Bantahan Terhadap Pernyataan Syaikh Al-Azhar Yang Dibacakan Di Konferensi Internasional Di Kairo

 Bantahan Terhadap Pernyataan Syaikh Al-Azhar Yang Dibacakan Di Konferensi Internasional Di Kairo

Oleh: ‘Abid ‘Abidal al-Barr

Deklarasi yang dibacakan oleh Grand Syaikh al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, yang kontroversial soal Khilafah, tanggal 27 Januari 2020 lalu, memantik reaksi umat Islam, sebagaimana yang diwakili oleh Dr. Ahmad al-Qashash, yang dirilis oleh Channel al-Waqiyah. Padahal, sehari sebelumnya, Grand Syaikh al-Azhar telah mengkritik pernyataan Rektor Universitas Kairo, di acara yang sama, mengenai masalah pembaharuan khazanah intelektual, yang menurutnya salah alamat.

Reaksi umat Islam terhadap pernyataan yang dibacakan oleh Grand Syaikh al-Azhar memang tidak sekuat, ketika Syaikh ‘Ali ‘Abdur Roziq, seorang Hakim Agama, ulama’ al-Azhar, dengan bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukm, tahun 1925, setahun setelah runtuhnya Khilafah, yang jelas-jelas menolak adanya negara Islam, dan Khilafah dalam Islam. Ketika itu, reaksi Hai’ah Kibar Ulama’ al-Azhar, terhadap ‘Ali ‘Abdur Roziq begitu keras, yang berujung pada pencabutan seluruh ijazah yang dikeluarkan oleh al-Azhar.

Perbedaan reaksi kaum Muslim terhadap masalah ini bisa dimengerti, bukan karena kewajiban untuk menegakkan Khilafah itu telah hilang dari ingatan umat Islam. Tetapi, justru karena umat Islam tidak lagi melihat al-Azhar sebagai rujukan dalam perjuangan untuk menegakkan Khilafah, sebagaimana era 1925 M. Terlebih setelah intervensi politik terhadap salah satu universitas tertua di dunia ini begitu kuat. Karena itu, jika kemudian Grand Syaikh al-Azhar menyatakan pernyataan seperti itu, umat Islam pun tampaknya tidak terkejut. Itu yang membuat reaksi mereka biasa-biasa saja.

Kesalahan Grand Syaikh al-Azhar adalah, ketika menyatakan, “Negara dalam Islam adalah nation state, negara Demokratis yang menggunakan konstitusi modern. Sementara Khilafah adalah sistem pemerintahan yang diridhai para sahabat Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama, yang cocok pada zamannya. Bahwa tidak ada dalam nash al-Qur’an maupun as-Sunnah teks yang memaksa harus menggunakan sistem tertentu. Semua sistem modern yang ada diterima oleh syariat Islam, selama memenuhi nilai keadilan, egaliter, kebebasan, dan penjagaan terhadap tanah air.”

Kesalahan Pertama

Ketika Grand Syaikh menyatakan, “Tidak ada dalam nash al-Qur’an maupun as-Sunnah teks yang memaksa harus menggunakan sistem tertentu. Semua sistem modern yang ada diterima oleh syariat Islam, selama memenuhi nilai keadilan, egaliter, kebebasan, dan penjagaan terhadap tanah air.” Benarkah tidak ada nash, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, yang memerintahkan umat Islam mengikuti sistem tertentu, sehingga sistem pemerintahan apapun dibolehkan?

Bantahan Pertama

Apakah Grand Syaikh tidak ingat, ketika Allah Subahanu wa Ta’ala menitahkan kepada Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama, yang juga merupakan titah kepada umatnya:

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ ۝ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ [سورة المائدة: 49-50]

“Hendaknya kamu [Muhammad] terapkan hukum [pemerintahan] berdasarkan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka [sehingga mereka] memalingkan kamu dari sebagian apa yang Allah turunkan kepadamu. Jika kalian berpaling [tidak mengikuti titah ini], maka ketahuilah [Muhammad], sesungguhnya Allah hanya ingin menimpakan musibah kepada mereka karena sebagian dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia itu fasik. Apakah hukum Jahiliyah itu yang mereka cari? Lalu, hukum siapakah yang lebih sempurna daripada hukumnya Allah bagi kaum yang beriman.” [Q.s. al-Maidah: 49-50]

Titah Allah kepada Nabi dan para sahabat ini dilaksanakan dengan sempurna, dengan mendirikan negara Islam di Madinah al-Munawwarah, sejak tahun 1-10 H. Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama sendiri yang langsung menjadi kepala negara, dan para sahabat sebagai pembantunya. Era ini disebut sendiri oleh Nabi, dalam lisannya, sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad, sebagai era Kenabian. Setelah sepuluh tahun memerintah, dengan hukum Allah, di era kenabian ini, Nabi wafat. Sebelum wafat, Nabi bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ [رواه مسلم]

“Dahulu Bani Israil diurus (dipimpin) oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi telah wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya setelahku, tidak ada seorang Nabi pun, dan akan ada para Khulafa’. Jumlah mereka banyak.” [Hr. Muslim]

Di dalam hadits ini jelas, Nabi melalui lisannya yang mulia itu menyatakan, bahwa yang mengurus urusan umat Nabi Muhammad, setelah wafatnya Nabi, bukanlah seorang Nabi. Karena tidak ada lagi Nabi, tetapi yang akan mengurus adalah para Khalifah (pengganti Nabi dalam urusan politik). “Khalifah” adalah orangnya, sedangkan “Khilafah” adalah jabatan dan sistemnya. Karena itu, Nabi tidak hanya menyatakan orangnya, tetapi juga jabatan dan sistemnya.

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, dengan tegas Nabi menyatakan:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، ثُمَّ سَكَتَ.

“Ada era kenabian di tengah kalian, dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada era Khilafah mengikuti metode kenabian, dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada era kekuasaan yang menggigit, dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada era kekuasaan yang diktator, dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada era Khilafah mengikuti metode kenabian, dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada. Kemudian, Allah mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian, Nabi pun diam.” [Hr. Ahmad]

Dengan jelas, hadits ini menyatakan tentang Khilafah, sebagai jabatan dan sistem pemerintahan, setelah Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama.

Karena itu, Nabi pun berwasiat:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ، وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ [رواه الترميذي وصححه]

“Maka, kalian wajib berpegang teguh pada sunahku, dan sunah para Khulafa’ Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunah itu dengan gigi gerahammu.” [Hr. at-Tirmidzi, dan beliau menyatakannya shahih]

Sistem pemerintahan Nubuwah yang ditinggalkan oleh Nabi itu, kemudian diwariskan kepada para sahabat. Nabi menyebutnya dengan sebutan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah, karena yang memerintah bukan Nabi, tetapi pengganti Nabi. Meski demikian, sistemnya adalah sistem yang sama, sehingga dinyatakan sendiri oleh Nabi dengan sebutan, Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Inilah yang menjadi ijmak sahabat, dan menjadi sunah Khulafa’ Rasyidin yang mendapatkan petunjuk itu. Karena itu, Nabi menitahkan, agar kita gigit dengan gigi geraham. Tidak boleh dilepas, dan ditinggalkan. Karena itu, hukum mengikutinya adalah wajib.

Dengan demikian, pernyataan Grand Syaikh yang menyatakan, bahwa tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’an maupun as-Sunah yang menyatakan bentuk sistem tertentu jelas keliru, dan tidak mempunyai nilai sedikit pun dalam pandangan syariat.

Kesalahan Kedua

Kesalahan Grand Syaikh yang kedua, adalah ketika menyatakan, “Negara dalam Islam adalah nation state, negara Demokratis yang menggunakan konstitusi modern.. Semua sistem modern yang ada diterima oleh syariat Islam, selama memenuhi nilai keadilan, egaliter, kebebasan, dan penjagaan terhadap tanah air.”

Benarkah negara dalam Islam adalah nation state dan negara Demokrasi? Benarkah semua sistem modern yang ada diterima oleh syariat Islam, selama memenuhi nilai keadilan, egaliter, kebebasan, dan penjagaan terhadap tanah air?

Bantahan Kedua

Khilafah adalah negara dunia, bukan nation state. Bukan pula negara Demokrasi, karena kedaulatannya di tangan syara’. Bukan di tangan rakyat.

Apa buktinya bahwa Khilafah adalah negara dunia, bukan nation state? Jawabannya, adalah dalil syara’, baik al-Qur’an, hadits, maupun ijmak sahabat. Kedua, fakta historis.

Dalam al-Qur’an, dengan tegas Allah menyatakan, umat Islam adalah umat yang satu. Tidak disekat dengan sekat kesukuan, kebangsaan, dan sekat-sekat terirorial. Allah berfirman:

إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ [سورة الأنبياء: 92]

“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang yang satu. Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” [Q.s. al-Anbiya’: 92]

Meski para mufassir menafsirkan makna, “Umat” di dalam ayat ini adalah agama, bahwa agama kalian adalah agama yang sama, yaitu tauhid, tetapi baik lafadz maupun maknanya, bisa digunakan untuk menunjukkan, bahwa umat Islam adalah umat yang satu. Karena khithab-nya ditujukan kepada Nabi dan para sahabat, yang juga berarti seruan kepada kita. Ini dikuatkan dengan firman Allah, tentang kewajiban menjaga persatuan, dan ukhuwwah di antara sesama umat Islam. Selain itu, di dalam Watsiqah Madinah, dengan jelas menyebut, bahwa umat Islam adalah umat yang satu.

Untuk mewujudkan, dan menjaga persatuan umat Islam ini, maka Nabi memerintahkan:

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا [رواه مسلم]

“Jika telah dibaiat dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [Hr. Muslim]

Dalam menjelaskan hadits ini, Imam an-Nawawi menyatakan:

فيه الأمر بقتال من خرج على الإمام أو أراد تفريق المسلمين ونحو ذلك، ونهي عن ذلك فإن لم ينته قوتل، وإن لم يندفع شره إلا بقتله قتل . وفي الحديث دليل على منع إقامة إمامين أو خليفتين لأن ذلك يؤدي إلى الشقاق والمخالفة، وحدوث الفتن وزوال النعم

“Di dalam hadits ini ada perintah untuk memerangi siapa saja yang memisahkan diri dari Imam [Khalifah], atau ingin memecahbelah persatuan kaum Muslim, dan sejenisnya. Dia harus dilarang melakukan tindakan itu. Jika tidak berhenti, maka harus diperangi. Jika keburukannya tidak bisa dihilangkan, kecuali dengan membunuhnya, maka dia harus dibunuh. Hadits ini juga menjadi dalil yang melarang untuk mengangkat dua imam, atau khalifah, karena itu akan menyebabkan terjadinya perselisihan, pelanggaran, fitnah, dan hilangnya nikmat.”

Imam kemudian menukil pendapat ijmak:

اتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين من عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا، وقال إمام الحرمين في كتابه الإرشاد: قال أصحابنا لا يجوز عقدها لشخصين، قال: وعندي أنه لا يجوز عقدها لاثنين في صقع واحد، وهذا مجمع عليه.

“Para ulama’ sepakat, bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam satu waktu, baik Dar al-Islam [wilayah negara Islam] luas atau tidak. Imam al-Haramain menyatakan, dalam kitabnya, al-Irsyad, “Para pengikut mazhab kami [Syafii] menyatakan, tidak boleh mengangkat khilafah untuk dua orang.” Beliau berkata, “Menurut saya, memang tidak boleh mengangkatnya untuk dua orang di satu wilayah.” Ini merupakan ijmak.”

Berdasarkan nash, baik al-Qur’an, hadits, maupun ijmak sahabat, juga penjelasan para ulama’ di atas, jelas bahwa umat Islam di seluruh dunia wajib mempunyai satu negara. Dipimpin oleh seorang Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin. Sebaliknya, umat Islam haram mempunyai lebih dari satu Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin. Itu artinya, Khilafah dan negara umat Islam bukanlah nation state, tetapi negara global.

Bukti kedua, negara kaum Muslim adalah negara global, telah dibuktikan oleh sejarah umat Islam sepanjang 14 abad, sejak Nabi memerintah di Madinah, hingga Khilafah Islam runtuh di Turki, tanggal 3 Maret 1924 M. Wilayahnya meliputi dua pertiga dunia, tiga benua, dan luasnya lebih dari 22 juta km2, atau dua kali lipat wilayah Amerika saat ini.

