Apakah Polsek Tidak Perlu Melakukan Tindakan Penyelidikan dan/atau Penyidikan Perkara Pidana?
Oleh : Ahmad Khozinudin, SH | Ketua LBH Pelita Umat
Belum lama ini Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Mahfud Md mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar Kepolisian Sektor (Polsek) dilepaskan dari tugas penyelidikan dan penyidikan atas kasus-kasus pidana.
Selama ini menurut Mahfud, Polsek menerapkan sistem target dalam menangani perkara. Kinerja mereka dianggap tidak baik jika tidak menemukan kasus pidana. Alhasil, kasus-kasus ringan yang semestinya bisa dikesampingkan seperti orang mencuri semangka diusut, dihukum berdasarkan KUHP.
Polsek hanya perlu menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga keamanan dan pengayom masyarakat. Adapun, penanganan kasus-kasus pidana bisa diserahkan seluruhnya ke kepolisian Resort Kota dan Kabupaten.
Mahfud juga menekankan, dalam melaksanakan penegakan hukum, kepolisian harus mengedepankan pendekatan keadilan restoratif. Artinya, aparat harus menitikberatkan pada terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban.
Terpisah, Polri menyebut usulan ini Perlu didiskusikan lagi. Sebab, hingga hari ini Polisi dari tingkat Mabes, Polda, Polres, dan Polsek memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Demikian, ungkap Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra di Mabes Polri, Rabu (19/2/2020).
Problema Norma Pidana Sebagai Dasar Penindakan Bukan Kewenangan
Polisi adalah suatu pranata umum sipil yang menjaga ketertiban, keamanan, dan penegakan hukum di seluruh wilayah negara. Kepolisian adalah salah satu lembaga penting yang memainkan tugas utama sebagai penjaga keamanan, ketertiban dan penegakan hukum, sehingga lembaga kepolisian pasti lah ada di seluruh negara berdaulat.
Polisi dalam lingkungan pengadilan bertugas sebagai penyidik. Dalam tugasnya dia mencari barang bukti, keterangan-keterangan dari berbagai sumber, baik keterangan saksi-saksi maupun keterangan saksi ahli.
Polisi sebagai penyidik, secara tegas diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 KUHAP, dijelaskan :
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Pasal 1 angka 4 KUHAP dijelaskan :
“Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.”
Pasal 1 angka 5 KUHAP, menerangkan :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Dalam konteks Kewenangan, tugas Penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia baik ditingkat Mabes Polri, Polda, Polres Kota dan Kabupaten hingga Polsek, kesemuanya memiliki kewenangan untuk melakukan tugas-tugas penyelidikan dan penyidikan. Yang membedakan hanyalah wilayah hukum Kewenangan, jika Mabes Polri bisa menangani perkara di TKP seluruh Indonesia, wewenang itu tidak dimiliki Polda, Polres maupun Polsek.
Polsek adalah gugus tugas Kepolisian yang paling terdepan, yang memiliki wilayah Kewenangan kerja ditingkat kecamatan. Polsek hanya tidak bisa menyidik perkara, jika Tempat Kejadian Perkara (TKP) dilakukan di Kecamatan diluar wilayah kewenangan Polsek.
Artinya, kepolisian ditingkat Polsek hanya dapat melakukan pemilahan perkara berdasarkan kewilayahan kewenangan. Polsek tak memiliki wewenang menerima atau menolak menangani kasus berdasarkan berat ringannya Perkara.
Dalam ketentuan pasal 362 KUHP disebutkan :
”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”
Berdasarkan ketentuan pidana dalam KUHP, Pencurian yang merugikan puluhan hingga ratusan juta, atau pencurian ringan yang hanya merugikan 100 ribu atau bahkan puluhan ribu rupiah, keduanya tetap menjadi kewenangan penyidik, termasuk penyidik Polsek. Polsek tidak bisa menolak perkara hanya karena kerugian akibat kasus pencurian ringan.
