Ancaman Krisis Ekonomi
Oleh: Anwar Rosadi (Biro Hukum dan Jaringan Indonesia Change)
Wabah korona menghanyutkan secara cepat perekonomian dunia ke arah resesi. Termasuk ancaman depresiasi ekonomi membayangi seiring terhambatnya seluruh aktivitas ekonomi. Ditinjang gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kemiskinan melonjak, daya beli masyarakat juga menurun tajam.
Mengutip Laporan Bank Dunia, ekonomi global tahun ini diramalkan akan terkontraksi negatif 5,2 persen. Angka proyeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan laporan sebelumnya yang terbit pada Januari 2020 dan merupakan resesi terdalam sejak Perang Dunia II. Bahkan, perekonomian negara maju akan terkontraksi negatif 7 persen.
Dari sini, bisa kita telaah sebenarnya siapa saja yang meneliti realitas sistem ekonomi kapitalisme saat ini akan menemukan bahwa sistem ini tengah berada di tepi jurang yang dalam. Semua rencana penyelamatan yang mereka buat tidak akan pernah bisa memperbaiki keadaannya, kecuali hanya menjadi obat bius yang meringankan rasa sakit untuk sementara waktu. Itu karena sebab-sebab kehancurannya membutuhkan penyelesaian hingga ke akar masalahnya, bukan hanya tambah-sulam.
Pertama: adanya praktik riba dan judi. Keduanya telah membentuk sektor non-riil dalam sistem ekonomi kapitalis baik dalam bentuk perbankan, asuransi, maupun perdagangan saham. Dalam sistem kapitalis, uang (juga modal) memang dipandang sebagai private goods. Dalam pikiran mereka, baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, semua kapital harus menghasilkan uang. Kenyataannya, “investasi” di sektor bukan produksi atau di sektor non-riil saat ini memang cenderung terus meningkat, jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi. Inilah yang disebut oleh Paul Krugman (1999) sebagai ekonomi balon (bubble economy).
Kedua: sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komoditi yang bersangkutan—bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli—adalah sistem yang batil dan menimbulkan masalah. Semua itu memicu terjadinya spekulasi dan guncangan di pasar. Begitulah, berbagai kerugian dan keuntungan terus terjadi melalui berbagai cara penipuan dan manipulasi. Semuanya terus berjalan sampai terkuak dan menjadi malapetaka ekonomi.
Ketiga: dengan menyingkirkan emas sebagai cadangan mata uang dan memasukkan dolar sebagai pendamping mata uang dalam Perjanjian Bretton Woods—setelah berakhirnya Perang Dunia II, kemudian sebagai substitusi mata uang pada awal dekade tujuh puluhan—telah menyebabkan dolar mendominasi perekonomian global. Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan diganti dengan mata uang kertas justru melemahkan perekonomian negara. Akibatnya, guncangan ekonomi sekecil apapun yang terjadi di Amerika pasti akan menjadi pukulan yang telak bagi perekonomian negara-negara lain.
Keempat: ketidaktahuan akan fakta kepemilikan. Kepemilikan tersebut, di mata para pemikir Timur dan Barat, adalah kepemilikan umum yang dikuasai oleh negara dan kepemilikan pribadi yang dikuasai oleh kelompok tertentu. Negara pun tidak akan mengintervensinya sesuai dengan teori Kapitalisme Liberal yang bertumpu pada pasar bebas, privatisasi, ditambah dengan globalisasi.
Dalam sejarah ekonomi, krisis ekonomi yang sering melanda justru terjadi hampir di semua negara yang menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme. Roy Davies dan Glyn Davies 1996 dalam bukunya, The History of Money From Ancient Time to Present Day, menguraikan sejarah kronologis secara komprehensif.
Menurut mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Resesi yang terjadi di era tahun 1930-an masih dipercaya sebagai yang terbesar yang pernah terjadi di seluruh dunia. Resesi pada masa ini menghantam hampir seluruh negara di dunia.
Lalu krisi 1975-1981 saat “anugerah” produksi minyak dunia berujung pada krisis keuangan dunia. Dengan makin mahalnya harga minyak, defisit perdagangan AS menjadi berkali-kali lipat untuk membiayai impor minyak mentah. Melemahnya nilai tukar dolar akibat defisit perdagangan AS yang luar biasa kemudian telah membuat seluruh dunia kehilangan kepercayaan terhadap mata uang tersebut.
Kemudian krisis pada 1990-1996 saat Indonesia dan Thailand menderita keguncangan besar politik dan ekonomi akibat krisis moneter yang juga disebabkan kebijakan salah IMF tentang cara penanganan beban utang luar negeri Indonesia. Pada saat yang sama, negara Amerika Latin, yaitu Brazil dan Argentina, bersama Turki dan Rusia juga mengalami akibat lanjutan krisis moneter pada 1998-2002.
Cerita lanjutan krisis subprime 2007 ternyata menyimpan “peninggalan”. Sejak tahun 2010 lalu akibat krisis yang bermula di AS ini, kondisi ekonomi Eropa turut memburuk. Pasalnya, perbankan Eropa tidak luput dari pengaruh ekonomi AS. Selain itu, hilangnya pangsa pasar ekspor, yaitu AS yang terkena krisis, juga turut menyulut lesunya ekonomi Eropa saat ini.
Negara-negara emerging market (negara berkembang) termasuk Indonesia harus mewaspadai siklus krisis yang akan terjadi pada 2021. Berdasarkan data, ada kecenderungan siklus krisis global, karena besarnya capital inflows yang akan masuk ke Asia sangat besar.[]