Kapitalisasi Bencana Corona?
Oleh: Hadi Sasongko (Dir. Poros)
Corona adalah virus langka dan mematikan. Berjangkitnya virus corona yang mematikan yang bermula di Wuhan China, jumlah kasus virus corona di seluruh dunia telah mencapai 181.562 kasus dengan korban meninggal sebanyak 7.138 orang. Sejauh ini, penyebaran virus corona hanya menjadi isu yang “tampak memprihatinkan” sejak adanya laporan banyak orang-orang di Barat yang telah terinfeksi penyakit ini.
Sebuah wawasan tentang industri obat akan memungkinkan kita memahami mengapa vaksin untuk virus corona belum ditemukan. Perusahaan-perusahaan farmasi harus mematuhi kerangka peraturan ketat, yaitu FDA, yang menyaring obat-obatan yang gagal memasuki pasar setelah dilakukan uji praklinis dan uji klinis. Akibatnya, perusahaan-perusahaan farmasi tersebut mengklaim bahwa dari semua biaya yang mereka keluarkan, hanya biaya pengembangan saja yang tertutupi karena dari 20 obat hanya 3 obat yang disetujui. Di samping itu, dari 3 obat yang disetujui tersebut, hanya 1 obat yang mampu menghasilkan cukup uang untuk menutup biaya pengembangan dan biaya kegagalan-kegagalan sebelumnya. Artinya, dalam konteks saat ini, untuk dapat bertahan, sebuah perusahaan obat perlu menemukan blockbuster (obat yang bernilai miliaran dollar) setiap beberapa tahun sekali.
Penyakit seperti corona mungkin berada dalam produk bernilai jual rendah karena saat ini penyakit tersebut hanya menginfeksi sedikit dari penduduk saja. Lebih lanjut, jika pengobatan tersebut nantinya akan berlangsung untuk jangka waktu yang singkat, tidak sampai bertahun-tahun. Artinya, ada lebih banyak peluang untuk kehilangan keuntungan sehingga tidak ada motif finansial untuk penelitian virus corona.
Model bisnis kapitalistik telah dikenal dan telah memicu kontroversi selama puluhan tahun dengan kasus-kasus lain seperti virus HIV, yang saat itu ratusan ribu orang Afrika ditolak mendapatkan pengobatan hanya karena pemerintah tidak mampu membeli obatnya. Namun demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini pengembangan antibiotik baru sedang mengalami krisis.
Tahun demi tahun, perusahaan-perusahaan farmasi mengeruk keuntungan besar. Sejak tahun 2003 hingga 2012, 11 perusahaan obat terbesar (Big Pharma) mendapatkan laba bersih senilai $711.4 miliar. Pada tahun 2012 saja, Big Pharma mendapatkan hampir $85 milyar laba bersih. Menurut IMS Health, penelitian kesehatan terunggul skala internasional, obat-obatan untuk pasar dunia diharapkan mencapai $1 triliun pada penjualan tahun 2014. Oleh karena itu, Anda akan berharap bahwa jumlah obat yang menyelamatkan jiwa akan meningkat karena adanya peningkatan dalam riset dan pengembangan, namun hal ini tidak akan terjadi. Hanya segelintir obat penting yang telah dibawa ke pasar dalam beberapa tahun terakhir dan obat-obatan itu kebanyakan didanai oleh para pembayar pajak yang mendanai penelitian lembaga-lembaga akademis, perusahaan-perusahaan bioteknologi kecil atau NIH (National Institute of Health). Mayoritas obat baru adalah variasi dari obat-obat lebih lama yang dikenal sebagai obat “Me-Too” yang hanya dipasarkan sebagai perputaran. Perusahaan farmasi adalah satu di antara perusahaan yang menggunakan iklan Direct-to-Consumer (DTC) tertinggi di dunia. Pada tahun 2013, Big Pharma menghabiskan $3.6 miliar untuk belanja DTC.
Seperti semua industri dalam Kapitalisme, ekonomi pasar bebas telah memungkinkan industri farmasi untuk menjalankan kekuasaan, kekuatan politik, dan pengaruh sosial terhadap pemerintah suatu negara, jaringan pelayanan kesehatan, para dokter, dan rumah sakit menentukan jenis perawatan apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak dibutuhkan seperti untuk virus corona.
Para korban virus corona saat ini dan yang akan datang tidak hanya menjadi korban penyakit tersebut, tetapi juga korban dari kerakusan Kapitalisme. Sebuah sistem yang menjadikan bantuan kemanusiaan untuk mendapatkan keuntungan politik dan laba. Inilah alasan mengapa penyakit yang telah diketahui cukup lama, menjadi terabaikan. Padahal bisa saja pengobatan dikembangkan untuk hal ini.