Sosmed, Buzzer, dan Propagandis Putih
Oleh: Mujahid Wahyu (Analis Ar Roya Center)
Adian Husaini dalam buku yang berjudul Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra menyatakan bahwa peran media sangat penting dalam memberikan informasi. Belahan dunia mulai dari utara, selatan,barat hingga timur semuanya bisa saling mengetahui informasi yang terjadi berkat bantuan media. Namun beliau menyampaikan bahwa dalam proses dan teknisnya tidak semua hal yang dikabarkan oleh media disampaikan sebagaimana mestinya. Tidak semua media memberikan informasi sesuai dengan fakta.
Era keterbukaan teknologi informasi saat ini telah membawa proses penerimaan informasi publik tidak hanya dikuasai oleh media mainstream semata. Berbeda dengan 5-10 tahun yang lalu, media mainstream saat itu baik cetak maupun elektronik masih menjadi rujukan utama sumber informasi publik. Hampir tidak ada disparitas informasi karena media mainstream memiliki kecenderungan mengambil angle pemberitaan yang “aman” atau bahkan bisa dibilang sesuai dengan selera pemodal. Sedikit catatan, meskipun ada juga beberapa media yang berani tampil beda, kritis dan berseberangan dengan arus utama yang pada akhirnya diberedel oleh penguasa, namun sekali lagi jumlahnya sedikit bahkan bisa dibilang sangat sedikit.
Hari ini media mainstream sudah kehilangan kejumawaannya. Informasi yang sebelumnya bisa dimonopoli, untuk saat ini sangat sulit. Mereka sudah face to face berhadapan langsung dengan media sosial dengan berbagai paltform seperti twitter, facebook dan instagram. Media sosial menjadi alternatif yang sangat bisa diandalkan untuk mengimbangi kuasa media mainstream. Demikianlah yang dinyatakan oleh Fika Komara dalam bukunya yang berjudul Penggerak Opini Islam Era Digital.
Informasi yang dulu oleh media mainstream bisa diolah sedemikian rupa sebelum sampai ke tangan konsumen yang pastinya menimbulkan bias subyektifitas yang sangat tinggi, hari ini harus melawan platform media yang lebih obyektif informannya bahkan cepat dan akurat. Karakter obyektif, cepat dan akurat di sini tentu kembali pada jenis media sosial. Setiap kejadian melalui platform media sosial bisa tertransmisikan lintas pulau bahkan negara dalam waktu super cepat. Inilah keunggulan media sosial selain nilai obyektifitas pada poin sebelumnya. Tentu pembahasan ini masih debatebel seiring dengan munculnya istilah buzzer yang booming akhir-akhir ini. Persis yang dinyatakan oleh Fika Komara dengan istilah ruang gelap di media sosial.
Buzzer Media Sosial
Pengguna media sosial tidak semunya independen. Ada bahkan banyak diantara mereka yang juga “mencari makan” melalui media sosial dengan menjadi partisan dan pelayan bagi para pemilik modal layaknya pada media mainstream. Denny JA pernah menulis dalam Republika terkait dengan fenomena tersebut, meskipun obyek amatan tidak di Indonesia tetapi di USA. Beliau menuliskan bahwa media sosial di USA banyak memiliki ruang gelap berupa propaganda, isu dan perdebatan yang ternyata direkayasa. Tujuannya adalah mempengaruhi persepsi publik dan hasilnya adalah kemenangan Donald Trump. Ruang gelap inilah yang secara simplikatif oleh Fika Komara disebut sebagai propaganda hitam yang bercirikan 3 hal yaitu identitas palsu, informasi palsu dan tujuan politik yang zalim.
Bagaimana dengan di Indonesia? Tidak jauh dengan apa yang dinyatakan Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul “Kuasa Poitik Media” yang menyatakan bahwa propaganda media adalah merekayasa opini publik dimana para penguasa sebenarnya memiliki tujuan yang kontraproduktif dengan keinginan publik, tujuannya yang lebih riil apalagi kalau bukan melanggengkan kekuasaan. Media sosial hari ini di Indonesia juga dipenuhi dengan buzzer-buzzer politik yang memiliki tugas membuat propaganda hitam semata untuk melanggengkan sistem dan kekuasaan. Hal tersebut bukanlah mengada-ada. Terkonfirmasi melalui laporan penelitian yang dibuat oleh Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari University of Oxford. Penelitian yang telah dilaksanakan di 70 negara termasuk di Indonesia menyimpulkan bahwa bagian dari politik penguasa adalah menjadikan media sosial untuk membentuk sikap publik terhadap politik penguasa. Hal tersebut sesuai dengan judul laporan yaitu The global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.
Propagandis Putih
Fika Komara dalam bukunya yang berjudul “Penggerak Opini Islam Era digital” menuliskan bahwa sebagai muslim dan muslimah selayaknya harus menjadi penggerak arus opinion making for islam atau yang beliau tulis dengan istilah white propaganda (dalam terjemahan bebas dapat diartikan dengan propaganda putih). Propaganda putih bercirikan berkebalikan dengan propaganda hitam. Cirinya adalah identitas jelas, informasi valid dari hasil riset berita dan penyebarannya menggunakan sudut pandang islam. Sedemikian kuatnya pengaruh media sosial dalam pembentukan persepsi publik, maka bagi setiap muslim yang merindukan kebangkitan dan kegemilangan islam sudah selayaknya untuk menjadi bagian dari propagandis putih. Sekarang! Jangan ditunda-tunda![]