Hantui Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Selesaikan Masalah Papua dengan Uang

 Hantui Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Selesaikan Masalah Papua dengan Uang

Berita:

Tepat sehari setelah peringatan 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Pemerintah menetapkan dana otonom khusus (otsus) Provinsi Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021(RAPBN 2021) sebesar Rp7,8 triliun. Angka ini naik dari APBN Perubahan 2020 yakni Rp7,6 triliun.

Di hari yang sama, sekelompok mahasiswa asal Papua Barat menggelar unjuk rasa di depan Istana Negera, pada Selasa (18/2/2020). Mereka menyampaikan tiga tuntutan berkaitan dengan otonomi khusus (otsus) di wilayah Papua dan Papua Barat. Tuntutan pertama mereka adalah perbaikan regulasi dan tata kelola otsus. Kedua, meminta pemerintah melakukan evaluasi dana otsus dengan melibatkan tokoh masyarakat dan adat serta mahasiswa di Papua dan Papua Barat. Ketiga, mereka meminta pemerintah untuk membentuk wadah untuk mengelola dana otsus.

Komentar:

Keputusan rezim Jokowi ini bukan tanpa sebab, pasalnya kebijakan ini diambil di penghujung masa berakhirnya otsus yang akan berakhir pada 2021 nanti, ditambah banyaknya suara yang menuntut referendum dari pihak pro kemerdekaan Papua akibat kebijakan otsus yang dinilai gagal. Dana otsus untuk Papua sudah digelontorkan oleh pemerintah pusat di Jakarta sejak tahun 2002, dengan tujuan untuk membangun ekonomi Papua.  Secara keseluruhan, pemerintah tercatat telah menyalurkan tak kurang dari 7,4 milyar dolar atau sekitar Rp 105 triliun rupiah ke Papua sampai tahun 2020 ini.

Namun kucuran dana dari pemerintah telah gagal mendongkrak pertumbuhan ekonomi Papua yang justru semakin terpuruk dimana pada kwartal terakhir tahun 2019 jatuh menjadi -15.72%, termasuk pertumbuhan produk domestik regional bruto Papua juga terjun bebas menjadi -13.63% pada kwartal pertama 2019. Suara nyaring untuk menghentikan otsus makin terdengar, dengan referendum sebagai solusi penggantinya. Asmiati Malik dalam artikel di The Conversation menyimpulkan dana Otsus yang digelontorkan telah gagal mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah Papua.

Kelompok-kelompok separatis Papua dengan dukungan Barat telah memanfaatkan isu berakhirnya otsus ini untuk mendapat keuntungan bagi kepentingan mereka, dan mereka terus mengail di air keruh dan menghantui keutuhan Indonesia. Sebagai contoh, seruan tolak otsus dan dukung referendum juga disampaikan Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda pada pertengahan Juli lalu agar rakyat Papua dapat menentukan pendapat sendiri melalui referendum untuk menentukan kemerdekaan Papua Barat.

Papua memang menyimpan konflik bersejarah, yang dimulai sejak penandatanganan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 antara Indonesia dan Belanda yang dijembatani Amerika Serikat yang menetapkan penyerahan Papua barat dari Belanda ke Indonesia. Sejak saat itu, pemerintah Indonesia tidak pernah mampu mengusir cengkeraman kekuatan asing  di bumi Cendrawasih. Karena penyerahan wilayah Papua Barat dilakukan dengan bantuan Amerika Serikat yang ternyata punya ambisi terselubung mengincar kandungan emas dan mineral berharga yang sangat besar di bumi Papua, peran Amerika ini tidak gratis, perusahaan tambang Freeport perlahan-lahan masuk untuk menggerus kekayaan Papua seiring tumbangnya Sukarno yang kemudian digantikan Soeharto.

Kompleksitas masalah Papua sesungguhnya berakar dari perkawinan kapitalisme dan gagasan Nasionalisme. Ibarat lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya, atas nama kedaulatan nasional, Indonesia ingin melepaskan Papua Barat dari Belanda, namun Amerika lantas menjebak Indonesia dengan agenda rakus kapitalisnya yang kini membawa konsekuensi malapetaka berkepanjangan, dan terus menghantui ‘kemerdekaan’ Indonesia puluhan tahun lamanya.

Namun sepertinya pemerintah Indonesia belum juga bisa mengambil pelajaran, karena terus menyelesaikan masalah Papua dengan uang, persis seperti teladan Kapitalis mereka, Amerika Serikat dan terus menutup mata dengan kegagalan sistem ekonomi Kapitalisme dalam mensejahterakan rakyat Papua.

Para penguasa Muslim hari ini cenderung tidak mandiri. Mereka tunduk pada kekuatan negara-negara kafir imperialis. Karena itu alih-alih memiliki misi untuk memerdekakan negeri-negeri Muslim yang terjajah seperti Palestina, misalnya, bahkan untuk mencegah intervensi negara-negara kafir imperialis pun mereka tak berdaya. Pelajaran besar kasus Papua yang harus diambil penguasa Muslim adalah jangan pernah meminta bantuan kekuatan asing dalam menyelesaikan urusan tanah kaum Muslim. Ingatlah firman Allah swt:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya (pelindung) bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

 

Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir oleh

Dr. Fika Komara

Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *