Menolak Sekulerisasi Di Bidang Pendidikan!
Oleh: H. Indarto (direktur Forpeace)
Problem pendidikan Indonesia hari ini adalah dekadensi moral (kemerosotan akhlak) yang melanda generasi bangsa ini sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Liberalisme, hedonis, permissive, pragmatisme, materialisme yang merupakan nilai-nilai ideologi sekuler kapitalisme begitu nyata mencelupi kesucian jiwa dan kecerdasan generasi. Seks bebas, tawuran dan narkoba kian marak di kalangan pelajar.
Sebagai pelindung dan pelayan masyarakat sudah semestinya pemerintah berupaya secara serius mengatasi persoalan dekadensi moral, karena nyata-nyata mengakibatkan berbagai kemudharatan. Yaitu di antaranya melalui kebijakan penerapan kurikulum pendidikan yang benar (Islam). Karena jika tidak, maka yang terjadi adalah kaum terpelajar yang berpola pikir dan berpola sikap sekuler, sekalipun ia seorang muslim.
Hingga saat ini pemerintah telah melakukan kebijakan pergantian kurikulum sekitar 11 kali, yaitu tahun 1947, 1964, 1968, 1973, 1984, 1994, 1997, 1994, 2004, 2006, 2013, namun selama lebih dari sepuluh dekade tersebut yang dapat disaksikan adalah kaum terpelajar yang berfikir dan berperasaan sekuler. Nilai-nilai yang terpancar dari ideologi sekuler lebih menonjol pada umumnya kaum terpelajar.
Ini menjadi bukti bahwa kurikulum yang selama ini diterapkan pemerintah adalah kurikulum sekuler. Sekalipun pemerintah, sebagaimana dicanangkan dalam sistem pendidikan nasional, menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional diantaranya bertujuan melahirkan perserta didik yang bertaqwa dan berakhlak mulia. Artinya dekadensi akhlak yang melanda bangsa ini tidak lain dan tidak bukan salah satu penyebab pentingnya adalah karena kebijakan pemerintah yang menerapkan kurikulum pendidikan sekuler pada generasi bangsa ini.
Sampai 2020 ini, kurikulum yang diimplementasikan belum murni didasarkan pada aqidah Islam, sejatinya juga merupakan kurikulum sekuler. Itu artinya, sebagaimana pada kurikulum yang sudah-sudah, materi dan metode pengajaran mata pelajaran pendidikan agama Islam didesain untuk menjadikan Islam sebagai pengetahuan belaka, ini di satu sisi. Di sisi lain, jam mata pelajaran pendidikan agama dirancang sangat minimalis.
Akibatnya, Allah swt tetap dipahami sebatas gagasan kebaikan sebagaimana pandangan Barat terhadap konsep ketuhanan. Dan bukan Zat yang hakekatnya ada dengan segala sifat ketuhanan-Nya yang Maha Sempurna. Para pelajar tetap tidak akan sampai pada pemahaman konsep keridhoan Allah swt sebagai kebahagiaan tertinggi yang harus diraih, di samping aspek kemashlahatan tetap menduduki posisi lebih tinggi dari pada konsep halal haram dalam menstandarisasi aktivitas. Di samping itu, Islam hanya dipahami sebagai agama yang mengatur urusan akhirat, bukan sebagai sistem kehidupan yang mengatur dan memberikan solusi atas setiap persoalan kehidupan manusia. Pada hal semua itu adalah prinsip-prinsip bagi terwujudnya akhlak mulia pada pelajar.
Berdasarkan fakta kebijakan pemerintah yang berkali-kali mengubah kurikulum, namun semuanya tetap dalam bingkai ideologi sekuler, menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi hanyalah akan menerapkan kurikulum sekuler, sekalipun telah nyata kerusakannya. Bahkan kurikulum yang didasarkan aqidah Islam harus dijauhkan. Ini kenyataan. Yang demikian karena selain prinsip demokrasi yang menegasikan kewenangan Allah swt sebagai satu-satunya Pembuat aturan, sistem politik Barat ini memang didesain untuk melanggengkan hegemoni Barat, dimana kurikulum pendidikan merupakan salah satu sarana yang efektif.
Sungguh Allah swt telah mengingatkan dalam QS Ali Imran:118, artinya,” Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar lagi”.[]