Penyebutan “Cina Kafir, Cina Ini” pada video Ali Baharsyah Bukanlah Tindak Pidana Ujaran Kebencian Berdasarkan SARA dan/atau Diskriminasi Terhadap Ras dan Etnis?
Oleh: Misbahul Anam, SHI
Ketua LBH Pelita Umat
Koordinator Wilayah Provinsi Lampung
“Beruntung banget ya, jadi keturunan Cina Kafir di Indonesia, mereka bebas beribadah, bebas bangun rumah ibadah, ada yang jadi Pejabat, ada yang jadi Pengusaha, mereka punya HRD tersendiri, bahkan ada diantara mereka yang jadi orang terkaya di Indonesia,
ketika ada keinginan yang tidak sesuai dengan mereka, mereka sebut intoleransi, sebut diskriminasi, bahkan si Grace Natalie ini berani mengatakan PERDA Syariah itu diskriminasi, menolak Syariat Islam Poligami,
Kondisi ini berbanding terbalik dengan umat Islam Uyghur yang hidup di Xinjiang, mereka dipaksa melepaskan akidahnya, mereka dianiaya, di siksa, di bantai bahkan mereka di bunuh,
Tapi dimana Guntur Romli, dimana Grace Natalie, dimana Giring Nidji, mereka gak pernah teriak bahwa Cina ini intoleransi, bahwa Cina ini diskriminasi, Itulah Umat Islam ketika mereka tidak lagi memiliki Pelindung yaitu Khilafah Islamiyah“
Pernyataan diatas merupakan transkrip dari salah satu video Ali Baharsyah yang dipersoalkan Penyidik Ditsiber Polri.
Berdasarkan video ini, Ali Baharsyah disidik dan ditetapkan sebagai Tersangka tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).
Pertanyaan yang muncul dibenak kita, Apakah video Ali Baharsyah a quo memenuhi unsur-unsur Pasal 28 ayat (2) UU RI nomor 19 tahun 2016 tetang perubahan atas UU RI nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
Lebih jauh, Apakah Vidio a quo juga memenuhi unsur-unsur Pasal 16 jo Pasal 4 huruf (b) angka 1 Undang-undang RI nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis?
Perlu penulis tegaskan, video Ali Baharsyah a quo bukanlah video yang memenuhi unsur Tindak Pidana Ujaran Kebencian Berdasarkan SARA.
Ali Baharsyah memang menyebarkan video sebagaimana transkip di atas, namun apakah video a quo ditujukan olehnya untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok berdasarkan SARA?
Jika diamati berdasarkan content video sebagaimana transkipnya di atas, maka yang dilakukan Ali Baharsyah adalah menyampaikan dan membandingkan fakta kehidupan politik di Indonesia dan di Xinjiang.
Bahwa orang-orang Cina yang hidup di Indonesia termasuk orang-orang yang beruntung tidak sebagaimana orang Cina yang hidup di Xinjiang mereka tidak beruntung karena telah hilang kebebasan pada diri mereka untuk melaksanakan agama yang diyakininya, karena mereka disiksa, dibantai, bahkan dibunuh.
Penyebaran video a quo oleh Ali Baharsyah patutlah dipahami sebagai usaha untuk menghapuskan diskriminasi dan/atau penindasan dimuka bumi, mengingat di akhir video a quo Ali Baharsyah mengatakan “Itulah Umat Islam ketika mereka tidak lagi memiliki Pelindung yaitu Khilafah Islamiyah”.
Bahwa audiens akan memahami agar Umat Islam tidak terdeskriditkan, tidak tertindas, tidak teraniaya, maka semestinya Umat Islam memiliki Pelindung yaitu Khilafah Islamiyah.
Aktifitas mengetengahkan atau menyampaikan fakta politik di Indonesia untuk mengkritik adalah aktifitas legal konstitusional sebagai bagian kebebasan berpendapat.
Begitu juga mengetengahkan fakta politik di luar negeri dalam hal ini adalah mengetengahkan fakta apa yang tejadi, apa yang dialami oleh penduduk Uyghur Xinjiang merupakan hal yang dijamin oleh konstitusi sebagai bagian warga dunia dalam rangka menghilangkan diskriminasi rasial dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang termaktub dalam UU RI nomor 29 tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi International Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Jo UU RI nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam video a quo tidak tampak adanya kata-kata dan/atau kalimat yang menyatakan suasana batin kebencian dan/atau permusuhan pembuat video (Ali Baharsyah) terhadap suatu kelompok, suku, agama, ras dan antargolongan yang ada di Indonesia.
Karenanya, bagaimana bisa dipahami dalam video a quo terdapat provokasi Ali Baharsyah untuk membenci dan/atau memusuhi suatu suku, agama, ras, etnis dan antargolongan ?
