Framing Negatif, Spionase, dan Ghibah Perbuatan Haram serta Jijik Menjijikkan
(Merespon Tindakan Spionase, Framing Negatif, dan Memburu Kecurigaan Dari Masyarakat)
Oleh: Gus Syams
Framing negatif, memberitakan aib seorang Muslim, memata-matai (spionase) terhadap seorang Muslim merupakan perbuatan haram, menjijikkan, dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak waras akal dan pikiran.
Ghibah (Menceritakan Aib Orang Lain)
Ghibah, yaitu perbuatan menceritakan aib seorang Muslim, baik kepada seseorang, atau dipublikasi di media massa, merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing (ghibah) sebagian yang lain. Sukakah, salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya sendiri yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”[TQS Al Hujurat (49):12]
Imam Ibnu Katsir menyatakan:
والغيبة محرمة بالإجماع، ولا يستثنى من ذلك إلا ما رجحت مصلحته، كما في الجرح والتعديل والنصيحة،
“Ghibah diharamkan berdasarkan Ijma’, dan tidak dikecualikan dari hukum itu, kecuali ada kemashlahatan yang lebih kuat, sebagaimana dalam jarh wa ta’dil (mencacat dan mengadilkan seorang perawi hadits), dan nasehat”.[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 7/380]
Al-Imam al-Hafidz al-Suyuthi, dalam Tafsir Jalalain menjelaskan,”Janganlah anda menceritakan sesuatu yang dibenci oleh saudaranya, meskipun sesuatu itu ada pada dirinya. “[Al-Hafidz al-Suyuthi, Tafsir Jalalain]
Allah Swt menyerupakan orang yang suka mengungkap aib seseorang seperti orang yang memakan bangkai saudaranya yang telah mati. Seandainya, Anda menyaksikan seseorang memangsa bangkai saudaranya yang telah mati, tentu saja anda merasa jijik dan ngeri atas perbuatan orang tersebut. Jika demikian, sudah sewajibnya seorang Muslim merasa jijik dan ngeri terhadap ghibah, sama jijiknya dengan memakan bangkai saudara Muslim yang telah mati.
‘Ubaid ra, bekas budak Nabi saw yang telah dimerdekakan menuturkan, bahwa seseorang datang dan mengabarkan kepada Nabi saw tentang dua orang wanita yang berpuasa dan sekarat karena kehausan. Nabi saw berpaling tanpa bicara dan menolak mengijinkan wanita-wanita itu berbuka. Lalu, orang tersebut memohon kembali dengan menggambarkan wanita-wanita itu telah hampir mati. Nabi saw berkata, “Bawa mereka kepadaku dan bawa pula sebuah mangkuk.” Ketika mereka telah menghadap, beliau menghadap ke salah seorang wanita itu dan memerintahkannya untuk muntah ke dalam mangkuk. Ia melaksanakannya dan mengeluarkan campuran darah, nanah, muntah dan dagung busuk yang memenuhi setengah mangkuk. Beliau segera berpaling kepada yang lain dan memerintahkan hal yang sama. Setelah mangkuk tersebut penuh, beliau bersabda, “Sesungguhnya kedua orang ini telah berpuasa menahan diri dari apa yang dihalalkan Allah, dan membatalkan puasa mereka dengan apa yang diharamkan Allah. Mereka menghabiskan waktu puasanya dengan memakan daging bangkai orang lain.”[HR. Imam Ahmad]
Imam Qurthubiy menyatakan, “Allah swt melarang ghibah, yakni menceritakan suatu hal yang ada pada diri seseorang. Sedangkan, jika seseorang menceritakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada diri seseorang, maka ia sedang berdusta. Sedangkan definisi ghibah telah dijelaskan dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda,”Tahukah kalian, apa yang dimaksud dengan ghibah?” Para shahabat menjawab, “Allah dan RasulNya lebih tahu.” Rasulullah saw berkata, ““Kamu menyebut sesuatu dari kawanmu yang ia sangat benci jika dikatakan.” Para shahabat bertanya, “ Bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang memang terjadi pada saudaraku.’ Rasulullah saw menjawab, “Jika engkau menceritakan apa yang terjadi pada saudaramu, berarti kamu telah menggunjingnya; dan apabila engkau menderitakan apa yang sebenarnya tidak terjadi pada saudaramu, maka engkau telah membohongkannya.”[HR. Muslim].[Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, surat al-Hujurat ayat 12]
Al-Hasan menyatakan, “Ghibah itu ada tiga sisi. Semuanya telah disebutkan di dalam Kitabullah; yakni al-ghibah (menggunjing), al-ifki (ngerumpi), dan al-buhtaan (berdusta). Ghibah adalah anda menceritakan sesuatu yang memang ada pada saudaranya. Sedangkan al-ifki (gosip) adalah anda menceritakan sesuatu berita tentang saudara anda, dimana saudara anda itu tidak pernah menyampaikan berita tersebut kepada anda (secara langsung). Sedangkan al-buhtan adalah anda menceritakan sesuatu yang tidak ada pada saudaranya.” [Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, surat al-Hujurat:12]
Mencari-cari Kesalahan (Framing Negatif) dan Spionase
Tidak hanya ghibah, Allah swt dan RasulNya melarang mencari-cari kesalahan untuk memframing negative seseorang, dan memata-matai (spionase) seorang Muslim — lebih-lebih lagi aktivis Muslim yang berjuang menegakkan syariah dan Khilafah.
Larangan mematai-matai berlaku pula atas spionase yang dilakukan negara kepada rakyat, baik individu maupun kelompok. Seorang Muslim dilarang bekerja di instansi-instansi pemerintahan yang di dalamnya terdapat aktivitas spionase, lebih-lebih lagi spionase untuk mempertahankan pemerintahan kufur yang anti penerapan syariat Islam, dan penguasa yang berlaku dhalim kepada kaum Muslim. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَنَافَسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“..dan janganlah kamu sekalian memata-matai dan mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah kamu saling berbantah-bantahan, dan janganlah kalian saling hasud, dan janganlah kalian saling benci, dan janganlah kalian saling belakang membelakangi. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.”[HR. Imam Muslim].
Dalam riwayat lain dituturkan, bahwa Muawiyah ra berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
إنَّكَ إنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ المُسْلِمينَ أفْسَدْتَهُمْ ، أَوْ كِدْتَ أنْ تُفْسِدَهُمْ
“Sesungguhnya, bila kamu selalu mencari-cari aib-aib kaum Muslim, maka berarti kamu menghancurkannya atau nyaris menghancurkannya. “[HR. Imam Abu Dawud]
Imam Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Abu Umamah ra, bahwasanya seorang penguasa tidak boleh memburu kecurigaan kepada rakyatnya. Nabi saw bersabda:
إن الأمير إذا ابتغى الريبة في الناس أفسدهم”
“Sungguh, seorang amir (pemimpin) jika mencari-cari kecurigaan (prasangka atau keraguan) pada masyarakat, maka ia telah merusak mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dirahmatilah kiranya orang yang begitu sibuk dengan kesalahan dirinya sendiri, sehingga ia tidak peduli dengan kesalahan orang lain.” [HR. al-Bazaar, dari Anas]
Islam juga sangat mencela seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Rasulullah saw bersabda, artinya,“Diantara hal yang menyempurnakan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” [HR.Tirmidziy dalam shahih al-Tirmidziy].
Rasulullah saw juga bersabda, “Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu, lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas perbuatanmu itu.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah].
Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, artinya, “Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR.Thabaraniy dalam Mu’jam al-Kabir].
Rasulullah saw bersabda, artinya,“Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” [HR. Imam Bukhariy dari Hudzaifah, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy]
Hadits-hadits di atas merupakan larangan melakukan aktivitas-aktivitas mengintip, menyadap pembicaraan orang lain, dan mengorek-ngorek berita, menguping pembicaraa orang lain. Aaktivitas-aktivitas ini merupakan bagian terpenting dari aktivitas spionase.Atas dasar itu, tidak ragu lagi, aktivitas memata-matai seorang Muslim hukumnya adalah haram.
Bukti Dari Jalan Spionase
Islam menolak bukti yang diperoleh dengan jalan spionase, tidak seperti tradisi hukum barat. Orang-orang kafir barat biasa menggunakan detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal dengan jalan menyadap telepon, dan dengan berbagai metode spionase yang menyimpang [electronic surveillance].
Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan alat bukti di majelis persidangan. Dalilnya adalah riwayat dari al-A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa al-Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh (telah minum khamer) karena terdapat tetesan khamr di jenggotnya. Ibnu Mas’ud berkata:
إنَّا قَدْ نُهِيْنَا عَنِ التَّجَسُّسِ ولكِنْ إنْ يَظْهَرْ لَنَا شَيْءٌ نَأخُذ بِهِ
‘Sesungguhnya kami dilarang untuk mencari-cari kesalahan (memata-matai), tetapi kalau kami benar-benar mengetahui adanya sesuatu penyelewengan, maka kami pasti akan menghukumnya.”[HR. Imam Abu Dawud]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya memata-matai rakyat atau warga negara adalah haram.
Adapun memata-matai kafir harbiy [seperti Cina Komunis, Amerika Serikat, Israel, dan lain sebagaiya], baik kafir harbiy fi’lan maupun hukman, hukumnya adalah jaiz (boleh) bagi seorang Muslim atau sekelompok kaum Muslimin; dan wajib bagi negara [Daulah Khilafah], baik kafir harbiy yang berada di dalam negara Khilafah Islamiyyah maupun yang berada di luar. Dalilnya adalah riwayat yang disebut dalam Sirah Ibnu Hisyam, bahwa Nabi saw pernah mengutus ‘Abdullah bin Jahsiy bersama 8 orang dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah saw memberikan sebuah surat kepada ‘Abdullah bin Jahsiy, dan beliau saw menyuruhnya agar tidak melihat isinya. Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan kira-kira 2 hari lamanya. Selanjutnya mereka bergegas pergi. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, barulah ‘Abdullah bin Jahsiy membuka surat, dan membaca isinya. Isinya adalah, “Jika engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun korma antara Mekah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan khabarkanlah kepada kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”
Sanksi Tindakan Spionase
Jika spionase dilakukan kafir harbiy baik fi’lan maupun hukman, maka sanksinya adalah bunuh, bila diketahui ia mata-mata, atau terbukti ia seorang mata-mata. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dituturkan Imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’ ra. Salamah bin al-Akwa’ berkata, “Seorang mata-mata dari orang-orang Musyrik mendatangi Rasulullah saw, sedangkan orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama dengan para shahabat Nabi saw, dan ia berbincang-bincang dengan para shahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi saw berkata, “Cari dan bunuhlah dia!” Lalu, aku [Salamah bin al-Akwa’] berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari para shahabat yang laih, dan aku membunuhnya.”[HR. Imam Bukhari]
Bila seorang Muslim memata-matai Muslim lain untuk kepentingan musuh, maka ia tidak dibunuh. Dalilnya, Rasulullah saw memerintahkan untuk membunuh kafir dzimiiy [yang melakukan tindak spionase], namun ketika orang itu masuk Islam, hukuman bunuh itu dibatalkan. Rasulullah saw memerintahkan para shahabat membunuh Furat bin Hayyan, seorang kafir dzimmiy yang menjadi mata-mata, namun ketika para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah bersumpah menjadi seorang Muslim.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang dari kalian yang menolak keimanan mereka, dan sebagian dari mereka itu adalah Furat bin Hayyan.” Walhasil, ‘illat dibatalkannya hukum bunuh, karena ia telah menjadi seorang muslim.
Sanksi seorang Muslim yang melakukan tindak tajassus, tidaklah dibunuh. Namun, ia diberi sanksi berdasarkan apa yang ditetapkan Khalifah maupun qadliy.
Kesimpulan
Seorang Muslim wajib menjaga kehormatan, privasi, dan hak-hak Muslim lain. Seorang Muslim dilarang melanggar kehormatan, merampas harta, membunuh jiwa seorang Muslim, dan menelantarkan hak-hak mereka. Seorang Muslim dilarang keras memata-matai Muslim lain, dan mencari-cari kesalahan mereka. Nabi saw bersabda:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap Muslim atas Muslim lain adalah haram (terpelihara), darahnya, hartanya, dan kehormatannya”.[HR. Imam Muslim]
Seorang Muslim didorong untuk menyelesaikan kesulitan dan kesusahan seorang Muslim lain, menutup aib-aibnya, dan selalu berbuat baik kepada saudara Muslimnya. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra bahwasanya Nabi saw bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lain, tidak mendhaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa memenuhi hajat saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi hajatnya. Dan barangsiapa melepaskan dari seorang Muslim kesulitan, niscaya Allah melepaskan kesulitan dari kesulitan-kesulitan kelak di hari kiamat. Dan barangsiapa menutup aib seorang Muslim, maka Allah menutup aibnya kelak di hari kiamat”.[HR. Imam Bukhari][]