Jika demikian, problem yang disampaikan Mahfud MD, keluhan adanya kasus ringan seperti mencuri semangka di proses hukum, akar masalahnya bukan terletak pada kewenangan Polsek yang dapat menyidik perkara. Tetapi terletak pada norma pasal Pencurian, yang tidak memberi batasan atau limitasi tegas sehingga semua perkara bisa disidik oleh penyidik, baik ditingkat Polsek, Polres, Polda hingga Mabes Polri.
Mengadopsi Norma Pidana Islam, Sebuah Solusi
Kita semua prihatin dengan fakta penegakan hukum di negeri ini yang timpang dan tak adil. Betapa tidak, mbok Minah yang hanya mencuri beberapa biji kakao harus diadili, kasus pencurian semangka, kasus pencurian getah karet, dan banyak lagi kasus remeh temeh yang dilakukan rakyat kecil, karena dorongan memenuhi kebutuhan hidup, diproses secara hukum bahkan berujung penjara.
Dilain pihak, pelaku Mega Korupsi seperti kasus BLBI, Century, E KTP, Jiwasraya, pelakunya masih banyak yang melenggang bebas, tak tersentuh oleh hukum. Harun Masiku, tersangka yang terlibat korupsi komisioner KPU Wahyu Setiawan, hingga hari ini belum ditangkap.
Namun, jika dikembalikan pada kasus pencurian apapun bentuknya dan berapapun nilai kerugiannya tetaplah pencurian. Karena itu, perlu membuat norma dan definisi, serta batasan pencurian yang adil agar tidak semua pencurian diproses secara hukum.
Dalam Islam, mencuri terkategori kejahatan yang melanggar hak Allah SWT. Pencurian terkategori hudud, yakni kejahatan tertentu yang mendapat sanksi hukum tertentu.
Pencurian dalam pandangan Islam hanya bisa diproses hukum jika memenuhi kriteria :
Pertama, pencurian dilakukan terhadap barang yang nilainya minimal setara dengan seperempat Dinar*. Pencurian dibawah nilai seperempat Dinar seperti mencuri beberapa biji kakao, semangka atau beberapa kilo getah karet, tidak perlu diproses hukum, kecuali hanya diberi sanksi yang sifatnya mendidik.
Kedua, pencurian dilakukan digudang, dirumah atau tempat yang dijaga dan diamankan. Pencurian yang dilakukan di kebun, hanya memungut getah karet, mengambil beberapa biji kakao, tidak diproses hukum, kecuali hanya diberi sanksi yang sifatnya mendidik.
Ketiga, pencurian bukan disebabkan oleh pemenuhan hajat yang mendesak, semisal karena mengalami rasa lapar yang dahsyat. Jika Pencurian dilakukan karena lapar, negara tidak perduli, dan masyarakat juga acuh, keadaan ini menyebabkan pelaku pencurian tidak bisa dijerat hukum.
Pada kasus seperti ini, pelaku pencurian tidak diproses hukum, kecuali hanya diberi sanksi yang sifatnya mendidik.
Keempat, pencurian terjadi bukan di masa paceklik, kemarau panjang, dimana pencuri melakukan pencurian hanya sekedar melepaskan kebutuhan atas hajat hidup. Pada keadaan ini, pencurian tidak diproses hukum, kecuali hanya diberi sanksi yang sifatnya mendidik.
Jika keempat syarat dan keadaan sebagaimana diterangkan diatas terpenuhi, pencurian dilakukan melebih nishab seperempat Dinar, dilakukan di gudang atau tempat terjaga, bukan karena lapar atau hajat mendesak, tidak dalam kondisi paceklik, barulah pelakunya diproses hukum. Setelah terbukti melalui sidang pengadilan, pelakunya divonis dengan sanksi hukum potong tangan.
Mengenai sanksi hukum potong tangan ini, hakim tak bisa menggantinya dengan sanksi dalam bentuk lain baik berupa penjara atau denda. Sanksi potong tangan ini adalah hak Allah SWT (hudud), yang tidak bisa diganti dengan sanksi yang lain.
