Sistem Baku Pemerintahan Islam?

 Sistem Baku Pemerintahan Islam?

Oleh: Fahmi Burhan

Ada yang bilang bahwa Islam tidak punya nizam siyasi muhaddad (sistem politik yang baku). Islam hanya memberikan prinsip-prinsip umum dalam perkara politik. Benarkah pernyataan ini? Ataukah ini adalah upaya penyesatan? Jika iya, maka bagaimana menjawabnya?

Dalam buku an-Nuzum al-Islamiyyah yang merupakan diktat di Fakultas Ushuluddin al-Azhar, disebutkan jawaban dari pernyataan tersebut. Disebutkan bahwasannya Islam memiliki sistem politik dan memerintahkan kaum muslim untuk mengamalkannya dan meninggalkan sistem politik selainnya. Adapun bukti bahwa Islam punya sistem politik baku terbagi menjadi tiga, nas-nas syara’, fakta yang terjadi di masa kenabian, dan kitab-kitab para ulama. Tulisan ini akan mencoba sedikit menguraikannya.

Nas-nas syara’ yaitu al-Quran dan Sunah telah menjelaskan sistem politik Islam yang harus diamalkan oleh kaum muslim. Nas-nas tersebut menjelaskan tujuan dari sistem politik tersebut, karakternya, bentuknya, asal kekuasaan di dalamnya, sifat-sifat orang yang menjalankannya, kewajibannya, haknya, posisi umat terhadapnya dan masih banyak lagi. Nas juga menyebutkan istilah-istilah khusus dalam sistem tersebut yang berbeda dengan istilah-istilah di sistem buatan manusia manapun, baik sebelum maupun sesudah munculnya Islam.

Sistem politik atau sistem pemeritahan dalam Islam adalah Khilafah. Orang yang menjalankannya adalah Khalifah, disebut juga dengan Imam, Amir, Amirul Mukminin, dan Hakim. Salah satu ayat al-Quran yang telah menjelaskan hal tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi,

(وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَـٰۤىِٕكَةِ إِنِّی جَاعِلࣱ فِی ٱلۡأَرۡضِ خَلِیفَةࣰۖ) [سورة البقرة 30]

“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku akan menjadikan di muka bumi seorang khalifah.'” (al-Baqarah: 30)

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, “Imam al-Qurthuby menggunakan ayat ini sebagai dalil kewajiban pengangkatan khalifah. Agar ia (khalifah) menyelesaikan sengketa di antara manusia, menghentikan pertikaian, menolong yang dizalimi terhadap yang zalim, menegakkan hudud dan mencegah terjadinya kemungkaran. Begitu juga dengan perkara-perkara penting lain yang tidak mungkin bisa ditegakkan kecuali dengan adanya seorang imam. Sesuai dengan kaidah, (ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب)

perkara yang tanpanya kewajiban tak sempurna, maka perkara tersebut adalah wajib.”

Ayat al-Quran lain yang semisal adalah surat Sad ayat 26 yang berbunyi,

(یَـٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَـٰكَ خَلِیفَةࣰ فِی ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَیۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ) [سورة ص 26]

“Wahai Daud, sungguh kami jadikan engkau khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kau ikut hawa nafsu.” (Sad: 26)

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini menyebutkan bahwa Walid bin Abdul Malik yang saat itu adalah amirul mukminin, bertanya pada Abu Zar’ah, salah seorang ulama di zamannya, “Apakah khalifah dikoreksi?” Maka Abu Zar’ah menjawab, “Sesungguhnya Allah memberikan Daud kenabian dan kekhilafahan lalu memberinya peringatan.” Lalu ia membaca surat Sad ayat 26 tadi.

Adapun dari hadits, ada banyak hadits yang menjelaskan bahwa Islam memiliki sistem politik. Dalam diktat disebutkan hadits-hadits yang menjadi dalil bahwa Islam punya sistem politik dan di sini hanya akan disebutkan beberapa hadits dari hadits-hadits yang disebutkan dalam diktat.

