HTI Penumpang Gelap, Coba Arief Poyuono Ambil Kaca…
Oleh: Mahfud Abdullah (Indonesia Change)
Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono mengatakan salah satu penumpang gelap yang mendukung Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 adalah HTI. “Penumpang gelap itu kan banyak, misalnya beberapa tokoh-tokoh HTI yang ikut dalam pemenangan Prabowo-Sandiaga. Tapi saya tidak mengatakan mereka itu negatif,” kata Arief Poyuono dalam video yang diunggah KompasTV.
Saya rasa Arief Poyuono perlu ambil kaca lalu bercermin. Penumpang gelap itu kiasan yang buruk. dan kita harus menolak memberi stigma negatif kepada orang ataupun kelompok yang tidak bersalah, yang tidak melakukan kejahatan dan korupsi seperti kepada HTI.
Berapa kader-kader Gerindra yang terbukti melakukan tipikor? Sementara HTI sebagai gerakan dakwah. HTI melakukan kegiatan dakwah itu kegiatan yang mulia. Menyampaikan ajaran Islam dan membantah ide-ide yang bertentangan dengan Islam. Karena itu jelas, itu bukan suatu kesalahan apalagi kejahatan. Makanya mereka tidak layak untuk diberi stigma buruk seperti ‘penumpang gelap’. Bahkan semestinya mereka didukung karena telah membawa masyarakat kepada arah yang benar.
HTI hari ini sebagai korban, sering dijadikan kambing hitam atas berbagi kemelut politik demokrasi hari ini. Bagaimana bisa diharap ada keadilan bila sistem demokrasi malah melahirkan banyak politisi, pejabat dan penguasa yang lebih pantas disebut penjahat. Mereka adalah para tersangka berbagai kasus tindak pidana (terutama korupsi). Ini karena banyak dari proses politik berlangsung secara transaksional. Pragmatisme politik baik demi kekuasaan ataupun uang lebih banyak berperan. Kekuasaan diperlukan untuk mendapatkan uang. Uang diperlukan untuk mendapatkan kekuasaan atau kekuasaan yang lebih besar lagi. Kekuasaan dan uang juga diperlukan untuk menutup seluruh kebusukan yang telah dilakukan selama berkuasa.
dalam kondisi demikian, kepentingan rakyat dengan mudah terabaikan. Bagi penguasa, rakyat hanyalah alat untuk meraih kuasa. Akhirnya, bukan kedaulatan rakyat yang menjadi ‘ruh’ dari sistem demokrasi, melainkan kedaulatan kapital dari para pemilik modal atau penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah kenyataan umum di negara-negara penganut demokrasi, tanpa kecuali, termasuk di AS dan Eropa sebagai kampiun demokrasi.[]