Jika saja negara mengadopsi norma pidana Islam dalam kasus pencurian ini, niscaya kasus remeh temeh yang dijelaskan Mahfud MD seperti mencuri semangka, mencuri beberapa biji kakao, mencuri sisa getah karet, tidak perlu diproses hukum. Dengan demikian, solusi ini tidak perlu menghilangkan kewenangan penyidik di tingkat Polsek untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan.
Ini baru norma pidana soal pencurian, bagaimana jika seluruh norma pidana Islam diadopsi ? Apakah akan memberi efek lebih baik ? Lebih adil ?
Tentu saja, sebagai seorang muslim kita wajib meyakini bahwa hukum Allah SWT adalah hukum terbaik dan yang paling adil. Contoh saja, dalam perkara Jinayat yakni pencederaan terhadap jiwa atau badan, dimana didalam Islam mengenal permaafan.
Dalam aspek hukum Qisos Diyat, Korban yang telah memberikan maaf dapat dijadikan dasar penghentian kasus. Pelaku hanya diberi kewajiban membayar Diyat*.
Misalnya dalam kasus kecelakaan, yang tanpa sengaja menyebabkan luka atau kematian. Dalam Islam, kasus ini masuk Perkara Jinayat (Qisos Diyat), yakni kewenangan menuntut pelaku ada pada korban atau keluarganya.
Jika korban telah memaafkan, pelaku telah membayar kompensasi (Diyat), maka negara melalui aparat kepolisian tidak punya hak untuk meneruskan kasus. Inilah wujud nyata keadilan restoratif (Restoratif Justice) yang telah lama diajarkan Islam.
Namun pada era ini, kasus kecelakaan tetap diproses penyidik meskipun telah ada damai antara para pihak. Kadangkala, sengketa hukum bukan lagi antara pelaku dan korban, tetapi antara pelaku dan kepolisian.
Korban yang telah memaafkan pelaku, pelaku yang telah menanggung biaya pengobatan dan perawatan, bahkan memberi santunan atas kecelakaan, termasuk damai yang terjadi antara pelaku dan korban, dipandang tidak dapat menghentikan kasus karena perdamaian tidak menghilangkan unsur pidananya.
Polisi tidak juga bisa menghentikan kasus, karena norma pidana yang diatur dalam KUHP tak memungkinkan Penyidik menghentikan kasus. Berbeda dengan Islam, dimana pada kasus Qisos Diyat seperti dalam kecelakaan ini, wewenang menuntut perkara mutlak milik korban bukan negara atau kepolisian.
Negara dan seluruh aparat penegak hukum, demi hukum harus menghentikan kasus jika korban telah memaafkan. Dengan model pidana seperti ini, perkara tidak menumpuk karena tidak semua perkara berujung pidana penjara.
Khatimah
Demikianlah keunggulan dan keadilan syariat Islam. Baru dalam perkara Pencurian dan kecelakaan yang menyebabkan cidera atau kematian saja Islam telah menampakkan keunggulan dan keadilannya. Apalagi, jika semua syariat Islam baik dalam perkara hudud, Jinayat (Qisos Diyat), Ta’jier dan Mukholafah diterapkan.
Pasti, keadilan, kemaslahatan dan kesejahteraan akan wujud manakala syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan institusi negara. Semua rakyat akan merasa mendapat keadilan, semua aparat penegak hukum akan merasa tenteram menjalankan tugas, semua instrumen negara berfungsi untuk melayani rakyat bukan sebaliknya menzalimi rakyat.
Keadilan dalam Islam juga tidak hanya berdimensi duniawi, namun juga ukhrawi. Penerapan syariat Islam secara kaffah, adalah wujud ketaatan paripurna dan akan membuahkan pahala, ridlo dan surga-Nya. [].
Catatan :
*Seperempat Dinar setara dengan seperempat kali 4,25 Gram emas. 1 dinar setara dengan 4,25 gr.
*Diyat adalah kompensasi harta atas pencederaan badan atau jiwa berupa dinar/emas (uang) atau unta yang besarnya ditentukan berdasarkan ketentuan syariat.