Urgensi Memahami Apa Yang Ada ‘di Balik Tembok’
Oleh: Anwar Rosadi (Biro Advokasi Dan Jaringan – Indonesia Change)
Menjadi muslim yang berpolitik secara jernih membutuhkan kesungguhan. Dalam konsep Islam, setiap politisi yang memangku tugas untuk memahami politik luar negeri (polugri), hendaknya memiliki kapasitas sebagai ‘politisi sejati’ yang kreatif dan cerdik.
Tugas ini tidak mungkin diemban oleh orang-orang yang berkepribadian lemah, senantiasa mempertimbangkan niat dan ‘berhati lemah’. Pasalnya, mereka akan berhadapan dengan lawan atau rekan yang sangat licik, terutama kafir penjajah yang tak kenal rasa belas kasihan. Para penjajah tak pernah berpikir kecuali bagaimana mengalahkan, mendominasi, menjerumuskan kaum Muslim dalam kesengsaraan dan kekufuran. Mereka juga tidak pernah mempertimbangkan kecuali urusan nasionalnya.
Siapapun yang mengkaji sejarah akan mendapati bahwa aktivitas politik suatu negara, memiliki peranan penting dalam mengalahkan negara lain yang menjadi rivalnya. Oleh sebab itu, kebijakan polugri wajib dipegang oleh seorang negarawan yang cerdas, berpikiran tajam, memilki visi jauh, dan mampu melihat apa yang ada ‘di balik dinding’. Dengan monitoring peristiwa-peristiwa politik secara kontinyu, ia dapat membaca apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan menganalisis dampak setiap kebijakan politik yang di ambil Daulah Islam maupun negara-negara luar. Contoh, bila kebijakan suatu negara begini, maka yang terjadi demikian; hal yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan Islam adalah ini dengan cara begini; sikap negara-negara lain adalah demikian dan demikian; harus diantisipasi dengan cara seperti ini; begitu seterusnya.
Dengan kata lain, mereka adalah politisi ulung yang memiliki sur’atul badîhah (kecepatan dalam mengambil kesimpulan) dan sur’atul mulahazhah (kecepatan dalam melakukan pengamatan). Berbekal kedua hal ini, ia bisa dengan cepat mengetahui apa yang diinginkan pihak lain serta mampu mengambil sikap atau tindakan yang tepat. Meski demikian, mereka bukanlah orang yang tergesa-gesa dan ‘nekat’ dalam mengambil sebuah kebijakan, yang akhirnya malah membuat mereka berada dalam situasi dilematis. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang memiliki kesadaran sempurna sehingga tidak mudah terjabak perangkap musuh. Mereka senantiasa memperhatikan pernyataan, tindakan dan kebijakan pihak luar. Mereka bukanlah tipe orang pemarah, kecuali dalam hal-hal yang memang mesti menunjukan kemarahan. Mereka senantiasa mengendalikan emosinya dan menyembunyikan nafasnya hingga benar-benar mencapai target yang telah ditetapkan.
Untuk menjadi politisi sejati, seseorang wajib memiliki kepekaan politik. Hal tersebut tidak bisa diraih kecuali secara sinambung melakukan monitoring terhadap berita dan peristiwa politik, sebagai prasyarat utama melakukan tafkir siyâsiy (berfikir politik). Selanjutnya menghubungkan kejadian dan peristiwa tersebut dengan kejadian dan peristiwa lainnya, juga mengaitkannya dengan konstelasi politik dunia beserta perubahan-perubahannya. Dengan begitu, ia bisa memahami perkara-perkara yang menyelimuti setiap peristiwa dan kejadian; siapa aktor dan apa tujuannya; mana yang mungkin terjadi dan mana yang tidak?
Saat melakukan analisis politik, penting dibedakan antara pihak yang memanfaatkan situasi dan peristiwa (pendompleng) dan pihak yang benar-benar berada di balik itu (aktor utama). Pasalnya, bisa jadi yang berhasil mengambil keuntungan dari sebuah kejadian politik bukanlah aktor utamanya.
Contoh, pada tahun 1993 Ingris memprakarsai ‘Perjanjian Oslo’. Namun akhirnya, perjanjian itu berhasil dibajak AS. Kesepakatan ini pada dasarnya adalah upaya licik Inggris dan Eropa terhadap Konferensi Madrid yang digagas AS, sebagai dasar bagi penyelesain damai pasca Perang Teluk II. Perjanjian Oslo terlaksana dengan bantuan pimpinan institusi Yahudi dan pemuka PLO. Berdasarkan ketentuan persetujuan tersebut, Arafat datang ke Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan diberi mandat sebagai pemerintahan otonom Palestina, bukan sebagai penguasa yang sebenarnya bagi Palestina. Sebab, Palestina adalah milik Israel, sesuai dengan resolusi Inggris, yakni membentuk satu negara di Tanah Palestina. Akan tetapi, AS mampu mengubah kesepakatan tersebut menjadi proses perundingan yang tak berkesudahan dan terus-menerus diadakan. Dengan bergitu, AS bisa mengendalikannya dan menjamin tidak terjadi proses penyelesaian yang sempurna kecuali sesuai dengan keinginannya.
Begitupun berbagai gejolak di negeri-negeri Arab saat ini. Semuanya terjadi secara spontan dan bukanlah rekayasa negara besar manapun. Namun, melalui agen-agennya, mereka serentak campur tangan untuk mengendalikan, membelokkan dan menunggangi setiap kejadian politik di Dunia Arab agar tetap berjalan sesuai kepentingannya. Oleh sebab itu, tidak bisa dikatakan bahwa AS berada di balik gejolak Mesir. Keberadaan AS di sana hanyalah menjaga Mesir agar tidak lepas dari genggamannya. Hal serupa juga terjadi di Tunisia. Inggris campur tangan untuk mengendalikan Tunisia. Itu pula yang terjadi di Libia dan Yaman. Gejolak di kedua negara tersebut masih terus memanas karena persaingan antara Inggris pemegang kendali utama dan AS yang datang ingin menancapkan pengaruh.
Semua itu terjadi, karena ‘Revolusi Arab’ tidak dibangun berdasarkan kesadaran sempurna, baik di tengah masyarakat pada umumnya, dan para pemimpin gerakan secara khusus. Berbeda halnya Suriah, meski berbagai upaya telah ditempuh, AS dan negara besar lainnya, hingga kini belum berhasil memadamkan revolusi di sana. Ini tiada lain karena adanya kesadaran masyarakat, yang membuat mereka tidak mudah dikendalikan atau dibelokkan.
Agar tidak terjurumus dalam penyesatan dan agar setiap peristiwa bisa disikapi dengan tepat, membedakan antara aktor utama dan pendompleng sangatlah penting. Saat mengetahui bahwa ‘Revolusi Arab’ murni merupakan gerakan masyarakat, sementara campur tangan asing datang belakangan untuk mengendalikan, membelokkan dan memperalatnya, maka seharusnya seorang yang sadar politik mendukung dan mengawal gerakan masyarakat tersebut. Namun, bila suatu revolusi atau gerakan masyarakat sejak awal merupakan rekayasa penjajah, bukan murni kehendak mereka, maka tidak layak didukung.
Sebaliknya, politisi sejati wajib menyadarkan masyarakat untuk tidak terlibat gerakan semacam itu, dan memahamkan mereka tentang makar dan rencana penjajah tersebut, meskipun hal itu menyebabkan benturan dengan pihak yang secara sadar atau tidak sadar berada di belakang agenda penjajah tersebut.
Contohnya, aksi dan protes warga Tepi Barat pada tahun 1967. Di belakang aksi itu ada agen tulen AS, Gamal Abdul Naser. Tujuannya untuk memisahkan Tepi Barat dengan Yordania serta mendirikan negara Palestina di Tepi Barat yang merupakan solusi dua negara di Tanah Palestina yang menjadi proyek AS. Contoh lainnya, aksi menjatuhkan Presiden Soeharto di Indonesia pada 1998 juga merupakan proyek AS dan kaki tangannya seperti Bank Dunia.
Demikianlah, negara dan umat wajib menaruh perhatian besar terhadap aktivitas politik. Bahkan negara harus mempunyai ambisi besar dalam menunaikan kewajiban ini, agar benar-benar menjadi negara yang berpengaruh. Begitu pun partai-partai politik Islam wajib berusaha keras untuk menghasilkan para politisi ulung dan mendidik kader-kadernya menjadi para negarawan.[]