Bagaimana bisa dipahami bahwa video a quo menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)?
Kenyataannya setelah video a quo beredar luas di media sosial sampai tulisan ini di buat tidaklah didapati mucul sikap-sikap kebencian dan/atau sikap permusuhan suatu kelompok terhadap orang Cina yang hidup dan/atau tinggal di Indonesia baik sebagai WNI maupun Turis Pendatang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah dipahami bahwa unsur-unsur Pasal 28 ayat (2) UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada video a quo Ali Baharsyah tidaklah terpenuhi.
Penyebutan “Cina Kafir, Cina ini” dalam Video Ali Baharsyah a quo bukanlah tindakan diskriminatif Ras dan Etnis.
Kata “Cina Kafir, Cina” pada video Ali Baharsyah a quo terdapat dua makna yang saling berbeda:
Pertama, Cina Kafir, merujuk pada warga negara Indonesia yang memiliki ciri-ciri fisik dan garis keturunan dari bangsa Tiongkok yang tidak beragama Islam.
Ini terdapat pada frasa “Beruntung banget ya, jadi keturunan Cina Kafir di Indonesia mereka bebas beribadah, bebas abangun rumah ibadah, ada yang jadi Pejabat, ada yang jadi Pengusaha, mereka punya HRD tersendiri, bahkan ada diantara mereka yang jadi orang terkaya di Indonesia, ketika ada keinginan yang tidak sesuai dengan mereka, mereka sebut intoleransi, sebut diskriminasi, bahkan si Grace Natalie ini berani mengatakan PERDA Syariah itu diskriminasi, menolak Syariat Islam Poligami”.
Pada frasa ini tidaklah menunjukkan atau muncul pernyataan rasa kebencian berdasarkan ras ataupun etinis, sebab penyebutan “Cina Kafir” merupakan penyebutan bagi orang Cina yang tidak beragama Islam (Cina Kafir), sebab terdapat pula orang Cina yang beragama Islam (Cina Muslim).
Kata Muslim dan/atau Kafir adalah teminologi dalam al-Qur’an kitab suci pedoman beragama Umat Islam. Ali Baharsyah seorang Muslim, jika ia menyebut “Cina Kafir”, untuk menandakan bahwa terdapat pula orang Cina yang Muslim, yang keduanya hidup di Indonesia dan/atau menjadi WNI.
Hal itu sebagaimana di sebutkan orang jawa, orang bugis, orang batak, orang sunda, tidaklah menunjukkan atau memunculkan rasa kebencian kecuali pada penyebutan kata tersebut di sandingkan dengan kata yang dapat menyatakan rasa kebencian dan/atau permusuhan.
Frasa “Cina Kafir” pada video Ali Baharsyah a quo menunjukkan fakta bahwa terdapat manusia berciri-ciri fisik keturunan bangsa Tiongkok yang tidak beragama Islam yang hidup dan/atau menjadi warga negara di Indoneisa.
Diantara mereka ada yang menjadi Pejabat ataupun Pengusaha. Penyematan kata “Kafir” setelah kata kata “Cina” bukanlah menunjukkan kebencian pada mereka orang orang yang memiliki ciri fisik keturunan bangsa Tiongkok yang sebagiannya menjadi Pejabat dan sebagian yang lain menjadi Pengusaha yang hidup dan/atau menjadi WNI.
Kedua, kata “Cina ini” pada frasa “kondisi ini berbanding terbalik dengan umat Islam Uyghur yang hidup di Xinjiang, mereka dipaksa melepaskan akidahnya, mereka dianiaya, di siksa, di bantai bahkan mereka di bunuh, tapi dimana Guntur Romli, dimana Grace Natalie, dimana Giring Nidji, mereka gak pernah teriak bahwa Cina ini intoleransi, bahwa Cina ini diskriminasi, Itulah Umat Islam ketika mereka tidak lagi memiliki Pelindung yaitu Khilafah Islamiyah, menunjukkan entitas suatu pemerintahan yang diduga melakukan penindasan, penganiayaan, pembunuhan terhadap masyarakat Uyghur Xinjiang dalam hal ini adalah Pemerintah Tiongkok.
Kata “Cina” pada frasa tersebut bukanlah menunjuk orang perorang atau kelompok atau ras atau etnis yang hidup dan/atau menjadi warga negara Indonesia. Karenanya kata “Cina” pada frasa kondisi ini berbanding terbalik…. bukanlah merupakan tindak pidana ujaran kebencian, sebab obyek hukum tindak pidana diskriminasi terhadap ras dan etnis adalah menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka unsur-unsur Pasal 16 jo Pasal 4 huruf (b) angka 1 Undang-undang RI nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tidaklah terpenuhi.
Wallahu a’lam.