Senegal, Kemiskinan, Penjajahan
Oleh: Ilham Efendi (Resistance Forum)
Senegal identik dengan bola, kulit hitam dan kemiskinan. Hampir sama dengan cap negara-negara Afrika lainnya. Namun, siapa sangka, di Negara Senegal, populasi umat Islamnya mencapai 90% lebih. Memang, Senegal adalah sebuah pemandangan yang kontras: Islam dan kemiskinan. Namun, ini semua bukan sebuah kebetulan. Semua ini akibat sebuah rekayasa dari negara-negara Eropa dalam mengerat-ngerat Afrika menjadi negara-negara kecil jajahan mereka yang selanjutnya dieksploitasi habis sebelum mereka berjuang mati-matian mendapatkan kemerdekaannya.
Orang-orang Toucouleur tercatat sebagai penghuni awal Senegal yang masuk Islam pada abad ke-11. Namun, keyakinan agama mereka masih tercampur kuat dengan animisme. Sumber lain mengatakan, Berber membawa Islam ke Senegal pada abad kedelapan. Memang, Senegal bukan negara besar atau posisinya strategis, Namun, Senegal tetap memainkan peran penting dalam politik Afrika sejak kemerdekaannya. Sebagai bangsa hitam yang mayoritas Muslim, Senegal telah menjadi jembatan diplomatik dan budaya antara Dunia Islam Afrika dan hitam.
Islam berkembang dengan baik di Senegal ketika War Jabi, Raja Tekrur, masuk Islam karena dakwah yang dilakukan oleh para pedagang Arab (Maroko) dan Berber dari Mauritania. Pada abad XIII, Kerajaan Tekrur menjadi bagian dari Imperium Mali. Perkembangan Islam di Senegal mengalami perubahan pesat ketika aliran Tarekat (sufi) mulai merasuk pada abad XVIII, yaitu dimulai dengan masuknya alirah Qadiriyah. Pada tahun 1820 (abad XIX), Al-Hajj Umat Tall membawa aliran Tijaniyah dan berhasil membentuk kekaisaran yang meliputi wilayah Senegal, Mali dan Guinea. Pada tahun 1887, Syaikh Ahmadou BAMBA mendirikan aliran Mauridiyah. Bila Sudan berpaham Sunni, maka perkembangan Islam di Senegal dimotori oleh aliran tarekat (sufi), yaitu Qadiriyah, Tijaniyah dan Mauridiyah.
Sayang, walaupun Islam dianut oleh sebagian besar bangsa Senegal, Islam belum dapat diterapkan sebagai dasar negara. Ini terbukti, Pemerintah Senegal masih mengadopsi hukum sipil Prancis sebagai ‘legal sistem’-nya.
Negara yang saat ini terkategori sebagai ‘negara miskin’ ini dulunya adalah negeri yang ‘zero’ kemiskinan saat ada di bawah Kekhilafahan Islam, akni pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa itu, di Afrika secara keseluruhan tidak ditemukan satu pun yang berhak menerima zakat. Namun, kondisinya berubah seratus delapan puluh derajat saat penjajah Eropa masuk ke Afrika, tanpa kecuali Senegal.
Hubungan negara-negara Eropa dengan Afrika di daerah subsahara dimulai pada abad 15 oleh orang Portugis dengan merebut Ceuta dari Khilafah Islam. Wilayah yang direbut adalah tanjung Bojador, Tanjung Verde, Tanjung Palmas dan pantai-pantai di Afrika Barat. Pada awal abad 17 Portugis terdesak oleh bangsa Eropa lain. Mereka selanjutnya memberi nama daerah sesuai hasil alamnya, seperti; Pantai Emas, Pantai Gading, dan lain sebagainya. Pada tahun 1875 baru 10,8% dari daerah Afrika yang berada di bawah kekuasaan bangsa Barat. Spanyol, Inggris, Prancis dan Portugis menguasai daerah Afrika yang pada masa itu luasnya 1.250.000 mil persegi. Inggris memiliki daerah terbesar di Afrika. Kekuasaan Prancis hanya terbatas di pantai sebelah utara, pos-pos terasing di Senegal dan Pantai Guinea, seluruhnya diperkirakan meliputi 170.000 mil persegi.
