Surat Raja Sriwijaya Awali Hubungan Khilafah dengan Nusantara

 Surat Raja Sriwijaya Awali Hubungan Khilafah dengan Nusantara

Sejak abad pertama berdirinya khilafah Islam, Nusantara sudah berinteraksi dengan para pedagang Islam bahkan penguasanya mengirim surat kepada khalifah. Raja Sriwijaya meminta Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengirimkan para ulama guna menjelaskan Islam dan hukum-hukumnya. Seiring dengan diterimanya Islam secara luas di Nusantara, era kerajaan-kerajaan Hindu-Budha pun berganti menjadi era kesultanan-kesultanan Islam. Itulah benang merah yang didapat dalam wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan sejarawan Septian AW. Berikut petikannya.

Sejak Kapan Nusantara Memiliki Hubungan dengan Khilafah Islam?

Catatan sejarah hubungan khilafah dengan Nusantara setidaknya diawali sejak Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Budha yang beribu kota di Palembang tersebut pernah dua kali mengirimkan surat kepada Khilafah Islam. Pertama pada masa Khalifah Muawiyah I (berkuasa 661-680 Masehi).

Bagian pembukaan dari surat pertama dikutip oleh al-Jahiz dalam bukunya Kitab al-Hayawan (Buku Fauna) berdasarkan 3 rantai sanad. Kutipan surat itu berbunyi: “(Dari Maha Raja) — yang istalnya berisi ribuan gajah, istananya berkilau emas dan perak, dilayani oleh ribuan puteri raja, yang menguasai dua sungai yang mengairi gaharu — untuk Muawiyah.”

Dan untuk surat yang kedua dikirimkan kepada Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (berkuasa 717– 720 M). Surat kedua didokumentasikan oleh Abdul Rabbih (860-940 M) dalam karyanya Al-Iqdul Farid.

Potongan surat tersebut berbunyi: “Dari Rajadiraja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.”

SQ Fatimi memperkirakan surat-surat itu diterima Khalifah sekitar tahun 100H/717. Dua surat itu bisa dikatakan sebagai titik awal Islam masuk ke Nusantara meskipun juga Raja Sriwijaya beserta jajaran pemerintahannya sudah berinteraksi dengan para pedagang Islam yang datang ke Nusantara.

Perlahan tapi pasti, seiring semakin masifnya dakwah diterima, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha berganti menjadi berbagai kesultanan Islam.

Bagaimana Hubungan Kesultanan-Kesultanan Tersebut dengan Khilafah?

Para penguasa Muslim di Nusantara mendapatkan gelar sultan dari Syarif Mekah, dalam bahasa sekarang Gubernur Mekah. Syarif Mekah mendapatkan mandat dari Khalifah yang berkedudukan di Istambul untuk melakukan itu.

Catatan sejarah, seperti yang dikutip Azyumardi Azra, mengungkap Penguasa Banten Abdul Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima anugerah gelar sultan dari Syarif Mekah. Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada 1641 juga mendapatkan gelar sultan dari Syarif Mekah selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekah.

Bagaimana Peran Khilafah dalam Melawan Penjajahan di Nusantara?

Catatan sejarah yang relatif lebih lengkap adalah perlawanan di Aceh. Pada Abad 16, dokumen resmi ¬Divan-i Humayun merekam kedatangan utusan Aceh ke Istanbul dan permintaan bantuan militer dari Turki, juga persiapan kunjungan angkatan laut Turki ke Sumatera untuk mendukung Aceh pada 1567.

Pada Abad 19, delegasi Aceh datang ke Istanbul pada 1851 dan 1873. Ada pembaruan janji loyalitas Aceh pada periode sebelumnya dan permintaan bantuan perlindungan Aceh kepada Turki Utsmani.

Pada tahun 1849 Sultan Mansur Syah mengirimkan utusan ke Sultan Abdülmecid dengan membawa surat yang menegaskan kembali status Aceh sebagai negeri di bawah kedaulatan Utsmani, dan meminta bantuan menghadapi Belanda.

Satu tahun kemudian mengirim surat kembali. Yang dihasilkan hanya peninjauan wilayah Aceh. Sultan Utsmani tidak bisa mengambil keputusan kecuali melalui Dewan Istana.

Pada 1873, Aceh kembali mengirim delegasinya ke Istanbul untuk mendapatkan dukungan dan menyatakan kesetiaan. Namun sayang, di waktu bersamaan banyak daerah Khilafah Utsmani yang juga dijajah oleh negara-negara Kristen Barat. Sehingga pada 13 Juni 1873, khalifah hanya dapat memberikan bantuan secara keagamaan bukan politik.

Seperti Apa Hubungan Khilafah dan Ulama-ulama di Nusantara?

Catatan sejarah yang ditemukan, pada abad 19-20, Aceh terlibat perang dengan Belanda dalam Perang Sabil. Banyak khatib yang menyerukan jihad dalam khutbahnya. Juga mengagungkan Turki Utsmani dan mengharapkan bantuan datang.

Namun seperti yang disinggung sebelumnya, di penghujung eksistensinya, Khilafah Utsmani tidak dapat memberikan bantuan politik dan militer karena seluruh wilayahnya juga dijajah hingga akhirnya Khilafah Utsmani runtuh pada 1924.[]

Dimuat pada rubrik WAWANCARA Tabloid Media Umat edisi 198

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *