Memahami Konflik Ideologi
Oleh: Boedihardjo, S.H.I
Keruntuhan rejim Sovyet pada tahun 90-an tidak hanya dianggap sebagai babak akhir Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, tetapi juga—oleh sebagian pemikir Barat (kapitalis)—dikukuhkan sebagai babak akhir dari sejarah manusia. Francis Fukuyama dalam tesisnya, The End of History, yang dirilis pada tahun 1989 menyatakan: Kapitalisme adalah ideologi paripurna dan tidak ada lagi pertarungan ideologi. Pasalnya ideologi-ideologi besar dunia yang menjadi kompetitor Kapitalisme telah runtuh dan mati.
Untuk memperkuat klaimnya, Francis Fukuyama menyodorkan realitas global yang cenderung seragam dan menyatu ke dalam sistem kapitalistik. Menurutnya, dunia telah terintegrasi dalam sistem yang sama dan satu, yakni sistem kapitalis. Masih menurut Fukuyama, menyatunya sistem pemerintahan dunia dalam sistem pemerintahan demokrasi, menyatunya sistem ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal, menyatunya cara berpikir masyarakat dunia dalam paradigma kapitalistik dan lahirnya sistem sosial yang serba kapitalistik merupakan bukti tak terbantahkan yang membenarkan tesis The End of History-nya. Kapitalisme adalah akhir dari sejarah umat manusia. Benarkah tesis Fukuyama?
Propaganda bahwa “pertarungan ideologi telah berakhir” yang dihembuskan pemikir-pemikir kapitalis jelas merupakan propaganda politis yang ditujukan untuk melanggengkan dominasi ideologi mereka atas dunia, sekaligus untuk menghambat suksesi menuju paradigma dan sistem dunia yang lain. Apalagi masyarakat dunia sudah merasakan dampak buruk akibat diterapkannya ideologi ini atas mereka. Dunia sekarang membutuhkan ideologi alternatif untuk mengganti ideologi Kkapitalisme yang telah terbukti bobrok dan destruktif. Untuk itu, mereka berusaha mati-matian mempertahan-kan ideologi rusak ini dengan cara mempropagandakan jargon “perang ideologi telah berakhir.”
Padahal seruan ini tidak hanya akan melanggengkan kerusakan dan kehancuran sistem dunia akibat diterapkannya paradigma dan sistem kapitalistik, tetapi juga mencegah manusia untuk melakukan suksesi menuju sistem alternatif yang lebih baik. Jika suksesi ini terhambat, niscaya manusia akan tetap terkungkung dalam kenestapaan global.
Bagi umat Islam, seruan ini—jika tidak disikapi dengan benar—tidak hanya menjadikan umat pesimis dengan kembalinya supremasi Islam dan kaum Muslim di pentas dunia, tetapi juga berpotensi memunculkan gejala-gejala ideasional di tengah umat Islam.
Gejala ideasional adalah gejala berubahnya pemikiran—baik keyakinan maupun sistem hukum—karena adanya upaya untuk menyesuaikan pemikiran tersebut dengan realitas kekinian. Gejala ini biasanya diawali dengan munculnya sikap apatis, pesimis dan hilangnya kepercayaan terhadap ideologi yang dianutnya. Sikap itu semakin mengkristal tatkala umat Islam terus didesak oleh keadaan, sementara itu perjuangan mereka untuk mengubah keadaan itu agar sesuai dengan Islam terus mengalami kegagalan dan menemui jalan buntu. Dalam keadaan seperti ini, lahirlah keinginan-keinginan untuk menyesuaikan Islam dengan realitas kekinian. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, umat Islam tidak lagi berusaha mengubah realitas yang bertentangan dengan ideologinya, namun sebaliknya, sibuk mengubah ideologinya agar sesuai dengan realitas kekinian. Akibatnya, tidak ada perubahan realitas yang rusak di sana; yang terjadi justru ideologi Islam berganti menjadi ideologi bukan Islam. Lahirlah kemudian, ideologi Kapitalisme yang ‘berwajah Islam.’
Karena itu, propaganda ini harus dilawan dan diungkap hakikatnya agar umat Islam terhindar dari bahaya-bahayanya.
Perang antara kebenaran dan kebatilan sudah menjadi semacam takdir sejarah yang tidak mungkin dihapuskan dari kehidupan manusia. Bahkan sampai kapanpun, keduanya akan saling menghancurkan, mengalahkan, dan berusaha memenangkan dirinya atas yang lain. Kebenaran tidak mungkin bisa bersanding dengan kebatilan. Begitu juga sebaliknya; kebatilan tidak mungkin bisa disandingkan dengan kebenaran. Keduanya juga berusaha terus-menerus menanamkan pengaruh-pengaruhnya ke dalam benak manusia, dan berupaya menyeret sebanyak-banyaknya manusia agar rela menjadi pejuang dan pengikut setianya. Lahirlah kemudian kubu kebenaran dan kubu kebatilan. Keduanya akan terus bertarung dan menyebarkan pengaruh-pengaruhnya hingga Hari Kiamat, seperti halnya kebenaran dan kebatilan itu sendiri bertarung dan berperang.[]