Sukacita Hari Raya dan Pandemi Corona

 Sukacita Hari Raya dan Pandemi Corona

Hari raya (al-‘īd), sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah adalah nama bagi kembalinya pertemuan umum yang biasa terjadi setiap tahun, bulan, minggu, atau lainnya. Sehingga kedatangannya disambut dengan sukacita.

Setiap agama memiliki hari raya sendiri-sendiri, dan masing-masing memiliki hari raya yang beragam dan jumlahnya banyak. Sementara Islam memiliki dua hari raya, yaitu: Hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Dalam merayakannya kaum Muslim berbeda dari pemeluk agama lainnya. Kaum Muslim merayakan hari rayanya sebagai bentuk ibadah dan wujud ketaatan kepada Allah subhānahu wa ta’āla. Sedang pemeluk agama lain, mereka merayakannya berdasarkan mitos dan legenda, serta mengikuti hawa nafsunya, sehingga yang mereka dapat hanya kenikmatan sesaat, dan akibat sesungguhnya dari apa yang mereka lakukan adalah kerugian dan kesedihan di dunia dan di akhirat.

Setiap tahun, kaum Muslim merayakan hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Namun hari raya Idul Fitri tahun 1441 H. ini datang di saat kaum Muslim dirundung duka akibat pandemi Corona (Covid-19). Sehingga tidak sedikit dari kaum Muslim yang merasa tidak bahagia dengan hari raya Idul Fitri kali ini. Mereka tidak bisa melakukan shalat Id secara beramai-ramai di musalla, masjid, lapangan, dan di tempat umum lainnya; mereka tidak dapat bertemu dan berkumpul dengan banyak orang untuk bersilaturrahmi, karena takut penyebaran virus Corona.

Akan tetapi seorang Muslim harus tetap berprasangka baik (husnuzzan) pada Allah subhānahu wa ta’āla, dan berharap kepada Allah subhānahu wa ta’āla bahwa di balik semua ini ada kebaikan. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS Al-Baqarah [2] : 216).

Untuk menambah sukacita di tengah datangnya hari raya Idul Fitri yang diselimuti duka, maka kami kutipkan beberapa mutiara hikmah dari al-Hafiz Ibnu Rajab rahimahullah, semoga ini bisa mengurangi rasa sakit dan duka dari kaum Muslim yang merayakan hari raya di tengah pandemi Corona yang menimpa seluruh dunia.

Pertama, hari raya adalah musim sukacita dan kegembiraan, sedang yang membuat orang-orang beriman merasa sangat bahagia di dunia adalah loyalitas dan ketaatannya kepada Allah subhānahu wa ta’āla. Sebab dengan datangnya hari raya Idul Fitri berarti mereka menyempurnakan ketaatannya. Dan mereka yakin dengan apa yang Allah subhānahu wa ta’āla janjikan kepada mereka, yaitu keutamaan dan ampunan-Nya. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman: “Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’.” (TQS Yunus [10] : 58).

Kedua, orang lalai itu merasa bahagia sebab senda gurau dan hawa nafsunya. Sedang orang berakal itu bahagia sebab loyalitas dan ketaatannya pada Allah subhānahu wa ta’āla.

Ketiga, hari raya itu buka bagi orang yang memiliki pakaian baru, namun ia bagi orang yang ketaatannya bertambah selalu.

Keempat, hari raya itu bukan bagi orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan, namun ia bagi orang yang dosa-dosanya mendapatkan ampunan.

Dengan begitu siapapun akan menjadi bahagia dengan apa yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Rajab rahimahullah tentang hari raya, sebab hari raya itu senantiasa ada kapan saja. Semoga kaum Muslim selalu diselimuti kebahagiaan dan hari raya yang membuatnya bersukacita, yaitu dengan melakukan amal-amal ibadah yang mendekatkan mereka kepada Allah subhānahu wa ta’āla, dan menjauhkan mereka dari murka-Nya, serta siksa-Nya yang amat keras dan menyakitkan. Sehingga dalam merayakan hari raya tidak dengan cara-cara yang amoral dan maksiat pada Allah subhānahu wa ta’āla dengan dalih bahwa hari raya adalah hari sukacita dan bergembira, sebab hal itu bagi orang yang beriman bukan lagi sukacita tapi duka lara.

Meskipun pada hari raya tahun ini kaum Muslim diminta untuk di rumah saja (stay at home), kaum Muslim tidak perlu kehilangan rasa bahagianya, sebab ada kesempatan emas yang menyertai hari raya Idul Fitri, yaitu puasa enam hari di bulan Syawal. Sungguh alangkah baiknya jika ketaatan diikuti dengan ketaatan lainnya. Bahkan tanda diterimanya ketaatan seorang Muslim adalah ketika ketaatan itu diikuti oleh ketaatan yang lain. Untuk itu gunakan kesempatan di rumah saja ini, dengan menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal, mengingat pahalanya begitu besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal. Maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim).

Al-Hafiz Ibnu Rajab rahimahullah berkata bahwa dalam berpuasa kembali setelah Ramadhan ada banyak sekali manfaat, di antaranya:

Pertama, puasa enam hari di bulan Syawal setalah Ramadhan itu akan menyempurnakan pahala seperti puasa setahun penuh. Sebab Allah subhānahu wa ta’āla membalas satu kebaikan—minimal dengan sepuluh kebaikan. Jadi, jika puasa Ramadhan itu tiga puluh hari, di tambah puasa Syawal enam hari, maka jumlahnya adalah tiga puluh enam hari. Ketika jumlah ini dikalikan sepuluh, maka jumlahnya menjadi tiga ratus enam puluh, yaitu jumlah yang hampir sama dengan jumlah hari dalam setahun.

Kedua, puasa di bulan Syawal dan Sa’ban sama seperti shalat sunnah rawātib sebelum dan sesudah shalat wajib, yaitu sebagai penyempurna jika terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan pada yang wajib. Artinya bahwa pada hari kiamat nanti kekurangan pada ibadah wajib akan disempurnakan oleh ibadah sunnah.

Ketiga, melanjutkan puasa setelah puasa Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan. Sebab Allah subhānahu wa ta’āla ketika menerima amal seorang hamba, maka Allah subhānahu wa ta’āla menolongnya untuk beramal shalih sesudahnya. Seperti perkataan sebagian ulama: “Pahala kebaikan itu adalah kebaikan sesudahnya.”

Keempat, amal-amal ibadah yang dijadikan sarana mendekatkan diri kepada Allah subhānahu wa ta’āla di bulan Ramadhan, tidaklah terputus dengan berakhirnya bulan Ramadhan, melainkan tetap ada selama manusia masih bernyawa.

Ya Allah, tolonglah kaum Muslim untuk meraih setiap kebaikan. Dan tambahkanlah kepada mereka kebahagiaan yang lebih besar lagi, yaitu tegaknya kembali Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah, sehingga penerapan Islam kafah dan Islam rahmatan lil ‘ālamīn bukan lagi mimpi dan ilusi, tetapi sebuah kenyataan. Wallahu a’lam bish-shawāb. [Muhammad Bajuri]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *