Petaka Liberalisasi Investasi dan UU Omnibuslaw Ciptaker
Oleh: Aminudin Syuhadak (Direktur LANSKAP)
Ada sejumlah kekhawatiran banyak pihak, disahkannya UU Omnibuslaw Ciptaker Oleh DPR berpotensi besar menindas buruh, UU ini dinilai pada hakikatnya sebagai pintu masuk bagi perbudakan terhadap buruh kita. Banyak pihak khawatir, dengan alasan pemerintah mendongkrak investasi, dampak UU ini membuat negara ini semakin bergantung pada asing. Contohnya China.
Selama ini pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan investasi asing khususnya Investasi AS di Indonesia. Kunjungan-kunjungan Presiden AS dari mulai George Bush sampai Obama selalu dibumbui dengan keinginan Pemerintah Indonesia agar perusahaan-perusahaan Paman Sam tersebut meningkatkan investasinya di Indonesia. Pemerintah selalu beralasan bahwa peningkatan investasi asing akan meningkatkan perekonomian Indonesia yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Benarkah Investasi Asing khususnya Investasi AS telah meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia ?
Faktanya, selama ini investasi Asing ternyata lebih banyak merugikan dan menyengsarakan rakyat apalagi investasi yang ditanamkan oleh perusahaan-perusahaan AS. Ada 3 faktor yang bisa kita jadikan bukti bahwa Investasi AS telah banyak merugikan perekonomian Indonesia dan menyengsarakan rakyat.
Pertama, Investasi yang dilakukan perusahaan AS seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Freeport dan Newmont adalah investasi di bidang eksploitasi barang tambang. Sementara salah satu alasan pemerintah mengundang investasi asing adalah untuk mengatasi pengangguran, padahal investasi di bidang tambang tidak banyak menyerap tenaga kerja sehingga tidak akan mampu mengurangi pengangguran yang terjadi saat ini.
Kedua, Para Investor dengan prinsip kapitalis yaitu meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya telah mengakibatkan Kerusakan ekosistem dan lingkungan alam serta lingkungan sosial. Penambangan yang dilakukan oleh Freeport, New Mont dan beberapa perusahan tambang lainnya telah menghasilkan galian berupa potential acid drainase (air asam tambang) dan limbah tailing. PT Newmont telah merusak pantai buyat dan sumbawa Bagian barat dengan diikuti oleh aktivitas pembuangan limbah tailing ke laut dalam jumlah yang lebih besar yaitu mencapai 120.000 ton per hari, 60 kali lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dibuang Newmont di pantai buyat Minahasa Sulawesi Utara. Apalagi saat ini pemerintah telah mengizinkan penambangan di daerah hutan lindung maka terjadinya kerusakan hutan akan semakin bertambah, saat ini laju kerusakan hutan mencapai 1,6 – 2 juta hektar per tahun. Luas hutan Indonesia 50 tahun terakhir diperkirakan terus menyusut, dari 162 juta hektare menjadi kurang dari 100 juta hektare. Walhi mencatat 96,5 juta hektare atau 72 persen dari 134 juta hektare hutan tropis Indonesia telah hilang. Akibatnya kekeringan melanda berbagai daerah pada saat musim kemarau dan banjir terjadi dimana-mana ketika musim hujan tiba.
Ketiga, Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau kontrak karya selalu berpihak dan menguntungkan investor akan tetapi merugikan pemerintah dan rakyat dalam kasus Freport di Papua, Pemerintah indonesia hanya mendapatkan 18,72 % itupun 9,36 % miliki swasta sedangkan sisanya dimiliki Freepoort , padahal PT Freeport saat ini telah berhasil mengeruk lebih dari 30 juta ton tembaga dan 2,744 milyar gram emas di Indonesia dengan mengeksploitasi pertambangan di Papua, ironisnya jangankan meningkatkan kepemilikan saham untuk meningkatkan royalti saja pemerintah tidak memiliki kekuasaan.
Sementara dalam kasus blok Cepu Exxon mobile mendapat konsesi 50 % padahal berdasarkan hasil survei dan kajian (technical evaluation study, TEA) Humpuss Patragas tahun 1992-1995, cadangan minyak Cepu mencapai 10,9 miliar barel, lebih besar dari Cadangan minyak yang sebelumnya ditemukan di Indonesia secara hanya sekitar 9,7 miliar barel.
Dan yang lebih fantasisi lagi adalah kontrak karya gas di Pulau Natuna semua hasil gas 100 % milik Exxon mobile sementara pemerintah hanya mendapat pajak penjualan, maka saat ini exxon berusaha terus untuk memperpanjang kontrak tersebut yang sebenarnya harus sudah berakhir tahun 2005, hal ini dilakukan karena Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT merupakan salah satu sumber terbesar di Asia.
Oleh karena itulah investasi asing sebenarnya adalah kedok baru bagi imperialisme di bidang ekonomi. Dalam kasus Papua bisa kita saksikan kehidupan di kompleks Freeport tampak gemerlap, akan tetapi kontras dengan tingkat kemiskinan di Papua. Inilah salah satu penyebab rakyat Papua sangat mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan separatisme oleh OPM karena mereka menyaksikan ketidakadilan akibat kebijakan Pemerintah.
Sungguh sesuatu yang sangat memilukan ketika gerakan OPM ini didukung oleh Inggris dan Amerika padahal selama ini perusahaan-perusahaan mereka dengan begitu mudahnya menjarah SDA Papua. Maka yang sebenarnya terjadi di Papua saat ini bukan saja penjajahan secara ekonomi tapi juga secara politik oleh Amerika dan Inggris.[]