Portugal menguasai daerah sepanjang pantai Angola dan Mozambique. Spanyol menguasai daerah seluas 1000 mil persegi di Afrika Barat laut. Penjelajahan daerah pedalaman Afrika makin dipergiat sesudah dibentuk lembaga “International Asssociaton for the Exploration and Civilization of Central Afrika” (1876) atas inisiatif Leopold II Raja Belgia. Terbitnya buku “The Congo” (1885) oleh H.M. Stanley mengakibatkan bangsa-bangsa Barat ingin menjajah Afrika. Saat di Eropa terjadi Perang Dunia I (1914-1918), Afrika juga terseret ke dalam perang karena Inggris dan sekutunya berusaha merebut koloni Jerman di Afrika. Pada awal 1916, saat hasil perang masih belum jelas, Inggris dan Prancis telah membuat kesepakatan untuk membagi bekas koloni Jerman di Afrika. Pada masa Perang Dunia II (1939-1945) Afrika digunakan untuk kepentingan strategi perang dan ekonomi.
Sebelum Perang Dunia II, politik kolonial Prancis yang dijalankan di daerah-daaerah koloninya berdasarkan suatu doktrin asimilasi. Pemerintahan di koloni-koloni dikendalikan dari Paris. Kekuasaan dipegang oleh Menteri Tanah Jajahan dan Parlemen dan melalui penguasa tertinggi di koloni diteruskan kepada pegawai-pegawai yang lebih rendah di daerah-daerah. Perkembangan ekonomi di koloni tidak diperhatikan. Pembentukan industri tidak didorong. Peraturan bea cukai mengakibatkan koloni-koloni terkena sistem monopoli. Eksploitasi terhadap koloni dijalankan dengan sungguh-sungguh. Dengan doktrin asimilasi inilah, Senegal dihisap habis-habisan oleh Prancis. Seluruh sumberdaya alam dan SDM-nya banyak yang dijadikan budak.
Pada 1920 dan 1925 di Senegal dilakukan reorganisasi. St. Louis dijadikan ibukota dan pusat kebudayaan. Pada tahun 1904-1959 Dakar dijadikan ibukota federasi Afrika Barat Prancis. Dalam bidang politik sejak 1848 Prancis telah mengumumkan bahwa penduduk koloni mempunyai hak untuk memilih wakil-wakilnya ke National Assembly. Senegal juga diberi hak untuk mengatur pemerintahan kotapraja. Demikianlah keadaan Afrika Barat Prancis dihubungkan dengan pelaksanaan politik kolonial Prancis. Perhatian Prancis yang sangat besar terhadap Senegal membuat membuat daerah-daerah di Afrika Barat Prancis lain iri sehingga ada yang dengan segan-segan masuk dalam federasi bersama Senegal.
Dengan adanya konferensi Brazaville (1944) terjadilah perubahan dalam politik kolonial Prancis. Sesudah Perang Dunia II berakhir, utusan-utusan dari Afrika berada di Paris untuk ikut serta dalam sidang Constituent Assembly bersama-sama utusan Prancis. Peristiwa ini mendorong dan meracuni daerah-daerah di Afrika untuk mewakili wakil-wakil dalam Parlemen Prancis dengan ini ‘negara-bangsa’ melalui Pemilu. Sebelumnya, kesempatan seperti ini hanya diberikan kepada Senegal.
Setelah mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada tanggal 4 April 1960 dan mencapai kemerdekaan penuh pada pembubaran federasi dengan Mali di 20 Agustus 1960, Senegal tidak semakin sejahtera dan makmur. Senegal justru semakin porak-poranda.[]