Mayoritas Pahlawan di Negeri Ini Adalah Muslim

 Mayoritas Pahlawan di Negeri Ini Adalah Muslim

Oleh: Lukman Noerochim

Mayoritas pahlawan di negeri ini adalah Muslim. Namun, kepahlawanan mereka, termasuk pengungkapan sejarah mereka, lebih sering disifati dengan sifat nasional, bukan dengan spirit Islam. Ini tentu merupakan “ketidakjujuran” terhadap sejarah, yang bisa berdampak pada pengaburan peran Islam dalam sejarah bangsa dan negara ini.

Setidaknya ada tiga “kejahatan” terhadap sejarah itu. Pertama: Penguburan sejarah. Penggalan sejarah tidak diungkap atau jarang dimasukkan dalam kajian dan pembelajaran sejarah. Salah satu contohnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Penetapan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan adalah untuk mengenang peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Peristiwa heroik itu tak lepas dari adanya Resolusi Jihad yang ditandatangani oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.

Pada 21 Oktober 1945, para konsul NU se-Jawa dan Madura berkumpul di Kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Setelah rapat maraton, pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang dikenal sebagai Resolusi Jihad. Salah satu poin Resolusi Jihad itu menyerukan bahwa perang melawan penjajah adalah fardhu ‘ain bagi yang berada dalam jarak 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh (yakni Surabaya). Adapun bagi yang di luar itu, perang (jihad) adalah fardhu kifayah. Dinyatakan pula bahwa siapa yang gugur dalam jihad itu maka ia menjadi syuhada’.

Resolusi Jihad itu mendorong puluhan ribu Muslim bertempur melawan Belanda dengan gagah berani. Pasukan terdepan yang bertempur kala itu antara lain: Laskar Hizbullah pimpinan KH Zainul Arifin, Laskar Sabilillah pimpinan KH Masykur, Barisan Mujahidin pimpinan KH Wahab Chasbullah; PETA, separuh batalionnya dipimpin oleh para kiai NU, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan lainnya. Resolusi Jihad itulah—yang kemudian dikukuhkan dalam Konggres Umat Islam di Yogyakarta 7-8 November 1945—yang juga menggerakkan perlawanan para kiai, ulama, santri dan umat Islam di wilayah-wilayah lainnya.

Peristiwa heroik 10 November di Surabaya itu selalu disebut-sebut dan diperingati sebagai Hari Pahlawan. Anehnya, Resolusi Jihad serta peran para kiai, ulama, santri, Laskar Hizbullah dan Sabilillah serta umat Islam yang bertempur dengan spirit jihad justru seolah sengaja dikubur atau digelapkan. Dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis. Padahal bila sejarah pergerakan kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam periode mempertahankan kemerdekaan.

Kejahatan kedua: Pengaburan peristiwa sejarah. Contoh: Siapa sebenarnya inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Bila sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI) yang merupakan pengembangan dari Syarikat Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. Inilah yang harus disebut sebagai cikal bakal kesadaran nasional melawan penjajah. Sebagai gerakan politik, SI ketika itu benar-benar bersifat nasional, ditandai dengan keberadaannya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia, dengan tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, di kalangan priyayi Jawa, serta tidak memiliki spirit perlawanan terhadap Belanda.

Kejahatan ketiga: Pengaburan konteks peristiwa sejarah. Contoh: Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasarkan pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam. Hari Pendidikan Nasional juga bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, tetapi pada kelahiran sekolah Taman Siswa pada tahun 1922. Mengapa demikian? Sebab, bila kelahiran Sarekat Islam dan Muhammadiyah dengan sekolah pertamanya yang dijadikan dasar, maka yang akan mengemuka tentu adalah spirit atau semangat Islam. Dalam setting kepentingan politik penguasa saat itu, hal itu sangat tidak dikehendaki.

Padahal spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan kemerdekaan pada masa lalu. Peperangan selama abad ke-19 melawan Belanda tak lain atas dorongan semangat jihad melawan penjajah. Saat Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan yang tergugah adalah para ulama dan santri dari berbagai pelosok desa. Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu di bawah bendera Islam. Perlawanan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda. Begitu juga dengan Perang Padri. Sebutan Padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan.

Spirit penegakan Islam di negeri ini juga sangat kental. Di antaranya tampak dalam pembelaan KH Wahid Hasyim terhadap Islam dan pemerintahan Islam.

Sebagaimana diketahui, Presiden Soekarno dalam kunjungan ke Amuntai Kalimantan Selatan pada Januari 1953 menyatakan, jika negara berdasarkan Islam maka akan terjadi separatisme sejumlah daerah yang mayoritas non-Muslim. Artinya, negara berdasarkan Islam akan menyebabkan perpecahan.

KH Wahid Hasyim yang menjadi ketua NU kala itu menanggapi pernyataan itu dengan keras. Beliau menulis, pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa, menurut pandangan hukum Islam, adalah perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan oleh syariah Islam. Wajib atas tiap-tiap orang Muslim menyatakan ingkar atau tidak setuju.

Spirit penegakan Islam dalam bernegara juga tampak kental dalam kiprah perjuangan Ki Bagus Hadikusumo. Hal itu tampak dalam pidatonya di depan BPUPKI tahun 1945 yang kemudian dibukukan oleh putra beliau, Djarnawi Hadikusumo, pada 1957 dengan judul, “Islam Sebagai Dasar Negara: Seruan Sunyi Seorang Ulama”.

Di antaranya Ki Bagus menyatakan, “Bagaimanakah dan dengan pedoman apakah para nabi itu mengajar dan memimpin umatnya dalam menyusun negara dan masyakarat yang baik? Baiklah saya terangkan dengan tegas dan jelas, ialah dengan bersendi ajaran agama.” Ki Bagus kemudian meminta, “…Bangunkanlah negara di atas ajaran Islam.”

Dalam risalah sidang BPUPKI terungkap, Ki Bagus menyatakan, “Dalam negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.” Beliau juga menyatakan, “Supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama Islam.” (Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Sekretariat Negara. Jakarta. 1998.)[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *