Nikmatnya Menjadi Politisi Islam Ideologis
Oleh: Kurdiy At Tubany (Lingkar Opini Rakyat)
Menurut DR. Muhammad Rawwas Qal’ahji, politik tidak dipelajari oleh seseorang dalam kitab apapun atau di sekolah manapun, karena hal itu disirami oleh fitrahnya. (walaupun ilmu untuk memoles fitrah dan meninggikannya penting) (Qal’ahji, Syakhshiyyah Muhammad SAW; PTI 2013: 355). Artinya, secara fitrah, manusia, dapat berfikir politik dan menjadi seorang politisi. Karena, suatu hal yang alami, jika seseorang berusaha untuk mengatur urusannya, baik berkaitan dengan urusan pribadi, ataupun berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara tempat dia hidup.
Seorang muslim dituntut agar senantiasa melandaskan pemikirannya dengan aqidah Islam, dan terikat dengan hukum syara. Sehingga dia dituntut untuk berfikir politis dalam memenuhi kebutuhannya sesuai dengan hukum syara. Misalnya saja ketika seorang muslim hendak memenuhi kebutuhan pokoknya. Bagaimana caranya agar dia mendapatkan kebutuhan pokok yang halal dan thoyib dengan cara yang halal. Haruslah ada negara yang mengatur supaya seorang muslim bisa mendapatkan barang halal dan thoyyib, sekaligus mengatur interaksi/ muamalah dengan jalan yang halal juga. Ketika sistem tidak mendukung untuk terikat dengan hukum syara, maka dia harus berfikir politis untuk mewujudkan sistem yang mendukung keterikatannya dengan hukum syara.
Demikian pun jika dia hidup dalam sistem Islam, dia tidak akan berdiam diri jika ada aturan/kebijakan penguasa yang menurutnya melanggar hukum Islam. Dia akan melakukan aktivitas politik dalam bentuk muhasabah lil hukam. Inilah yang dicontohkan oleh para sahabat dan shahabiyat tatkala melihat kebijakan yang dirasa melanggar hukum syara. Khaulah binti malik bin tsa’labah tidak berdiam diri ketika khalifah Umar bin Khattab menetapkan batasan maksimal mahar, karena ini dianggapnya melanggar hukum Syara.
Abdurrahman bin auf dan beberapa shahabat pernah memprotes kebijakan khalifah Umar bin khattab pada saat menetapkan tanah persia -sebagai daerah taklukan- tidak dibagikan pada para mujahid, namun dibiarkan tanah tersebut bagi penduduk setempat, dan daulah mengambil kharajnya. Hal ini dilakukan oleh para sahabat karena perhatian mereka terhadap urusan ummat agar senantiasa terikat dengan hukum syara.
Dalam kondisi tidak adanya sistem Islam, seorang politisi islam ideologis akan senantiasa berfikir dan beraktivitas untuk dapat merealisasikan pengaturan urusannya dengan Islam. Dia akan sangat serius dalam melakukan aktivitas politik dengan membina umat agar cerdas politik, melakukan benturan pemikiran dan mengungkap makar orang kafir yang berusaha menghalangi tegaknya khilafah, serta menyadarkan umat akan hak-hak nya yang terampas oleh sistem kufur.
Rasulullah SAW, adalah sosok yang menjadi tauladan sebagai politisi Islam Ideologis. Rasulullah dalam mengemban misinya yang mulia, berusaha menerapkan perintah Allah SWT. Untuk itu, Rasulullah berjuang menegakkan negara yang bisa merealisasikan tujuannya, yaitu penerapan Syariah Islam. Rasulullah mendirikan negara yang berasaskan aqidah Islam. Negara ideal bukanlah negara yang berdiri hanya sekedar memenuhi kesejahteraan rakyatnya semata, namun negara yang menjadikan puncak tujuannya adalah membangun bangsanya dengan pemikiran yang shahih. Karena dengan pemikiran yang shahih lah akan terbangun sebuah peradaban, bisa diraihnya ilmu pengetahuan, dan memberikan solusi terhadap segala permasalahan, sekaligus memajukan kehidupan umat manusia (Qal’ahji: ibid, hlm 330-331).
Negara yang dibangun Rasulullah SAW ditopang oleh pilar yang sangat kuat, yaitu keimanan warga negaranya. Jikapun sebagian rakyatnya bukan orang beriman, namun loyalitas mereka diberikan pada negara yang ditegakkan oleh Rasulullah SAW ini. Pilar inilah yang menjadi jaminan sebuah negara tetap berdiri kokoh dan tidak tergoyahkan walaupun menghadapi berbagai serangan fisik yang meluluhlantakan infrastruktur negaranya. Untuk mendapatkan pilar keimanan individu inilah Rasulullah SAW membina para sahabat nya menjadi para politisi islam ideologis. Memiliki keimanan yang sama, memiliki visi dan misi serta ruh perjuangan yang sama, serta taat pada pimpinan dan rela berkorban.
Rasullullah saw menolak tawaran kekuasaan dari orang-orang kafir quraisy. Karena kekuasaan yang mereka tawarkan tidak ditopang pilar yang kokoh berupa keimanan dan loyalitas rakyatnya. Jika kita aplikasikan dalam kondisi saat ini, tawaran kekuasaan dalam sistem demokrrasi, memang menjanjikan kekuasaan dalam jangka waktu yang cepat, namun tidak ditopang oleh pilar keimanan dan loyalitas rakyat. Sehingga demokrasi tidak menjanjikan sebuah negara yang kokoh, namun negara yang rapuh dan mudah dihancurkan.
Rasulullah SAW juga memilih tempat untuk berdirinya negara Islam, dengan memperhatikan dua kondisi, yaitu; 1. Tempat yang memiliki sumber alam yang dapat menjamin tercukupinya kebutuhan rakyat secara mandiri, sehingga bisa meraih kesejahteraan tanpa bergantung pada negara lain. 2. penduduknya memiliki keahlian militer dan berani. Memiliki pengalaman dan piawai dalam peperangan. Dengan kata lain, tempat yang independen, memiliki kedaulatan atas wilayahnya sendiri dan keamanannya ada di tangan penduduk muslim tersebut.
Penetapan wilayah thaif dan madinah oleh Rasullullah sebagai tempat yang layak untuk dijadikan daulah, merupakan hasil penelaahan seorang politisi ideologis yang hendak mendirikan negara ideologis yang adidaya. Penelaahan ini dihasilkan dari kontinuitas mengikuti (tattabu’) informasi tentang negara dan wilayah-wilayah yang ada di dunia.
Para shahabat yang dibina oleh Rasulullah SAW memahami visi dan misi tersebut. Sehingga mereka pun berjuang dan berkorban seiring dan sejalan serta taat pada Rasulullah SAW. Lihatlah bagaimana pengorbanan dan kesungguhan Mush’ab bin Umair dalam membina masyarakat madinah sehingga penduduk madinah memiliki keimanan sebagai pilar negara yang hendak dibangun Rasulullah. Lihatlah bagaimana kecerdikan dan pengorbanan Asma binti Abu Bakar, yang memahami betul tujuan hijrah Rasulullah SAW, sehingga berusaha untuk membawakan bekal makanan pada Rasulullah dan Abu bakar Ash-shiddiq tanpa bisa diketahui jejaknya oleh musuh. Inilah sosok politisi islam ideologis.
Dengan meneladani Rasulullah SAW, maka umat Islam saat ini seharusnya bisa menjadi para politisi Islam ideologis. Seorang politisi islam ideologis harus memiliki empat syarat mendasar yaitu: 1. Iman dan berpegang teguh pada ideologi Islam. Ideologi Islam harus dijadikan sebagai qoidah fikriyah dan qiyadah fikriyah. 2. Memahami tujuan yang hendak dicapai, yaitu penerapan ideologi Islam dalam bentuk khilafah Islamiyah. 3. Memahami metode atau jalan yang akan ditempuh untuk sampai pada tujuan. Yaitu metode dakwah Rasulullah SAW. 4. Memahami peta politik untuk penerapan strategi dalam meraih tujuan serta mengatasi tantangan.
Pembinaan politik untuk mewujudkan politisi islam ideologis, merupakan metode yang harus dijalankan. pembinaan ini harus dilakukan dengan menanamkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum islam serta mengikuti peristiwa politik. Kemudian, pemikiran dan hukum tersebut dikaitkan dengan berbagai peristiwa dan kejadian politik. Pembinaan politik terhadap ummat inilah yang akan menghasilkan sejumlah besar politisi Islam Ideologis.[]