Kesalahan Ketiga

Kesalahan Grand Syaikh yang ketiga, ketika menyatakan, “Negara dalam Islam adalah negara Demokratis yang menggunakan konstitusi modern.. Semua sistem modern yang ada diterima oleh syariat Islam, selama memenuhi nilai keadilan, egaliter, kebebasan, dan penjagaan terhadap tanah air.”

Bantahan Kedua

Khilafah adalah sistem, yang berbeda dengan negara Demokrasi. Karena kedaulatannya di tangan syara’. Bukan di tangan rakyat. Semua orang juga tahu, bahwa demokrasi bukan berasal dari ajaran Islam.

Selain bukan berasal dari ajaran Islam, demokrasi juga tidak dibangun berdasarkan akidah Islam. Tetapi, dibangun berdasarkan akidah Sekularisme, atau pemisahan agama dari kehidupan, baik sosial maupun politik.

Adapun klaim tidak adanya dalil yang melarang, juga keliru. Bahkan, mungkin klaim yang mengatakan, bahwa memang ada dalil, tetapi justru dalil tersebut mendiamkannya. Dengan kata lain, semuanya diserahkan kepada manusia. Maka, baik klaim yang pertama maupun kedua, sama-sama keliru. Ketika Nabi menyatakan:

«وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ» [رواه أبو داود، الترميذى وابن ماجه]

“Dan, apa yang didiamkan itu merupakan keringanan.” (H.r. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah)

Sesungguhnya pernyataan Nabi ini terkait dengan konteks haji, ketika ada seseorang yang bertanya kepada baginda, seraya bertanya: “Apakah haji itu diwajibkan setiap tahun?” Nabi pun berpaling, tidak menjawabnya. Orang itu pun tetap saja bertanya, “Apakah haji itu setiap tahun?” Nabi pun berpaling, tidak menjawabnya. Orang itu pun bertanya untuk ketiga kalinya, “Apakah haji itu setiap tahun?” Maka, baginda menjawab,

«لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ثُمَّ قَالَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ»  [رواه مسلم، النسائي، ابن ماجه وأحمد]

“Andai aku mengatakan iya, pasti hukumnya menjadi wajib. Dan, kalian pasti tidak mampu.” Kemudian baginda bersabda, “Maka, biarkanlah aku dengan apa yang aku biarkan untuk kalian.”  [H.r. Muslim, An-Nasai, Ibn Majah dan Ahmad]

Karena itu, tidak ada sama sekali dalil yang mendiamkan suatu kasus. Karena itu berarti, kasus tersebut tidak mempunyai status hukum di dalam Islam. Itu jelas tidak mungkin. Hadits tersebut juga tidak bisa diartikan, bahwa status hukum perbuatan tersebut diserahkan kepada manusia. Karenanya, klaim-klaim di atas jelas-jelas keliru.

Adapun fakta syura, maka praktik syura di dalam Islam, sangat jauh berbeda dengan syura dalam sistem demokrasi. Jika Islam memandang syura sebagai proses pengambilan pendapat dan keputusan, maka ketentuan Islam sangat berbeda dengan sistem demokrasi. Islam, misalnya, memilah pendapat dan keputusan yang hendak diambil itu menjadi empat:

  • Pendapat dan keputusan yang berkaitan hukum syara’, maka pendapat dan keputusan yang harus diambil adalah yang paling benar, karena dalilnya paling kuat. Meski pendapat itu dinyatakan oleh satu orang. Dalam hal ini, pendapat mayoritas harus dikalahkan dengan pendapat satu orang yang dalilnya paling kuat. Misalnya, judi, pelacuran dan kumpul kebo hukumnya haram, maka meski suara mayoritas menyatakan tidak, tetap saja pendapat mayoritas tersebut tidak bisa digunakan.[1]
  • Pendapat dan keputusan yang berkaitan dengan fakta keilmuan dan akademik, maka pendapat dan keputusan yang harus diambil adalah yang paling benar, yaitu dari pakar di bidangnya. Maka, pendapat mayoritas tidak bisa digunakan untuk menggugurkan pendapat pakar, terlebih jika kelompok mayoritas tersebut bukanlah pakar di bidangnya.
  • Pendapat dan keputusan yang berkaitan dengan strategi, seperti strategi perang dan sejenisnya, maka pendapat dan keputusan yang diambil adalah pendapat yang paling benar, yaitu dari ahli strategi. Dalam hal ini pun suara mayoritas tidak bisa menggugurkan pendapat ahli.[2]
  • Pendapat dan keputusan yang berkaitan dengan melaksanakan tindakan, seperti memilih wakil umat, kepala negara, ketua partai dan sebagainya, maka pendapat dan keputusan yang harus diambil adalah pendapat mayoritas. Dalam konteks ini tidak ada istilah benar dan salah, karena semua pilihan sudah diketahui kriteria dan konsekuensinya.[3]

