Presiden Baraka City Disiksa Polisi Prancis, Represifnya Negara Demokrasi terhadap Aktivis Islam
Mediaumat.news – Penangkapan dan pemukulan terhadap Idriss Sihamedi, presiden dari organisasi amal Muslim Baraka City, oleh polisi anti huru hara Prancis dinilai Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana sebagai tindakan represif negara demokratis terhadap warga negara yang menyuarakan Islam.
“Kebanyakan orang membayangkan bahwa negara demokratis adalah negara yang menghormati hak-hak warganya, termasuk dalam menyuarakan pendapatnya, sehingga negara menjauhi tindakan-tindakan yang represif. Faktanya adalah bahwa tindakan represif negara bisa dilakukan oleh negara mana pun, termasuk negara kampiun demokrasi semacam Prancis,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Sabtu (17/10/2020).
Apalagi ada hal-hal yang secara kultural dan identitas, menurut Budi, itu dianggap bukan budaya dan identitas ‘pure’ dari negara tersebut. Islam dianggap sebagai ‘asing’ dan ‘musuh’, selama beradab-abad oleh negara-negara di Eropa, termasuk Prancis. Pengalaman interaksi di masa Perang Salib, dan konfliknya di dunia Islam, menjadi catatan historis yang tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja.
“Maka ketika ada aspirasi Islam yang dianggap ‘mengganggu’ kultur dan identitasnya, tindakan represif akhirnya dilakukan, tanpa melihat lagi apakah mereka negara demokratis ataukah bukan,” ujarnya.
Ia menilai dalam negara demokratis, secara teori kebebasan bicara itu hak seluruh warga negara. Namun lagi-lagi, negara demokratis pastinya memiliki imunitas untuk menjaga nilai-nilainya, maka dengan alasan ‘mengancam’ nilai-nilai demokrasi, kebebasan itu bisa dicabut. “Dan dalam konteks apa yang terjadi di Prancis, itulah yang terjadi,” ungkapnya.
Menurutnya, demokrasi awalnya adalah gagasan untuk melawan tirani, kesewenang-wenangan otoritas, baik raja, aristokrat, oligarki, dan semacamnya. Sehingga semua dikembalikan ke rakyat. Re (kembali) public (rakyat), demos (rakyat) kratein (kekuasaan).
“Namun prakteknya tidak semudah gagasan awalnya. Karena tetap saja yang jadi pertanyaan, nilai-nilai yang bersumber dari rakyat itu, nilai-nilai yang mana? Lalu bagaimana cara mendapatkan aspirasi rakyat itu?” tanyanya.
Selanjutnya, menurut Budi, ini terus menjadi perdebatan yang tidak pernah selesai dari apa yang disebut dengan demokrasi itu. Semua negara menganggap dirinya demokratis, dengan tafsirnya sendiri-sendiri, dengan praktiknya sendiri-sendiri. PBB mengeluarkan indeks demokrasi suatu negara, namun itu juga tafsir dari PBB, dan begitu seterusnya.
“Maka tidak heran, gagasan demokrasi mendapatkan kritikan, bahwa demokrasi adalah alat hegemoni sekelompok orang untuk mengelabui kelompok lain, dengan prosedur-prosedur yang seolah-olah disepakati bersama,” pungkasnya.
Seperti diberitakan republika.co.id kemarin, polisi menangkap Sihamedi setelah menggerebek rumahnya.
Menurut Baraka City, Sihamedi dipukuli dengan kejam, diborgol dengan paksa dan dihina. Istrinya tidak diperbolehkan memakai hijab selama kejadian tersebut, dan anak-anak mereka diancam serta disuruh tetap mengangkat tangan.
“Idriss dipukuli habis-habisan oleh petugas polisi yang menempelkan kepalanya ke ubin ketika dia tidak melawan dan bekerja sama,” sebut Baraka City dikutip dari laman 5pillarsuk, pada Kamis (15/10).[] Achmad Mu’it