Sejarawan: Ironis, Sejarah Boleh Dikaji tapi Dilarang Menghidupkan Semangatnya
Mediaumat.news – Presiden Joko Widodo telah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Baabullah pada Hari Pahlawan 2020. Pemberian itu disambut gembira oleh masyarakat. Namun di sisi lain, ada pejabat pemerintah yang memblokir film dokumenter sejarah Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN) yang menampilkan Sultan Baabullah dalam mengusir penjajah Portugis, dinilai Sejarawan Moeflich Hasbullah sebagai sebuah ironi sejarah Indonesia.
“Ketika sejarah dibicarakan hanya sebagai ilmu, sebagai pengetahuan masa silam, jasanya pada Nusantara, pada Islam Indonesia itu diakui oleh semua pihak, bahkan digelari sebagai pahlawan. Tapi, lucunya ketika akan diangkat kembali, semangatnya dihidupkan kembali untuk melawan pengaruh kolonial asing, misalnya menghidupkan kembali khilafah untuk melawan Barat itu dianggap sebagai ancaman. Itu ironisnya sejarah Indonesia,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Kamis (12/11/2020).
Menurutnya, lucunya lagi semua sejarawan Indonesia mengakui peran signifikan dan kehebatan ulama dulu melawan penjajah Barat. “Tapi, kalau sekarang itu sejarah dihidupkan kembali imajinasinya untuk melawan pengaruh asing itu diantisipasi dan diwaspadai sebagai ancaman. Itu ironisnya,” ujarnya.
Ia menilai, di Indonesia ini kalau sejarah sebagai ilmu no problem, tetapi sebagai imajinasi dan energi yang ingin dihidupkan kembali untuk melawan dominasi asing atau kekuatan Barat itu dinilai sebagai ancaman.
“Harusnya sejarah Islam di masa lalu itu termasuk kejayaannya, heroismenya dan sebagainya ketika dilihat sebagai kajian sejarah tidak ada masalah maka bagi umat Islam dihidupkan kembali pun energinya, semangatnya untuk melawan pengaruh Barat seharusnya didukung,” katanya.
Karena itu, menurutnya, Indonesia sekarang dalam ancaman yang sama, yakni pengaruh Barat terhadap Indonesia, hanya bentuknya yang berbeda. Tapi karena pengaruh Barat itu sudah sangat kuat di Indonesia, lucunya sebagian umat Islam dan sebagian sejarawan juga menolak. “Tidak pro kalau sejarah Islam itu dihidupkan kembali untuk melawan dominasi asing,” ujarnya.
Layak Digelari Pahlawan
Dijadikannya Sultan Baabullah sebagai Pahlawan Nasional, sebagai sejarawan, Moeflich Hasbullah senang sekali menyambut, karena Sultan Baabullah adalah Sultan Besar di wilayah Indonesia Timur pada abad 16.
“Sultan Ternate ini sangat layak untuk dijadikan pahlawan. Dan masyarakat di Nusantara pun senang sekali menyambutnya terutama masyarakat Islam dan Kesultanan Ternate di Ambon juga senang menyambutnya. Wali Kota sampai syukuran dengan pihak kesultanan dan masyarakat menyambut dijadikannya Sultan Baabullah sebagai Pahlawan Nasional,” bebernya.
Ia menilai peran Sultan Baabullah sangat signifikan. Sultan Baabullah adalah sultan Islam terbesar di wilayah timur selain Sultan Agung di Mataram pada abad 18. Jika di Wilayah Timur ada sultan terbesar pada abad 16, maka di Jawa ada Sultan Agung pada abad 18.
“Peranan beliau sangat signifikan. Beliaulah yang menamatkan intervensi politik Portugis di Wilayah Timur. Wilayah Ternate, Ambon, sampai Papua. Di tangan Sultan Baabullah, riwayat sejarah Portugis berakhir. Dialah yang mengusir dan mengalahkan tentara dan pasukan Portugis di Ternate. Sebagai sebuah menciptakan harga diri dan harkat martabat kesultanan Islam di Ternate,” terangnya.
Tentang motivasi perlawanannya, menurutnya, ada dua hal. Pertama, intervensi asing yang semakin kuat di Maluku terutama di Ternate. Kedua, kejahatan yang dilakukan oleh Portugis yang membunuh ayahnya, yaitu Sultan Khoirul Jamil.
“Ayahnya ditusuk dari belakang dan dibunuh dalam sebuah musyawarah damai. Dikhianati. Kemudian rakyat Islam Maluku bangkit yang dipimpin oleh anaknya yaitu Sultan Baabullah. Jadi, itu mungkin tentang qisas dalam hukum Islam. Pembalasan terhadap jahatnya Portugis ketika membunuh ayahnya. Itu perlawanan terhadap kejahatan dari aspek moral. Sedangkan aspek kebangsaan atau nasionalisme saat itu belum ada. Yang ada adalah perlawanan kesadaran penduduk pribumi, kesultanan Muslim, masyarakat Islam di Nusantara dengan intervensi asing yang mau menjajah Nusantara saat itu,” jelasnya.
Jadi, ia menilai motivasinya jelas agama karena mereka adalah Kesultanan Islam. Pemeluk Islam di Ternate, Maluku di bawah kepemimpinan Kesultanan Baabullah yang sudah mengalami Islamisasi ketika melawan intervensi asing Kristen Portugis ditambah lagi Portugis melakukan kejahatan dengan membunuh ayah Sultan Baabullah.
“Semakin lengkap motivasi untuk mengusir pengaruh Portugis di wilayah Timur dan sebagai Muslim lebih semangat melawan kejahatan kolonial. Jadi, motivasinya jelas agama, patriotisme dan semangat moral melawan kejahatan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it