 

Ini tentu berbeda dengan demokrasi. Syura dalam sistem demokrasi tidak memilah, mana pendapat dan keputusan yang berkaitan dengan hukum syara’, bidang keilmuan dan akademik, strategi dan melaksanakan tindakan. Semuanya diputuskan dengan menggunakan logika suara mayoritas. Karena itu, wajar jika legalisasi hukum Islam selalu kandas di parlemen. Karena sistemnya memang seperti ini. Dari fakta ini saja sudah jelas, bahwa syura dalam demokrasi sangat berbeda dengan syura dalam ajaran Islam.

Dari fakta ini saja sudah jelas, bahwa demokrasi tidak kompatibel dengan Islam. Selain itu, ada sejumlah fakta yang juga membuktikan, bahwa demokrasi bukan saja tidak kompatibel dengan Islam, tetapi bertolak belakang dengan Islam:

Pertama, demokrasi menjadikan kedaulatannya di tangan rakyat, sementara Islam menjadikan kedaulatannya di tangan syara’. Rakyatlah yang membuat hukum dan perundangan-undangan, sementara Islam menetapkan bahwa hukum dan perundang-undangan itu bukan buatan manusia, tetapi hukum yang diturunkan oleh Allah SWT.

Kedua, kepemimpinan dalam demokrasi bersifat kolektif, sementara kepemimpinan Islam bersifat tunggal, bukan kolektif. Dalam konteks pemerintahan saja, misalnya, apapun sistemnya, presidentil atau parlementer, pemerintahan demokrasi dipimpin oleh kabinet, bukan hanya oleh seorang kepala negara.

Ketiga, lembaga negara dalam sistem demokrasi dipecah menjadi tiga, yang lazim disebut trias politica, yaitu legislatif, eksekutif dan judikatif. Eksekutif dipimpin oleh presiden/wakil presiden, atau perdana menteri/wakil perdana menteri dengan kabinetnya, sementara legislatif dijalankan oleh DPR/MPR yang dipimpin oleh masing-masing ketuanya, dan judikatif dipimpin oleh lembaga yang berbeda dengan keduanya. Ini berbeda dengan institusi negara di dalam sistem pemerintahan Islam. Karena Islam memang tidak mengenal trias politica. Khalifah sebagai kepala negara adalah orang yang mempunyai otoritas dalam bidang pemerintahan secara utuh, baik eksekutif, legislatif maupun judikatif. Khalifahlah yang mengadopsi hukum syara’ untuk dijadikan undang-undang. Khalifahlah yang berhak mengangkat dan memberhentikan hakim di pengadilan, bahkan Khalifah bisa saja menjadi hakim, jika diperlukan.

Keempat, sistem demokrasi memaksa pemerintah untuk mengambil suara mayoritas dalam segala hal, baik betul-betul mayoritas atau 2/3 suara parlemen. Ini berbeda dengan Islam, yang menetapkan pengambilan suara mayoritas tersebut hanya dalam perkara melakukan tindakan, bukan dalam segala hal, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Kelima, demokrasi menganggap pengambilan suara rakyat (pemilu) hukumnya wajib, sementara Islam menyatakannya mubah, dan dalam konteks syura hukumnya hanya sunah. Bukan wajib.

Keenam, demokrasi memberikan hak kekebalan hukum kepada orang tertentu, seperti presiden/wakil presiden dan sebagainya, sementara Islam memandang semua warga negara sama di mata hukum. Maka, tidak ada bedanya antara kepala negara dengan rakyat jelata, jika keduanya sama-sama bersalah. Kepala negara pun bisa dikalahkan oleh rakyat jelata di depan pengadilan, sebagaimana yang terjadi pada Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, ketika dikalahkan oleh hakim Syuraih di pengadilan, atas orang Yahudi, yang notabene rakyat jelata, dalam kasus pemilikan baju besi.

Dari keenam fakta ini semakin jelas, bahwa demokrasi bukan saja tidak komplatibel dengan Islam, tetapi justru sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tentu sangat wajar, karena demokrasi tersebut lahir dari akidah Sekularisme, yang bertolak belakang dengan akidah Islam. Karena itu, demokrasi adalah sistem Kufur, yang haram diambil, diterapkan dan diperjuangkan.

Mengenai alasan diperbolehkannya mengambil sistem yang lain, selain Islam, asal bisa mewujudkan keadilan, kesamaan, kebebasan dan menjaga tanah air, ini merupakan kesimpulan yang dibangun dengan menggunakan Maqashid as-Syari’ah, dan logika mantiq. Padahal, baik Maqashid as-Syari’ah, maupun logika mantiq sendiri tidak bisa bukanlah dalil, juga bukan ‘ilat hukum, sehingga tidak bisa digunakan untuk membangun argumentasi. Wallahu a’lam. []


[1]  Ini didasarkan pada tindakan Nabi dalam kasus Shulh al-Hudaibiyyah, ketika pendapat Nabi yang didasarkan kepada wahyu itu mendapatkan penentangan dari ‘Umar. ‘Umar melihat, bahwa perjanjian ini merugikan umat Islam, ketika mereka datang ke Makkah, tetapi tidak boleh kembali ke Madinah, sementara kaum Kafir Quraisy yang datang ke Madinah, boleh kembali ke Makkah. Padahal, di balik semuanya itu ada rahasia yang disembunyikan oleh Nabi, agar cahaya Islam yang terpancar di Madinah itu bisa dilihat langsung oleh kaum Kafir Quraisy, dan mereka bisa menceritakan pengalaman mereka kepada kaumnya, langsung melalui mulut-mulut mereka sendiri. Sementara kaum Muslim yang ke Makkah, dan tidak boleh kembali ke Madinah, tak lain agar mereka bisa menyampaikan dakwah kepada penduduk Makkah. Dengan begitu, dakwah di Makkah bisa dilakukan melalui dua pihak secara simultan, yaitu kaum Muslim sendiri, dan melalui penuturan langsung orang Kafir yang datang ke Madinah itu. Inilah yang akhirnya mengubah persepsi kaum Kafir Quraisy terhadap Islam dan umatnya. Maka, tidak lama setelah perjanjian Hudaibiyah ini, Makkah jatuh ke tangan Nabi, tanpa pertumpahan darah sedikit pun. Sikap teguh Nabi berpegang pada pendapat dan keputusan baginda, karena pendapat dan keputusan itu merupakan ketentuan hukum yang diwahyukan oleh Allah SWT. Dalam hal ini, sikap ‘Umar maupun yang lain, tidak bisa mengubah pendapat dan keputusan baginda saw.

[2]  Ini didasarkan pada tindakan Nabi dalam kasus Perang Badar, ketika pendapat Nabi dan para sahabat dalam kasus penempatan posisi pasukan dimentahkan oleh Mundzir al-Jamuh, yang merupakan ahli strategi dan paling menguasai medan perang di kawasan Badar itu. Maka, Nabi pun mengubah keputusannya dan mengikuti pandangan Mundzir al-Jamuh. Hal yang sama juga bisa berlaku dalam konteks keilmuan dan akademik.

[3]  Ini didasarkan pada tindakan Nabi dalam kasus Perang Uhud, ketika mayoritas sahabat Junior menyatakan, bahwa pasukan kaum Muslim harus menyongsong musuh di luar Madinah, bukan di dalam kota Madinah. Ketika mereka melihat sahabat-sabahat senior berpendapat sebaliknya, mereka pun berusaha untuk mengubah keputusannya, tetapi keputusan sudah diambil oleh Nabi berdasarkan suara mayoritas, dan Nabi pun menolak mengubah keputusan baginda saw.

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *