UAS Tidak Perlu Minta Maaf?
Oleh: Chandra Purna Irawan,SH., MH (Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekertaris Jenderal LBH PELITA UMAT)
Beredar di media terkait dugaan adanya narasi “UAS sebaiknya minta maaf dan/atau duduk bersama saling memaafkan”. Sementara UAS dalam pernyataannya di MUI tidak meminta maaf karena ceramah yang beliau sampaikan memiliki hujah dalam rangka menjaga aqidah/tauhid.
Menanggapi hal tersebut saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut;
Pertama, bahwa saya senada dengan UAS yang tidak meminta maaf. Saya senada dikarenakan permintaan maaf dapat dinilai atau mengkonfirmasi bahwa apa yang disampaikan oleh UAS adalah perbuatan pidana dan/atau dapat dinilai bentuk pengakuan, sedangkan pengakuan adalah salah satu alat bukti. Sehingga hal ini berpotensi memunculkan opini “permintaan maaf diterima, tetapi proses hukum berlanjut”;
Kedua, bahwa secara hukum “permintaan maaf” tidak dapat membatalkan proses hukum kecuali pada delik aduan yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Sementara UAS dilaporkan bukan atas delik aduan melainkan delik biasa;
Ketiga, bahwa tidak ada kewajiban hukum untuk meminta maaf. Sebab, ceramah UAS adalah konsumsi privat yaitu pada kajian rutin, untuk kalangan umat Islam, dan bukan menjadi tema sentral melainkan hanya menjawab pertanyaan dari peserta. Sedangkan dari sisi hukum bahwa ceramah UAS bukan merupakan tindak pidana karena menyampaikan materi ceramah memiliki dasar atau hujjah, obyektif, Zakelijk, ilmiah/memiliki dasar pijakan agama;
Keempat, bahwa siapapun yang melakukan stigmatisasi kepada UAS termasuk namun tidak terbatas pada pencemaran nama baik, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 dan/atau pasal atau norma yang lain yang disesuaikan dengan tindakannya;
Wallahualambishawab[]