Kasus Ahmad Khozinudin, Aparat Lagi-Lagi Bertindak Represif

 Kasus Ahmad Khozinudin, Aparat Lagi-Lagi Bertindak Represif

Mediaumat.news – Ketua LBH Pelita Umat Ahmad Khozinudin menemui penyidik Direktorat Pidana Siber Mabes Polri untuk melakukan lapor atas status dirinya yang ditetapkan sebagai Tersangka tanpa  penahanan, Kamis (16/1/2020) di Mabes Polri, Jakarta. Pada kesempatan tersebut ternyata penyidik dari tim yang lain memintanya diperiksa guna kepentingan penyidikan perkara lain yang bersangkutan.

Sebenarnya Ahmad berkeberatan mengingat agenda kedatangannya hanyalah untuk melakukan laporan atas statusnya sebagai tersangka. “Semestinya jika ada pemeriksaan harus ada surat panggilan terpisah atau konfirmasi terpisah mengenai hal itu,” ujarnya seperti dalam rilis yang diterima Mediaumat.news, Jumat (17/1/2020).

Akhirnya proses pemeriksaan pun dilakukan, beberapa substansi pertanyaan dihaturkan oleh penyidik. Di antara poin pentingnya adalah bahwa Ahmad tidak memiliki hubungan dengan orang yang ditanyakan penyidik, ia hanya ada hubungan pertemanan di Facebook.

Namun alangkah kagetnya Ahmad begitu materi berita acara pemeriksaan dicetak (print out). Di dalam pengantarnya Ahmad diambil keterangan sehubungan sebagai saksi atas adanya dugaan tindak pidana berupa penyebaran kebencian dan permusuhan berdasarkan suku agama ras dan antargolongan (SARA), berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ahmad kemudian mempertanyakan sekaligus mempersoalkan pasal ini diterapkan sebagai dasar penyidikan terhadap orang yang menyebarkan artikel Nasrudin Joha. Ahmad juga menyayangkan tindakan penyidik yang justru sibuk mempersoalkan kebebasan berpendapat rakyat tetapi justru abai terhadap masalah hukum yang sesungguhnya.

Ahmad sempat bersitegang dengan penyidik. Dan karena penyidik tidak menunjukkan sikap yang profesional terhadap proses penyidikan, Ahmad kemudian menolak untuk menandatangani berita acara pemeriksaan tersebut. Dengan nada sedikit mengancam, penyidik akan memanggil Ahmad secara resmi untuk proses tersebut.

Dalam kesempatan itu pula Ahmad menegaskan tidak takut dipanggil karena proses penyidikan perkara memang diawali dengan pemanggilan.

“Dan wajar saja penulis menolak untuk diperiksa karena agenda penulis datang ke Mabes Polri bukan untuk memenuhi panggilan penyidik untuk melaksanakan proses pemeriksaan tetapi sekadar untuk melakukan laporan atas status penulis sebagai tersangka yang tidak ditahan,” bebernya.

Lebih jauh Ahmad juga telah mengajukan komplain dan sampai hari ini belum ada keterangan resmi dari Mabes Polri terkait perkara yang ia alami. Saat itu Ahmad mengeluhkan proses penangkapan termasuk mempersoalkan proses penetapan tersangka dan langsung menangkap pada dini hari tanpa proses pemeriksaan pendahuluan, penyidik Mabes Polri tidak dapat menunjukkan norma pasal yang dijadikan rujukan.

Penyidik saat itu hanya menunjukkan kasus Mustofa Nahrawardaya sebagai rujukan. Bahwa Mustafa juga ditangkap langsung berstatus sebagai tersangka.

“Yang menjadi soal itu adalah rujukan sebagai dasar dan pijakan hukum, bukan praktik yang keliru yang dijadikan dalih pembenar. Jika praktik penegakan hukum seperti ini terus dipertahankan, maka penulis meragukan moto promoter yakni profesional, modern dan terpercaya, yang menjadi moto andalan Polri dapat terealisir,” pungkasnya.

Menurutnya, rakyat Indonesia merindukan aparat kepolisian yang melaksanakan tugas benar-benar dapat melayani melindungi dan mengayomi masyarakat. “Model-model penegakan hukum yang menggunakan pendekatan represifme dikhawatirkan akan menjauhkan institusi Polri dari masyarakat,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *