Islamofobia Zaman Modern Dimulai Dari Sayap Kanan AS dan Israel Namun Hingga di Arab Saudi dan UEA
Oleh CJ Werleman
Dalam pidato yang direkam sebelumnya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa minggu lalu, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan mengecam Pemerintah India sebagai salah satu negara sponsor kebencian dan prasangka terbesar di dunia terhadap Islam, dengan menyatakan bahwa tindakan itu merupakan ancaman bagi kehidupan 200 juta warga Muslim India.
“[Kaum Nasionalis Hindu] percaya bahwa India hanya khusus bagi umat Hindu dan orang lain bukanlah warga negara yang setara,” katanya, sambil melontarkan kritik terhadap Perdana Menteri India Narendra Modi atas pelanggaran HAM Pemerintahnya di Kashmir, yang dia gambarkan sebagai “kejahatan kemanusiaan yang serius”.
Khan juga mengidentifikasi kecenderungan permusuhan anti-Muslim di seluruh dunia, dan menyerukan PBB untuk mengakui Hari Internasional Melawan Islamofobia.
Tentu saja, India telah menjadi titik awal dalam perang global melawan Islamofobia di era ‘Perang Melawan Teror’, mengingat cara anggota partai yang berkuasa di India, Partai Bharatiya Janata (BJP) – dan organisasi paramiliternya Rastriya Swayamsevak Sangh (RSS) – yang tidak menyembunyikan keinginannya untuk secara etnis membersihkan hampir seperempat miliar kaum Muslim.
“Target kami adalah menjadikan India sebagai Hindu Rashtra pada tahun 2021,” kata Rajeshwar Singh, yang akan menjadi salah seorang pengurus RSS terkemuka pada tahun 2014. “Kaum Muslim dan Kristen tidak berhak tinggal di sini, jadi mereka harus menjadi orang Hindu atau dipaksa keluar dari sini. ”
Untuk mencapai tujuan ini, Pemerintah India berusaha membuat kehidupan kaum minoritas Muslim menjadi sangat tidak tertahankan. Undang-undang kewarganegaraan, yang mendiskriminasi kaum Muslim, telah disahkan – sehingga secara diam-diam mendorong kekerasan main hakim sendiri dan menstigmatisasi penganut agama Islam sebagai ‘penjajah’ yang rentan terhadap terorisme, dan digambarkan sebagai yang paling keras kepala dan merusak dari semua ungkapan Islamofobia.
Tentu saja, mengkaitkan Islam dengan terorisme sehingga kaum Muslim menjadi objek rujukan dalam wacana keamanan bukan satu-satunya domain politik arus utama India. Upaya untuk menemukan keyakinan agama dalam strategi kontra-kekerasan-ekstremisme dan kontra-terorisme telah menjadi bagian tidak terpisahkan di Inggris, AS, Eropa, dan tempat-tempat lain.
Namun yang sangat mengkhawatirkan adalah cara penyebaran wacana Islamofobia yang telah berkembang selama empat dekade terakhir.
Partai politik sayap kanan Israel dan AS bekerja sama untuk meyakinkan para pembuat kebijakan Barat bahwa ‘Terorisme Islam’ akan menggantikan Komunisme sebagai ancaman besar peradaban Barat berikutnya.
Memframing Islam sebagai Teror
Upaya untuk mengarusutamakan Islamofobia dengan mengaitkan Islam dengan terorisme dapat ditelusuri kembali kepada konferensi neo-konservatif dan kelompok sayap kanan Israel tentang terorisme internasional yang diadakan di Tel Aviv pada tahun 1979, dengan George H. Bush dan pendiri Partai Likud Menachem Begin di antara yang hadir, menurut Profesor Deepa Kumar, penulis Islamophobia and the Politics of Empire.
Tujuan konferensi tersebut adalah untuk mencapai kesepakatan di mana partai-partai politik sayap kanan Israel dan para anggota Partai Republik Amerika mulai mencari-cari akar aspirasi pembebasan Palestina dalam wacana terorisme.
Kumar mengatakan bahwa, meskipun konferensi tersebut “berfungsi sebagai awal dari sebuah proses baru – yakni proses menggalang demokrasi di dunia untuk berjuang melawan terorisme dan bahaya yang diwakilinya”, konferensi itu tidak menekankan hubungan spesifik antara terorisme dan Islam.
Namun hal ini berubah lima tahun kemudian, dengan diadakannya Konferensi Internasional kedua tentang Terorisme di Washington DC. Di sinilah kaum neo-kontra AS dan kelompok sayap kanan Israel mengkaitkan terorisme modern dalam radikalisme Islam dan Arab, kata Kumar.
Pada konferensi inilah Bernard Lewis, penulis The Crisis in Islam, menjadi intelektual publik pertama yang secara terang-terangan mengaitkan terorisme dengan Islam dengan menyatakan bahwa “Islam adalah agama politik”. Dia berpendapat bahwa, karena terorisme adalah tindakan kekerasan politik, istilah “terorisme Islam” bisa diterapkan, sambil berpendapat bahwa hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk terorisme Yahudi atau Kristen.
Sejak saat itu, partai politik sayap kanan Israel dan AS bekerja sama untuk meyakinkan para pembuat kebijakan Barat bahwa “terorisme Islam” akan menggantikan Komunisme sebagai ancaman besar peradaban Barat berikutnya.
Manfaat strategis dari pakta ini sangat jelas: dengan mengikat Islam dengan terorisme, kaum neo-konservatif akan mendapatkan perlindungan politik dari ambisi imperialistik mereka di Timur Tengah, sementara proyek kolonial kaum Zionis di Wilayah Palestina akan mendapatkan keuntungan karena mendapatkan simpati Barat atas perjuangan mereka melawan. “Terorisme” Palestina.
Dr Remi Brulin, seorang peneliti di Universitas New York, mengatakan kepada saya bahwa istilah “terorisme” sebagian besar tidak ada dalam wacana Amerika hingga dimulainya era pemerintahan Ronald Reagan yang mulai
menggunakan istilah ‘terorisme’ yang “sangat spesifik, sempit, dan didorong secara ideologis – yang diadopsi dari mereka yang terkait dengan gerakan Zionis neo-konservatif dan Likudite.
Wacana ini sebagian besar tetap stagnan, atau berada dalam batas-batas politik kaum sayap kanan AS, hingga terjadinya Serangan 11 September 2001. Namun, fiksasi pada terorisme Islam dalam media arus utama membuka jalan bagi apa yang oleh Nathan Lean disebut sebagai “Industri Islamofobia” – sebuah hubungan individu dan kelompok yang telah berusaha untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi dan politik dari fitnah terhadap Islam.
Perkembangan Kontra-Jihad
Saat ini, Islamofobia bukan hanya salah satu penyebab terbesar pembusukan pada inti demokrasi Barat, tetapi juga kebangkitan gerakan kaum otoriter fasis dan kelompok ekstremisme sayap kanan yang kejam.
Jika bukan karena Islamofobia, kemungkinan besar Donald Trump tidak akan menjadi Presiden Amerika Serikat, setelah memulai karir politiknya dan membangun basis politik dengan menuduh Barack Obama sebagai seorang Muslim kelahiran luar negeri.
Namun, pada tahun 2020, yang mengejutkan banyak orang, kerajaan Teluk yakni Uni Emirat Arab dan Arab Saudi termasuk di antara para pembudidaya Islamofobia yang paling produktif di dunia dengan mendanai kelompok-kelompok sayap kanan dan gerakan politik pembenci kaum Muslim di seluruh Inggris, Eropa. dan AS, sambil menyebarkan gagasan bahwa Islam adalah pintu gerbang menuju terorisme – yang terbukti dari cara pemerintah-pemerintah ini menyatakan dukungan publik mereka atas kamp-kamp Muslim Uyghur di China.
Setelah Musim Semi Arab, rezim-rezim ini telah mengembangkan ketakutan obsesif terhadap gerakan-gerakan Islam dan partai-partai politik dan teror yang hampir melumpuhkan Ikhwanul Muslimin, Iran, dan kelompok-kelompok ekstremis brutal seperti al-Qaeda.
“Berdasarkan lusinan percakapan yang dilakukan selama beberapa tahun, kami menemukan bahwa rezim otokratis di wilayah tersebut dengan hati-hati menumbuhkan lingkaran kelompok konservatif dan sayap kanan di Barat yang mereka yakini condong ke arah agenda anti-Islamis mereka sendiri,” kata Foreign Policy. “Propagandis Arab mengklaim terdapat hubungan yang melekat antara apa yang disebut sebagai kebenaran politik dan kecenderungan untuk meremehkan ideologi yang mengarah pada terorisme – suatu klaim yang digunakan oleh kaum konservatif Barat untuk melegitimasi argumen mereka sendiri.”
Pada tahun 2017, The Intercept menerbitkan beberapa email yang bocor dari Dubes Emirat untuk Amerika Serikat yang menggambarkan ideologi politik Islam sebagai “suatu masalah yang perlu ditangani”, sambil memuji Putra Mahkota Saudi Mohammed Bin Salman sebagai “seseorang yang bersedia melakukannya.”.
Saat ini, telah menjadi rutinitas bagi para pemimpin di Teluk Arab untuk memuji Presiden Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Narendra Modi dan para pemimpin politik sayap kanan lainnya yang dipilih dengan latar belakang stigmatisasi terhadap Islam dan kaum Muslim.
Pada akhirnya, cara Islamofobia berkembang, menyebar, dan dijadikan sebagai arusutama menunjukkan betapa efektif dan nyamannya bentuk rasisme ini secara politis di seluruh dunia.[]
Sumber: bylinetimes.com