang kusut bahwa demokrasi berbiaya tinggi memerlukan para kapitalis dan para kapitalis membutuhkan peluang mengeksploitasi kekayaan sebesar-besarnya dan itu disiapkan oleh mekanisme demokrasi,” ungkapnya.
Menurutnya, banyak sekali contoh UU buatan DPR yang pro kapitalis, misalnya yang baru saja disahkan yakni UU Omnibus Law Cipta Kerja. “Isinya sangat merugikan rakyat. Sudah banyak kritik yang saya pikir poin-poin kritik itu bukan karena hoaks tapi betul-betul karena konten-konten dalam pasal-pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja itu cenderung berpihak kepada para kapitalis dan meliberalisasi sumber daya alam yang ada di negeri ini,” bebernya.
Demikian juga UU Minerba dan UU KPK. Ia menilai UU KPK itu cenderung mengebiri fungsi KPK. “Misalnya harus ada izin dalam proses penyadapan. Itu semua menunjukkan bahwa posisi KPK semakin dikebiri dalam UU KPK dan itu menimbulkan banyak kontroversi,” jelasnya.
Selanjutnya UU Mahkamah Konstitusi (UU MK). Menurutnya, bahwa titik krusial di negeri ini yang akan menentukan, apakah ini sesuai konstitusi atau tidak adalah MK. “Banyak perundang-undangan yang dibuat sebenarnya melanggar konstitusi, tetapi yang namanya hukum buatan manusia itu kan bisa diotak atik. Salah satunya dengan UU MK bahwa hakim MK itu periode jabatannya bisa diperpanjang satu kali masa periode lagi,” ujarnya.
Ia mengatakan awalnya sebenarnya jabatan hakim MK hanya lima tahun, tetapi ditambah satu periode lagi yaitu lima tahun tambahan sampai usianya 70 tahun. “Ini kan bagian dari endorsement kepada MK agar MK tunduk pada kekuasaan. Sementara, kekuasaan yang ada di negeri ini pro kepada para kapitalis. Akhirnya, maknanya apa? MK harus mengikuti arah keinginan dari para kapitalis,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it