[Buletin Kaffah] Ramadhan Bulan Ketaatan dan Perjuangan
[Buletin Kaffah No. 139, 8 Ramadhan 1441 H-1 Mei 2020 M]
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Dalam ayat di atas, Allah SWT mewajibkan puasa Ramadhan agar kaum Mukmin menjadi kaum yang bertakwa. Dengan demikian takwa adalah hikmah dari pelaksanaan puasa Ramadhan.
Takwa, menurut Imam an-Nawawi rahimahulLah di dalam Syarh Shahîh Muslim, adalah menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Perintah dan larangan Allah itulah syariah Islam. Dengan kata lain, takwa adalah mengamalkan dan menerapkan syariah Islam di dalam kehidupan.
Takwa mesti diwujudkan secara individual pada setiap orang. Baginda Rasul saw. bersabda:
« اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ… »
Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada (HR Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Darimi, al-Bazzar, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Kata haytsu pada hadis di atas sebetulnya bisa merujuk pada tiga: tempat (makan), waktu (zaman) dan keadaan (hal). Karena itu sabda Baginda Rasul saw. itu bermakna: hendaknya kita bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dalam keadaan bagaimana pun (Lihat, ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, 42/4-8).
Takwa juga harus diwujudkan secara kolektif di tengah masyarakat. Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka itu (TQS al-A’raf [7]: 96).
Ayat ini memang dalam redaksi berita (khabar). Namun, ayat ini disertai dengan pujian, yakni balasan berupa keberkahan dari langit dan bumi yang bakal dilimpahkan untuk kaum yang bertakwa. Dengan demikian ayat ini mengandung thalab (perintah atau tuntutan) agar kita bertakwa. Lalu Allah SWT menyatakan bahwa penduduk negeri-negeri itu mendustakan ayat-ayat-Nya, yakni tidak bertakwa, sehingga mereka disiksa. Ini merupakan qarinah jazim (indikator yang tegas) bahwa perintah untuk bertakwa adalah wajib.
Puasa Ramadhan memberikan pelajaran dan penegasan bahwa kaum Muslim secara individu maupun kolektif sebenarnya bisa mewujudkan takwa. Tentu jika mereka mengutamakan keridhaan Allah di atas segala kepentingan duniawi. Ramadhan yang kita jalani di tengah pandemi Covid-19 ini harusnya makin menyadarkan kita betapa lemahnya manusia.
Dengan pandemi ini, Allah SWT memperingatkan umat manusia bahwa pelanggaran terhadap syariah bisa menyebabkan bencana. Sebaliknya, pengamalan dan penerapan syariah akan menjadi rahmat bagi mereka, yakni mencegah dharar (bahaya) dan mendatangkan maslahah (manfaat).
Pandemi ini menyentak kesadaran kita, ternyata pelanggaran terhadap satu aturan Allah saja, yakni larangan memakan makanan haram (kelelawar dan hewan haram lainnya), bisa menimbulkan musibah sedemikian besarnya.
Realitanya, bukan hanya satu hukum syariah yang dilanggar saat ini. Sebagian besar hukum syariah telah dilanggar, ditelantarkan dan dicampakkan. Akibatnya pun sudah tampak nyata. Kerusakan alam dan lingkungan terjadi di mana-mana. Juga terjadi banyak krisis: krisis kemanusiaan, krisis ekonomi, krisis moral dan sosial, krisis pendidikan, krisis hukum, dll. Terjadilah kemiskinan, kelaparan, kesenjangan ekonomi dan sosial, merebaknya kriminalitas, dekadensi moral, penjajahan negara-negara kuat atas negara-negara lemah, penguasaan kekayaan alam milik publik oleh segelintir orang, ketidakadilan hukum, kezaliman penguasa, dll.
Sebaliknya, betapa besar kebaikan yang akan dirasakan oleh umat manusia ketika syariah diamalkan dan diterapkan secara total dan menyeluruh. Dengan pengamalan dan penerapan syariah secara kaffah pasti akan tercipta kemakmuran, kesejahteraan, keadilan sosial dan hukum, keamananan, kenyamanan, akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat, dsb. Semua ini merupakan keberkahan yang menjadi konsekuensi dari ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Dengan demikian, dengan puasa Ramadhan, apalagi pada saat pandemi ini, Allah SWT seolah menggugah kesadaran kita untuk segera mewujudkan ketakwaan individual maupun kolektif dengan cara bersegera mengamalkan dan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
Hai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Di dalam tafsirnya, Aysar at-Tafâsîr, Imam Abu Bakar al-Jazairi menyatakan bahwa kata kaffat[an] dalam ayat di atas bermakna jâmi’[‘an] (total, menyeluruh). Karena itu, kata Imam al-Jazairi, tidak boleh sedikit pun kaum Muslim meninggalkan syariah dan hukum-hukum Islam.
Pandemi ini seolah menegaskan kepada kita, semakin penting dan mendesak perintah Allah SWT itu untuk kita wujudkan secara nyata. Ketika kita diseru “kutiba ‘alaykum ash-shiyâm”, kita segera melaksanakan puasa meski dalam kondisi pandemi sekalipun. Begitu pula semestinya ketika kita diseru, “kutiba ‘alaykum al-qishâsh fî al-qatla.”. Kita pun segera mengamalkan dan menerapkan hukum qishash.
Tak hanya hukum qishash, hukum-hukum syariah yang lain juga wajib diamalkan dan diterapkan. Tentu oleh Negara sebagai pihak yang berwenang. Hukum cambuk bagi pezina ghayru muhshan dan rajam bagi pezina muhshan, pengambilan zakat secara paksa dari para muzakki yang enggan, pengaturan kekayaan milik umum, hukuman potong tangan bagi pencuri, dan hukum-hukum lainnya, semua harus dilakukan oleh Negara.
Allah SWT berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ
Pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah (TQS al-Maidah [5]: 38).
Menafsirkan ayat di atas, Imam Fakhruddin ar-Razi di dalam tafsirnya Mafâtih al-Ghayb fî at-Tafsîr, menegaskan:
Para mutakallimin ber-hujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam (khalifah) untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Allah SWT telah mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pezina. Tentu harus ada seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorang pun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka yang menjadi pelaku kriminal kecuali Imam (Khalifah)…Karena itu kewajiban mengangkat imam (khalifah) adalah hal yang pasti.
Kepemimpinan Imam atau Khalifah itulah yang disebut di dalam as-Sunnah dan oleh para ulama sebagai Imamah/Khilafah. Karena itu mengangkat imam/khalifah, yakni menegakkan Khilafah, adalah fardhu kifayah atas seluruh umat Islam. Ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam An-Nawawi di dalam Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin (III/433).
Imam Asy-Syathibi di dalam Al-Muwâfaqât (I/179) menjelaskan, “Benar dikatakan bahwa itu adalah wajib atas semua, ‘ala wajhi at-tajawwuz. Sebabnya, pelaksanaan fardhu itu hakikatnya adalah penegakan kemaslahatan umum. Karena itu mereka secara keseluruhan dituntut untuk menunaikan fardhu tersebut.”
Dari penjelasan Imam Asy-Syathibi itu, ketika kewajiban adanya imam/khalifah yang melaksanakan syariah secara menyeluruh itu belum ada, maka semuanya wajib berusaha untuk mewujudkannya. Ajakan, seruan dan dakwah untuk mewujudkan itu merupakan pelaksanaan dari fardhu kifayah tersebut. Karena itu ajakan dan seruan ke arah penerapan syariah secara kaffah jelas merupakan amal shalih (kebaikan). Bagian dari pelaksanaan fardhu kifayah tersebut.
Karena itu pula, anggapan bahwa penerapan syariah secara menyeluruh di dalam Khilafah sebagai ancaman, perbuatan terlarang atau bahkan sebagai kejahatan, lalu para pengusung dan pendakwahnya dikriminalisasi, semua itu hanyalah cerminan pikiran dan keputusan yang rusak serta tindakan yang menyimpang dan menentang petunjuk Allah SWT.
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ ۞ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
Apakah patut Kami memperlakukan kaum Muslim sama dengan orang-orang yang berdosa (kaum kafir)? Apa yang terjadi pada kalian (sehingga berbuat demikian). Bagaimanakah kalian mengambil keputusan? (TQS al-Qalam [68]: 35-36).
Tentu sikap seperti itu tidak patut dimiliki oleh kaum Mukmin.
Sebaliknya, kita semua semestinya bersegera berusaha secara sungguh-sungguh untuk mewujudkan perintah Allah tersebut, yaitu penerapan syariah secara menyeluruh. Untuk itu dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Pada bulan Ramadhan ini tentu perjuangan dan pengorbanan tersebut harus dilipatgandakan. Tentu agar syariah Islam secara kaffah bisa segera terwujud di tengah-tengah kehidupan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian.
(TQS al-Anfal [8]: 24). []
1 Comment
apakah untuk menerapkan qishas dan hukum lainnya harus menunggu khilafah dulu?? kalau iya kenapa demikian?? terus bagaimana dengan sebagian daerah yang telah menerapakan hukum rajam atas warganya yang berzina, apakah itu tidak benar ?? mohon penjelasannya..