يكون في آخر الزمان خليفة يقسم المال ولا يعده

“Akan ada di akhir zaman khalifah yang membagi-bagikan harta dan tak menghitung-hitungnya.” (HR. Muslim)

لا يزال الدين قائما حتى تقوم الساعة أو يكون عليك اثنا عشر خليفة كلهم من قريش

“Agama ini akan tetap tegak sampai datangnya hari kiamat atau adanya dua belas khalifah yang semuanya dari Quraisy.” (HR Muslim)

Disebutkan juga hadits-hadits yang menyebut lafaz imam dan yang dimaksud dari lafaz imam tersebut adalah khalifah.

ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر

“Barang siapa yang membaiat seorang imam lalu menjabat tangannya dengan keikhlasan hatinya, hendaknya ia mentaatinya sebisanya. Lalu jika ada orang lain yang menyimpang maka bunuhlah ia.”

Jika ada beberapa hadits yang menyinggung sebutan bagi yang menjalankan sistem tersebut yaitu khalifah, maka ada juga hadits yang menyebutkan nama sistemnya.

تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها الله تبارك وتعالى إذا شاء أن يرفعها. ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها. ثم تكون ملكا عاضا فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها. ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها. ثم سكت.

“Akan ada masa kenabian di antara kalian dengan izin Allah, lalu Ia angkat dengan izin-Nya. Lalu akan ada masa khilafah dengan metode kenabian dengan izin Allah, lalu Ia angkat dengan izin-Nya. Lalu akan ada para raja yang menggigit dengan izin Allah, lalu Ia angkat dengan izin-Nya. Lalu akan ada masa khilafah di atas metode kenabian dengan izin Allah, lalu Ia angkat dengan izin-Nya. Lalu beliau terdiam.”

Inilah sebagian nas-nas syara’ yang membahas tentang sistem politik dalam Islam. Nas-nas tersebut memberikan ciri khas dan menyebutkan istilah-istilah tersendiri untuk sistem politik dalam Islam. Sehingga lafaz ‘khilafah’ menjadi nama bagi sistem politik atau sistem pemerintahan dalam Islam. Semua nas-nas tadi masih berupa teori dalam sistem politik, sedangkan prakteknya ada pada masa Rasulullah. Praktek itu menjadi bukti tersendiri bahwa Islam memiliki sistem politik yang baku.

Sebagaimana yang diketahui dan tak bisa diingkari oleh siapapun, bahwa Rasul berhasil mengubah masyarakat Madinah setelah beliau hijrah. Beliau mengubahnya menjadi sebuah masyarakat yang memiliki identitas khusus yang membedakannya dari masyarakat lain. Masyarakat yang memiliki satu aturan yang sama dan perasaan yang sama. Beliau sendiri yang memimpin masyarakat tersebut. Namun sebenarnya saat itu beliau tidak sedang memimpin masyarakat kecil, tapi beliau sedang memimpin negara dan beliaulah kepala negaranya.

Beliau memerintah dan mengatur urusan urusan kenegaraan. Beliau menegakkan keadilan dan menjaga keamanan di tengah masyarakat. Beliau berkirim pesan kepada raja-raja dari negeri jiran dan membuat perjanjian dengan mereka. Beliau memerangi musuh, mengirim pasukan dan menunjuk panglimanya. Beliau mengatur pembagian harta rampasan yang didapat dari perang. Beliau juga mengutus gubernur ke berbagai negeri yang tunduk kepada Islam. Juga hal-hal lain yang tak mungkin dilakukan kecuali oleh seorang kepala negara.

Lalu dikatakan, “Beliau itu nabi, jadi ya maklum.” Maka, apakah aktivitas beliau seperti mengirim pasukan, menunjuk gubernur, mengatur harta negara, melakukan hubungan dengan raja-raja, digantikan oleh para sahabat sepeninggal beliau? Atau tidak? Faktanya, ada Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang menggantikan beliau. Padahal jika aktivitas itu khusus untuk nabi saja, maka tak akan ada yang menggantikan beliau.

Dari sini, kita bisa tahu bahwa dahulu Nabi Muhammad SAW dan para khulafaur rasyidin berpolitik. Maka pertanyaannya, apakah mereka berpolitik mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan al-Quran dan Sunah? Jika iya, maka bukankah mereka bersandar pada prinsip-prinsip dasar dalam pokitik? Lalu apakah prinsip-prinsip dasar dalam berpolitik -seperti jujur dan adil yang mereka bayangkan- masih tetap dalam keumumannya? Ataukah prinsip-prinsip tersebut sudah Rasulullah contohkan cara menerapkannya hingga menjadi sebuah sistem yang baku?

Hanya ada dua kemungkinan, Rasul berpolitik atau tidak berpolitik. Kemungkinan kedua jelas salah, karena fakta sejarah membuktikan bahwa Rasul berpolitik. Lalu jika Rasul berpolitik, maka ada dua kemungkinan lagi, berpolitik sesuai dengan prinsip politik dalam Islam atau tidak. Jika Rasul berpolitik sesuai dengan prinsip Islam, maka praktek Rasul itulah rincian dari prinsip-prinsip tersebut. Namun jika beliau berpolitik dengan prinsip selain Islam, maka itu jelas tidak mungkin.

Lalu bukankah praktek Rasul dalam berpolitik yang berdasar pada prinsip-prinsip dasar tadi, bukankah itu termasuk sunah amaliyah? Bukankah sunah amaliyah tersebut wajib secara syara’ bagi kita sebagai kaum muslim untuk mengikutinya? Lagipula jika prinsip dasar dalam berpolitik itu berasal dari Allah, bukankah menjadi keharusan Rasul untuk menjelaskannya? Bukankah itulah tugas seorang rasul sesungguhnya?

Tentu saja, Islam punya sistem politik yang berasal dari prinsip-prinsip dasarnya. Prinsip itu bukan sekedar prinsip, tapi sudah dijelaskan rinciannya hingga menjadi sistem yang baku oleh Rasul. Lalu khulafaur rasyidin selaku pengganti beliau, meneruskan sistem yang beliau jalankan, bukan hanya berdasar pada prinsip-prinsip tanpa sistem yang baku. Dari sini, kita bisa tahu bahwa Rasulullah telah mengajarkan prinsip-prinsip dasar dan beliau jugalah yang menjelaskan rincian prinsip tersebut dengan sistem politik yang baku.

Bukti ketiga adalah kitab-kitab para ulama tentang sistem politik. Banyak sekali kitab yang membahas tentang sistem politik Islam. Pembahasan dimulai dengan definisi “Khilafah”, lalu dilanjut dengan pembahasan perkara-perkara lain yang bersangkutan. Seperti syarat seorang khalifah, tatacara pengangkatannya, kewajibannya, hak-haknya, masa jabatannya, faktor pemakzulannya, tatacaranya, juga tentang tujuan dari khilafah, dan perkara lainnya.

Dari sini akan muncul, apakah ulama yang mendefinisikan khilafah sebagai sistem pemerintahan sedang mendefinisikan sesuatu yang tidak jelas dan tak berwujud? Apakah mungkin membuat sebuah definisi untuk suatu hal yang hal tersebut kabur dan tak punya batasan yang jelas? Bukankah definisi dibuat untuk membatasi sesuatu yang lain agar tidak masuk dan sesuatu darinya agar tidak keluar?

Apakah mungkin seseorang membuat sebuah kitab tentang rincian dari suatu hal, sedangkan hal tersebut tidak jelas dan tak berwujud? Mungkinkah seorang yang berakal menulis tentang suatu hal dengan penuh ketelitian, sedangkan dalam pemahamannya hal tersebut masih kabur dan tak memiliki wujud?

Pertanyaan-pertanyaan tadi tak memerlukan jawaban. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa setiap ulama yang menulis tentang khilafah mereka menulis tentang suatu yang jelas dan baku dalam benak mereka. Maka jika ada penyataan bahwa Islam tak punya sistem pemerintahan yang baku dan hanya prinsip-prinsip umum dalam politik, maka itu adalah pernyataan yang baru muncul dan tak pernah keluar dari lisan para ulama terdahulu. Wallahu a’lam bis-shawab.[]

(Disarikan dari kitab al-Nuzum al-Islamiyah, diktat semester satu fakultas Ushuluddin tahun ajaran 2018 – 2019, Al-Azhar, Kairo)

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *