Perang lawan Radikalisme, Sangat Tendensius Terhadap Islam!

 Perang lawan Radikalisme, Sangat Tendensius Terhadap Islam!

Oleh : Achmad Fathoni (Direktur el-Harokah Research Center)

Sebagaimana diberitakan di laman CNN Indonesia pada Kamis, 10/10/2019 bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyerukan masyarakat untuk bersama-sama memerangi radikalisme dan terorisme menyusul insiden penusukan yang menimpa Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10). “Dan pada seluruh masyarakat saya mengajak bersama-sama untuk memerangi radikalisme dan terorisme di tanah air kita. Hanya dengan upaya bersama-sama, terorisme dan radikalisme bisa kita selesaikan dan berantas dari negara yang kita cintai,” ujar Jokowi usai menjenguk Wiranto di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20191010163804-20-438475/wiranto-ditusuk-jokowi-serukan-perang-lawan-radikalisme).

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut patut disayangkan oleh publik, terutama umat Islam di negeri ini. Pasalnya, selama ini isu perang melawan radikalisme sangat tendensius, dan sangat kentara dibidikkan hanya kepada umat Islam, bukan yang lain. Buktinya sangat banyak dan sangat jelas, OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang sudah jelas-jelas melakukan tindakan pembunuhan terhadap ribuan rakyat sipil dan anggota TNI-Polri tidak pernah dituduh radikal atupun teroris. Idiom terkait radikalisme hanya menyasar Islam dan umatnya, misalnya: “radikalisme agama”, “Islam radikal”, dll, yang semuanya cenderung berkonotasi negatif pada Islam. Ini tentu patut disayangkan, karena kini istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif terhadap lawan politik. Seperti penggunaan istilah “Islam radikal” yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis (hanya merujuk pada teks) dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagaman) di masyarakat dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk terhadap Islam dan umatnya.

Sehingga, mengaitkan tragedi penusukan terhadap Menkopohukam dengan seruan perang melawan radikalisme dan terorisme adalah tindakan yang gegabah, tendensius, dan sangat menyesatkan. Oleh karenanya, umat Islam khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya harus menolak tegas pernyataan Presiden Jokowi tersebut, dengan beberapa alasan penting sebagai berikut.

Pertama, pernyataan tersebut sangat gegabah, padahal kasusnya belum dilakukan investigasi oleh pihak yang berwenang, namun buru-buru sudah ada pernyataan menyerukan masyarakat untuk bersama-sama memerangi radikalisme dan terorisme. Jelas, ini merupakan tindakan yang gegabah, yang seharusnya tidak boleh terjadi. Sebagai pejabat negara sudah selayaknya memberikan pernyataan yang objektif dan solutif, serta mengedepankan prinsip praduga tak bersalah. Justru dengan pernyataan tersebut semakin memperkeruh situasi dan kondisi perpolitikan di negeri ini. Padahal banyak persoalan yang ada dan mendesak untuk diselesaikan oleh pemegang kebijakan di negeri ini, namun belum mendapat tanggapan dan solusi yang serius dari pejabat yang berwenang. Misalnya: tragedi kabut asap di sejumlah daerah belum terasasi secara tuntas, tragedi Wamena dan beberapa daerah lain di Papua masih membara, belum mendapat penyelesaian yang berarti, dan masih banyak persoalan bangsa ini yang sangat lambat penyelesaiannya dan membutuhkan tindakan cepat, tepat, dan solutif.

Kedua,  mengaitkan tragedi penusukan Menkopohukam dengan radikalisme juga merupakan tindakan yang sangat tendensius. Seakan-akan jika ada tindakan kejahatan di negeri ini, senantiasa dikaitkan dan dituduhkan terhadap kelompok Islam. Padahal, menurut pakar dan peneliti terorisme di Asia Tenggara serta penasehat senior dari International Crisis Group, Sidney Jones mengatakan masih terlalu dini untuk menyebutkan dari kelompok mana pelaku penusukan terhadap Menko Pohukam Wiranto. “Terlalu dini,” ujar Sidney Jones saat dimintai tanggapan atas dugaan pelaku penusuk Wiranto terkait JAD. “Belum ada info yang jelas,” jelasnya (www.indonesia.org 10/10/2019).

Ketiga, dengan pernyataan tersebut telah mengkonfirmasi bahwa rezim yang berkuasa saat ini sangat antipati dengan Islam dan elemen umat Islam. Jika itu yang terjadi maka umat Islam harus menolak keras sikap dari penguasa saat ini. Sebagaimana diungkapkan oleh ulama kita, KH Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, saat menyoroti tentang istilah radikalisme yang seperti yang dikampanyekan untuk mendeskreditkan Islam. “Orang yang menuduh Islam itu radikal, dia itu orang radikal. Islam bukan agama radikal, yang mengatakan Islam radikal, itu radikal,” kata KH Hasan Abdullah Sahal dalam wawancara dengan majalah Gontor (www.portal-islam.id pada Senin, 14 Oktober 2019).

Dengan demikian, umat Islam harus bersatu padu dan merapatkan barisan, serta menjaga ukhuwah Islamiyah dalam menolak tegas upaya pihak-pihak yang mencoba mendeskreditkan Islam dan memecah belah kesatuan kaum Muslimin. Ke depan umat Islam harus terus berjuang mewujudkan kembali penguasa Muslim yang amanah dalam sistem yang terbaik yaitu sistem Islam, khilafah Islamiyah. Karena hanya dengan sistem Islam itulah yang bisa mewujudkan pemimpin yang dicintai oleh umat dan rakyat yang dipimpinnya. Sebagaimana hadist Nabi SAW, “Sebaik-baik Imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian do’akan mereka dan mereka pun mendo’akan kalian. Seburuk-buruk Imam (pemimpin) adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian”. Wallahu a’lam…[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *