Pengakuan Tentara Myanmar Menjadi Langkah Maju Mengungkap Genosida Rohingya
Mediaumat.news – Mahkamah Pidana Internasional ICC di Den Haag saat ini diyakini tengah menahan 2 tentara Myanmar yang mengaku ikut melakukan pembantaian masal atau genosida terhadap minoritas muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar. “Oleh karena itu penahanan dan pengakuan itu bisa menjadi langkah maju untuk mengungkap genosida terhadap minoritas Muslim Rohingnya,” ujar Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana kepada Mediaumat.news, Jumat (18/9/2020).
Meski begitu tentunya ada bantahan dari pihak Myanmar. Dan faktanya proses pengadilan belum berlangsung. Dan kedua tentara itu pun masih belum berstatus apa-apa. “Masih perlu menunggu langkah lanjutan yang dilakukan ICC untuk dapat benar-benar membuktikan adanya genosida di Myanmar. Dan secara hukum internasional, hadirnya kedua tentara tersebut, terlepas dari kontroversi yang ada, menjadi langkah maju untuk membuktikan adanya genosida di Myanmar,” jelas Budi.
Budi menjelaskan bahwa proses pengadilan di ICC bukanlah hal yang sederhana. Dan ICC hanya akan memberikan sanksi kepada individu yang dibuktikan telah melakukan salah satu dari empat kejahatan yakni genocide, crimes against humanity, war crimes dan aggression. “Sanksinya akan sangat bergantung kepada peran yang dilakukan oleh individu tersebut dalam kejahatan itu. Bisa sampai hukuman mati, atau mungkin hanya sekadar penjara,” jelasnya.
Dan bila ditimbang dengan alasan historis munculnya pengadilan ini, maka sebenarnya tidak ada sanksi yang sepadan terhadap kejahatan-kejahatan ini. “Apalagi semacam genosida, karena dari aspek korban, tentunya korban yang massal,” kata Budi.
Kendala Yurisdiksi
Kendala ICC adalah masalah yurisdiksi. ICC tidak dapat menangani kasus kejahatan pada negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma 1998. Amerika Serikat misalnya, awalnya mendukung pendirian ICC, namun ketika bertentangan dengan kepentingan nasionalnya, maka Amerika Serikat menarik diri dari ICC pada tahun 2002 lalu, pasca mengumandangkan War on Terror pada masa pemerintahan Bush. Terlebih ketika Amerika melakukan penyerangan ke Afghanistan.
“Dan ada dugaan kuat melakukan kejahatan perang di sana, maka ICC tidak dapat menindaklanjutinya. Cina juga tidak meratifikasi Statuta Roma 1998, sehingga dugaan kekerasan terhadap kaum Muslim Uighur, tidak dapat ditangani oleh ICC,” ungkap Budi.
Ini karena memang sifat dari hukum internasional, semacam Statuta Roma 1998 tentang ICC ini adalah mengikat bagi pihak yang terlibat, pacta sun servanda. Maka bila ada negara yang merasa keberadaan hukum internasional tidak menguntungkan baginya, maka dia boleh untuk tidak tunduk terhadap hukum internasional tersebut.
“Sehingga seringkali hukum internasional dibuat sarat dengan kepentingan negara-negara besar. Dan bila hukum itu dibuat untuk kepentingan bersama, sering kali negara-negara besar, enggan untuk turut serta di dalamnya,” pungkas Budi.[] Fatih Solahuddin