Fiqih Kesaksian dan Dokumen Tertulis dalam Peradilan Islam

 Fiqih Kesaksian dan Dokumen Tertulis dalam Peradilan Islam

Oleh: Boedihardjo, S.H.I (Ketua LBH Pelita Umat Jatim)

Untuk membuktikan benar atau tidaknya dakwaan pendakwa terhadap terdakwa maka proses pembuktian merupakan perkara yang amat menentukan. Oleh karena itu, Islam telah menetapkan jenis pembuktian yang diakui legalitasnya diantaranya yaitu: saksi dan dokumen tertulis (QS 2: 282).

Hukum memberikan saksi dalam sidang peradilan adalah fardhu kifayah (QS 2: 283; QS 5:8). Dengan kata lain, jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka fardu kifayah baginya untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan jika tidak ada pihak lain yang bersaksi atau jumlah saksi tidak mencukupi tanpa dirinya maka ia menjadi fardhu ‘ain. Dengan pemahaman ini seorang saksi tentu tidak akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian di pengadilan sebab ia merupakan perbuatan yang bernilai pahala.

Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara langsung pada peristiwa tersebut. Diriwayatkan dari Rasulullah saw.:

إذَا عَلِمْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ، وَإِلاَّ فَدَعْ

Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah. Namun, jika tidak maka tinggalkanlah (HR al-Baihaqi dan al-Hakim menurutnya sahih. Namun, adz-Dzahabi men-dhâ’îf-kannya)

Pihak yang dijadikan saksi juga bukan sembarang orang, namun hanya orang yang memenuhi kualifikasi tertentu yaitu: balig, berakal dan adil. Sifat adil merupakan hal yang penting dalam kesaksian karena ia menentukan integritas seorang saksi dalam menyampaikan kesaksian. Definisi adil adalah orang yang tidak tampak kefasikan pada dirinya. Dengan kata lain, ia menghindari perbuatan-perbuatan yang membuat dirinya—menurut pandangan orang-orang—keluar dari sifat istiqamah. (Ahmad ad Daur, Ahkamu al-Bayyinat, (ttp, 1965), hlm.9)

Syariah juga telah menetapkan orang-orang yang tidak boleh menjadi saksi yaitu: orang yang mendapat sanksi karena menuduh orang lain berzina (qadzaf), anak yang bersaksi kepada bapaknya dan bapak kepada anaknya, istri kepada suaminya dan suami kepada istrinya, pelayan (al-khâdim) yang lari dari pekerjaannya serta orang yang bermusuhan dengan terdakwa. Penetapan layak tidaknya seseorang menjadi saksi dalam sebuah perkara ditetapkan oleh qâdhi di dalam pengadilan.

Jumlah saksi dalam setiap perkara pada dasarnya dua saksi laki atau yang setara dengan jumlah tersebut, yaitu satu saksi laki dan dua perempuan, empat saksi perempuan atau satu saksi laki-laki ditambah dengan sumpah penuntut. Sebagaimana diketahui, dua orang wanita dan sumpah setara dengan seorang saksi laki-laki. Meski demikian, syariah telah memberikan pengecualian dari jumlah tersebut. Pada kasus perzinaan disyaratkan empat saksi; penetapan awal bulan (hilal) cukup satu orang saksi; dan kegiatan yang hanya melibatkan wanita seperti penyusuan dengan satu saksi perempuan.

Posisi Dokumen tertulis

Penggunaan dokumen tertulis menjadi landasan yang tak terpisahkan dalam perkembangan tsaqâfah Islam, seperti pada ilmu fikih dan hadis. Demikian juga pada masa Rasulullah hingga Khalifah dan qâdhi setelahnya juga banyak bertumpu pada dokumen. Dokumen setidaknya ada tiga jenis, yaitu dokumen yang bertandatangan, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen yang tidak bertanda tangan.

Pada dasarnya dokumen bertanda tangan adalah sama statusnya sama dengan pengakuan dengan lisan. Oleh karena itu, dokumen tersebut membutuhkan penetapan. Jika seseorang mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam sebuah dokumen adalah miliknya maka dokumen tersebut sah dijadikan bukti. Namun, jika ia mengingkarinya maka dokumen tersebut tertolak.

Adapun untuk dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah seperti surat nikah dan akte kelahiran maka ia tidak membutuhkan adanya penetapan terhadap keabsahannya. Oleh karena itu, dokumen langsung dapat dijadikan sebagai bukti.

Adapun dokumen tertulis yang tidak bertanda tangan seperti surat, pengakuan utang, faktur belanja dan sebagainya maka statusnya sama dengan dokumen yang bertanda tangan, yaitu membutuhkan penetapan bahwa orang tersebut yang menulis atau memerintahkan menulis atau mendiktekan tulisan tersebut.

Dokumen yang dianggap valid menjadi alat bukti bagi pendakwa hanya diterima jika dihadirkan di pengadilan. Jika pendakwa tidak mampu menghadirkan dokumen yang dijadikan bukti tersebut maka ia dianggap tidak ada. Namun demikian, jika dokumen tesebut berada di tangan negara maka qâdhi memerintahkan untuk dihadirkan. Jika dokumen tersebut dinyatakan penggugat ada pada tergugat dan diakui oleh tergugat maka tergugat harus menghadirkannya. Jika ia menolak untuk menghadirkannya maka dokumen tersebut dianggap ada. Jika tergugat menolak bahwa dokumen tersebut ada padanya maka ia dibenarkan kecuali jika penggugat memiliki salinan atas dokumen tersebut maka ia harus mampu membuktikan bahwa dokumen tersebut ada pada pada tergugat. Jika tidak dapat dibuktikan maka tergugat harus disumpah bahwa ia tidak memilikinya. Jika ia menolak bersumpah maka salinan dokumen tersebut dianggap benar dan menjadi alat bukti bagi pendakwa.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *