Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bag. II): Kritik Atas Narasi Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55
Oleh: Irfan Abu Naveed [Dosen (Fikih Siyasah, Manthiq & Bahasa Arab), Narasumber Kajian Tafsir & Balaghah, Penulis Buku Konsep Baku Khilafah Islamiyyah]
Allah Ta’ala berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ {٥٥}
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa, mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku, dan siapa saja yang kufur sesudah (janji) itu, maka mereka itu lah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Nûr [24]: 55)
KHILAFAH akan tegak kembali berdasarkan QS. Al-Nûr [24]: 55 itu memiliki dasar yang mapan, didukung oleh akhbar nabawiyyah yang akan saya uraikan pada ulasan berikutnya, agar ngaji ilmu tak sepotong seperti memotong ayat: fa wayl[un] li al-mushallîn (maka celakalah orang-orang yang menegakkan shalat) dalam QS. Al-Mâ’ûn [107]: 4, padahal narasi qur’ani tak berhenti pada potongan ayat ini, karena ada lanjutannya pada QS. Al-Mâ’ûn [107]: 5-7, berkenaan dengan orang yang lalai dalam shalatnya, ria dengan ibadahnya.
Stigma buruk Nadirsyah bahwa pemahaman para pejuang khilafah ini KELIRU BESAR adalah suatu kekeliruan itu sendiri, bahkan keliru besar bukan hanya pada para pejuang khilafah sebagai pihak tertuduh, tapi juga terhadap kaum Muslim pada umumnya, dan para ulama yang ia nukil pendapatnya, hendaknya mawas diri atas kritik yang diungkapkan Imam Taqiyuddin al-Subki (w. 771 H) dalam Qâ’idah fî al-Jarh wa al-Ta’dîl (hlm. 53) berkata:
فكثيرا ما رأيت من يسمع لفظة فيفهمها على غير وجهها
Aku melihat banyak orang yang mendengar sebuah perkataan namun memahaminya bukan seperti apa yang dimaksudkan.
Menariknya, apa yang dijelaskan oleh Nadirsyah justru memperkuat argumentasi adanya Sistem Khilafah Islamiyyah yang menjadi gambaran model sistem pemerintahan terbaik dalam kehidupan dalam lisan para ulama mu’tabar. Ironisnya, kesimpulan yang dibangun Nadirsyah selama ini justru bertolak belakang dengan apa yang ia jelaskan dalam nukilan, kebingungan yang tampak nyata tatkala pikiran tak sejalan dengan lisan, menggambarkan kelemahan argumentasi. Menegasikan kebakuan sistem Khilafah, tapi menukil maqalah para ulama yang menegaskan adanya eksistensi sistem Khilafah yang terbaik? Kok bisa? Mari kita evaluasi:
Pertama, Evaluasi Atas Kesimpangsiuran Argumentasi Nadirsyah
Pertama, Nadirsyah membuat judul yang bertolakbelakang dengan tulisannya sendiri. Dari judulnya saja sudah aneh, mempertanyakan: “Benarkah Allah Menjanjikan Kembalinya Khilafah?” Pada saat yang sama, tulisannya justru membangun kesimpulan, “Ya, menurut para ulama Allah menjanjikan kembali tegaknya Khilafah”, karena kajian ayat ini sebenarnya sudah cukup menjawab pengingkaran Nadirsyah. Namun untuk sampai pada pembahasan bahwa janji Allah tersebut mencakup tegaknya Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah di akhir zaman, seorang peneliti harus meluaskan literasinya, membahas hadits-hadits akhir zaman.
Ini merupakan kesalahan fatal Nadirsyah yang menyederhanakan pembahasan besar menyoal khilafah di akhir zaman, berbekal tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 semata, itu pun penggalian datanya tampak sederhana bertolak pada sejumlah literatur saja, padahal ia menggunakan metode library research (kajian kepustakaan), yang membutuhkan banyak referensi dan literatur.
Kedua, Nadirsyah menuduh para pendukung Khilafah mengelabui publik dengan mengklaim bahwa “Kembalinya Khilafah sebagai wujud kekuasaan umat Islam merupakan janji Allah Swt dalam QS An-Nur ayat 55”, pada saat yang sama, ybs justru mengemukakan pendapat para ulama yang menegaskan tegaknya kembali kekuasaan kaum Muslim, menguatkan apa yang dijelaskan pada pendukung Khilafah (baca: HT dan umat Islam) menyoal kembalinya kekuasaan kaum Muslim (Khilafah). Saya, akan fokus terlebih dahulu membuktikan kebingungan Nadirsyah dengan referensi yang ia nukil sendiri.
Nadirsyah mengklaim:
Ada beberapa kitab tafsir yang meluaskan lagi kandungan ayat ini, yang tidak hanya terbatas pada masa Nabi Muhammad dan/atau al-Khulafa ar-Rasyidun, tapi juga pada masa-masa selanjutnya termasuk masa sekarang dan akan datang. Tafsir Fathul Qadir (4/55) memaknai kekuasaan sebelum Nabi itu tidak hanya terbatas pada Bani Israil, dan karenanya juga tidak membatasi makna ayat ini pada masa Nabi di Mekkah dan khalifah yang empat, tapi menggunakan keumuman ayat. Tafsir al-Qurthubi (12/299) juga menyetujui keumuman ayat ini.
Setelah jelas menunjukkan adanya penafsiran: janji Allah tersebut adalah janji tegaknya kekhilafahan dan kekuasaan kaum Muslim. Nadirsyah malah melakukan framming yang sangat jelas dipaksakan:
Namun, apa implikasi dari keumuman ayat ini? Sa’id Hawa dalam Asas at-Tafsir (7/3802) menganggap janji Allah dalam ayat ini akan terus berlangsung sampai semua akan masuk Islam. Tafsir al-Wasith (6/1457) karya Majma’ al-Bunuts Islamiyah di al-Azhar Mesir juga mengisyaratkan bahwa janji Allah ini terwujud ketika Islam tersebar di penjuru dunia timur dan barat. Jadi tidak dibatasi pada masa lalu saja. Berarti ini masalah dakwah, bukan soal kekhilafahan.
Dalam paragraf di atas, Nadirsyah melakukan framming, bahwa yang dimaksud para ulama ini adalah dakwah bukan khilafah, benarkah? Padahal di muka, Nadirsyah menukil sabab al-nuzul-nya yang menegaskan bahwa ayat ini menggambarkan janji Allah berupa kekuasaan, bukan sekedar dakwah!
Ketika Rasulullah ﷺ bersama para sahabatnya sampai ke Madinah, dan disambut serta dijamin keperluan hidupnya oleh kaum Ansar, mereka tidak melepaskan senjatanya siang dan malam, karena selalu diincar oleh kaum kafir. Mereka berkata kepada Nabi: “Kapan engkau dapat melihat kami hidup aman dan tenteram tiada takut kecuali kepada Allah.” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, sebagai jaminan dari Allah Swt bahwa mereka akan dianugerahi kekuasaan di muka bumi.
Penjelasan di atas, menurut Nadirsyah dinukil dari Tafsir Munir karya Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili. Menariknya, al-Zuhaili menuliskan subjudul “Ushûl Daulat al-Îmân” (Prinsip-Prinsip Pokok Daulah (Negara) Iman (baca: Negara Tauhid). Kalimat ini menegaskan apa yang dituliskan al-Zuhaili, bahwa janji Allah dalam ayat ini sangat lekat dengan janji kekuasaan dan kekhilafahan yang menegakkan dakwah, jadi bukan sekedar dakwah yang mengabaikan adanya eksistensi kekuasaan, fatalnya, Nadirsyah membenturkan hakikat kekuasaan khilafah dengan amal praktis dakwahnya, padahal Prof. Wahbah al-Zuhaili sendiri dalam Al-Tafsîr al-Munîr (XVIII/282-283) menjelaskan:
Ibarah Kitab:
وعد الله سبحانه بتمكين المؤمنين الطائعين في خلافة الأرض، وتأييدهم بالنصر والإعزاز، وإظهار دينهم على الدين كله، وتبديلهم من بعد خوفهم من العدو أمنا، فيعبدون الله آمنين لا يشركون به شيئا ولا يخافون.
Yakni bahwa Allah berjanji kepada orang-orang beriman akan memberikan kepada mereka kekuasaan kekhilafahan di muka bumi.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ، كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ أي وعد الله الذين تحقق فيهم وصفان معا هما الإيمان بالله ورسوله والعمل الصالح الطيب الذي يقرب من الله تعالى ويرضيه بأن يجعل أمة النبي صلّى الله عليه وسلم خلفاء الأرض، أي أئمة الناس، والولاة عليهم، وبهم تصلح البلاد، كما استخلف داود وسليمان عليهما السلام على الأرض، وكما فعل ببني إسرائيل حين أورثهم مصر والشام بعد إهلاك الجبابرة. وقوله مِنْكُمْ من للبيان كالتي في آخر سورة الفتح: وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً [29] .
Bahwa, Allah Swt berjanji atas orang-orang beriman akan menjadikan mereka para khalifah bumi, yakni pemimpin bangsa manusia, dan penguasa mereka, dan dengan kedudukan mereka ini maka negeri-negeri menjadi baik, sebagaimana Allah menjadikan Nabi Dawud a.s. dan Sulaiman a.s. sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana yang Allah anugerahkan pada Bani Israil tatkala Allah mewarisi mereka Mesir, dan negeri Syam setelah hancurnya kekuasaan para rezim.
Sampai poin ini saja, tampak jelas bahwa Nadirsyah melakukan framming fatal. Nadirsyah sesumbar mengklaim:
Nah, yang menarik, semua kitab tafsir di atas, termasuk mereka yang menganggap ayat ini berlaku umum, tidak satupun menyinggung akan kembalinya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah seperti yang sering digelorakan oleh kelompok Pro-Khilafah.
Qultu: Ini merupakan framming gegabah, mengingat asumsi ini bisa dijawab dengan argumentasi mapan:
Pertama, Jika para ulama tak merinci pembahasan, bukan berarti pembahasan tersebut boleh dinegasikan begitu saja tanpa dasar ilmu. Benarlah ungkapan ulama dalam kaidah ushuliyyah:
عدم العلم ليس علماً بالعدم
“Ketiadaan ilmu bukan lah bukti ilmiah atas ketiadaan sesuatu.”
Atau dalam bahasa lebih familiar:
عدم العلم بالدليل ليس دليلا على عدم الدليل
“Ketiadaan ilmu terhadap dalil, bukanlah dalil atas ketiadaan dalil”
Artinya, jika para ulama tak merinci soal khilafah di akhir zaman, bukan berarti para ulama ini mengingkari tegaknya khilafah di akhir zaman! Mengingat pada saat yang sama, mereka pun hidup di era kekhilafahan. Sehingga wajar jika para ulama ini tidak merinci pembahasan “akan tegak kembali kekhilafahan” mengingat mereka sendiri sedang hidup di era kekhilafahan, maka dudukkan persoalan sebagaimana kaidah balaghiyyah:
لكل مقام مقال
Untuk setiap kedudukan itu, ada tutur katanya (yang sesuai)
Yakni untuk setiap keadaan itu ada penjelasan yang relevan dengannya. Kenyataannya, para ulama muktabar pun tatkala menjelaskan hadits riwayat Ahmad dan al-Bazzar menyoal hadits khilafah di atas manhaj kenabian, mereka pun merincinya dalam turats mereka (nanti akan saya buktikan).
Kedua, Para ulama tatkala menafsirkan ayat ini, jelas mengaitkannya dengan pembahasan kekuasaan khilafah, dari mulai kekuasaan politik Rasulullah ﷺ di Madinah, al-khilâfah ‘alâ minhâj al-nubuwwah pada periode pertama, Khilafah Umawiyyah, Khilafah ‘Abbasiyyah, hingga Khilafah ‘Utsmaniyyah, sebagaimana ditegaskan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya.
Dalam hal ini, al-Zuhaili mencontohkan janji kekuasaan tersebut berkaitan dengan penaklukkan-penaklukkan: dari mulai masa kekuasaan nubuwwah, Rasulullah ﷺ, Khulafa’ Rasyidun, hingga Khilafah ‘Utsmaniyyah yang dihancurkan oleh Kemal Ataturk. Silahkan perhatikan detail pernyataan jelas Prof Wahbah al-Zuhaili berikut ini:
Ibarah Kitab:
وبما أن وعد الله صادق ومنجز، كما قال تعالى: وَعْدَ اللَّهِ ۖ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ الْمِيعَادَ {الزمر: ٢٠} فقد أنجز الله وعده، وأظهر المسلمين على جزيرة العرب، وافتتحوا بعدئذ بلاد المشرق والمغرب، ومزّقوا ملك الأكاسرة (حكام فارس) وملكوا خزائنهم، وفتحوا بلاد القياصرة (بلاد الروم) واستولوا على الدنيا، وظلت دولة الإسلام قوية منيعة في ظل خلافات متعاقبة: الخلافة الراشدية، ثم الخلافة الأموية في الشام والأندلس، ثم الخلافة العباسية، ثم الخلافة العثمانية إلى انتهاء الربع الأول من القرن العشرين (1924) حيث ألغى أتاتورك الخلافة.
Begitu pula Prof. Ali al-Shabuni dalam tafsirnya, Shafwat al-Tafâsîr (II/318), dimana beliau menegaskan bahwa Allah berjanji atas mereka (orang-orang beriman) mewarisi bumi dan menjadikan mereka para khalifah yang memakmurkan bumi, sebagaimana Allah memberikan kekuasaan kepada orang-orang beriman sebelum mereka, hingga mereka menguasai negeri-negeri kaum kuffar.
Ibarat Kitab:
{لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرض كَمَا استخلف الذين مِن قَبْلِهِمْ} أي وعدهم بميراث الأرض وأن يجعلهم فيها خلفاء متصرفين فيها تصرف الملوك في ممالكهم، كما استخلف المؤمنين قبلهم فملكهم ديار الكفار
Kedua, Tafsir Ulama Mu’tabar: Janji Allah Tegaknya Kekhilafahan Penegak Din Allah di Muka Bumi
Dalam ayat yang agung ini, Allah berjanji dengan janji pasti (wa’adaLlâh), dimana Allah sesungguhnya bersumpah dengan petunjuk adanya jawab sumpah (jawâb al-qasam) berupa lâm ta’kîd dan nûn ta’kîd al-tsaqîlah pada frasa: layastakhlifannahum, layumakkinanna lahum dan layubaddilannahum. Sumpah yang disamarkan ini, termasuk bentuk al-îjâz bi al-hadzf (bentuk peringkasan kalimat dengan menghilangkan bagian), bisa ditela’ah lanjut perincian terkait: Ahmad ‘Ubaid al-Da’as dkk, I’râb al-Qur’ân al-Karîm (II/358).
Kalimat wa’adaLlâh, dipahami oleh para ulama sebagai janji dari Allah, sebagai kiasan (majaz) dari kalimat sumpah Allah yang disamarkan (al-yamîn al-mudhmar), karena hakikat maknanya: “Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, Demi Allah, Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi (dan seterusnya)”, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Tsa’labi (w. 427 H), dalam Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân (VII/114).
Kata wa’ada yang Allah ungkapkan dengan kata kerja lampau (al-fi’il al-mâdhi’) pun berfaidah menunjukkan kepastian apa yang diinformasikan. Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT berjanji, dengan janji yang pasti ditepati-Nya, karena Allah tak mungkin menyalahi janji-Nya, sebagaimana ditegaskan-Nya dalam firman-Nya yang agung:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ {٦٠}
“Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu membuatmu khawatir.” (QS. Al-Rûm [30]: 60)
Dari uraian singkat padat di atas, tak ada yang cerdas yang memungkiri bahwa QS. Al-Nûr [24]: 55 ini mengandung janji-janji agung dari Allah. Kepada siapa janji ini ditujukan? Pada prinsipnya jelas, kalimat alladzîna âmanû minkum wa ’amilû al-shâlihât, sifatnya umum, mengingat ism al-maushul “alladzîna” dalam ilmu ushul termasuk shiyagh al-’âm.
Allah bersumpah akan menganugerahkan kepada orang yang beriman dan beramal shalih tiga hal agung dalam ungkapan: layastakhlifannahhum, layumakkinanna lahum, layubaddilannahum. Allah ungkapkan dengan penegasan-penegasan, yakni lâm taukîd dan nûn taukîd al-tsaqîlah, yang berfaidah menafikan adanya keraguan dan pengingkaran, Imam Dhiya’uddin bin al-Atsir al-Katib (w. 637 H) dalam Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa al-Syâ’ir (II/193) menjelaskan:
إنما جاءت لتحقيق الأمر، وإثباته في نفوس المؤمنين، وأنه كائن لا محالة
Sesungguhnya huruf-huruf lâm tersebut, ada untuk menegaskan (terwujudnya) perkara (yang diinformasikan), dan peneguhan hal tersebut dalam jiwa orang-orang yang beriman, bahwa hal tersebut akan terwujud, bukan hal yang mustahil.
Keberadaan huruf nûn taukîd al-tsaqîlah menurut al-Atsir, menguatkan penegasan huruf lâm yang mengawali informasi (Ibid (II/195)). Menguatkan keyakinan orang-orang beriman terhadap janji Allah ’Azza wa Jalla bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shalih.
Ungkapan layastakhlifannahum, bahwa Dia SWT akan menganugerahkan orang-orang yang beriman dan beramal shalih kekuasaan di Muka Bumi, yakni mewarisi bumi baik Bangsa Arab maupun Ajam, dimana Dia menjadikan mereka sebagai penguasanya, pengaturnya (dalam kekuasaan politik) dan penduduknya, sebagaimana diuraikan Imam al-Tsa’labi dalam tafsirnya (VII/114), dan al-Hafizh al-Thabari dalam tafsirnya (XIX/208). Karena kata kerja yastakhlifu dari wazan istaf’ala-yastaf’ilu, menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab (V/197), bermakna menjadikan mereka sebagai khalifah, yakni penguasa di Muka Bumi, menggantikan pihak lainnya. Yakni kedudukan agung yang disebutkan Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dalam Mafâtîh al-Ghaib (XXIV/412) yakni:
فَيَجْعَلَهُمُ الْخُلَفَاءَ وَالْغَالِبِينَ وَالْمَالِكِينَ
Maka Dia menjadikan mereka sebagai khalifah-khalifah (al-khulafâ’), para penakluk (al-ghâlibîn) dan para penguasanya (al-mâlikîn).
Penafsiran senada ditegaskan oleh al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (I/264), menariknya beliau menukil ayat yang agung ini (QS. Al-Nûr [24]: 55), ketika menjelaskan dalil wajibnya mengangkat Khalifah ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30.
Pendalilan para ulama mu’tabar ini, memperjelas bentuk kekuasaan yang Allah anugerahkan pada umat ini, dimana Allah mengumpamakannya dengan kekuasaan kaum sebelumnya {كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ}, ini merupakan bentuk tasybîh (penyerupaan) yang menguatkan keyakinan, sekaligus menjadi khabar gaib mengenai kaum terdahulu (al-umam al-sâbiqah) yang beriman dan beramal shalih, yang ternyata pernah dianugerahi kekuasaan.
Dalam hal ini, imâm al-mufassirîn al-Hafizh al-Thabari dalam tafsirnya (XIX/208) menafsirkan yakni Bani Isra’il. Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani dalam Tafsîr al-Qur’ân (III/544) dan Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib (XXIV/412) menjelaskan: Qatadah r.a merinci yakni sebagaimana Nabi Dawud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. serta para nabi yang memiliki kekuasaan, yakni kekuasaan riil politis, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a., Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. Lafal al-Bukhârî)
Kekuasaan yang dimaksud, mencakup kekuasaan politik, ini relevan dengan penjelasan para ulama memperkuat dalil-dalil khabar lainnya, yang menukil dalil ini sebagai salah satu khabar akan kembalinya era kekuasaan kaum Muslim yakni kekhilafahan Islam dengan adanya banyak khalifah dari generasi ke generasi, tegaknya kekuasaan kaum Muslim yang membentang dari Timur hingga Barat, tegaknya kembali Khilafah di atas manhaj kenabian, ditaklukkannya Roma, lahirnya pusat Dar al-Islam di negeri Syam, hadits kekhilafahan Imam al-Mahdi, dan lain sebagainya, itu semua membuktikan secara argumentatif, bahwa HT memiliki dasar yang sangat mapan untuk menjadikan QS. Al-Nûr [24]: 55 ini sebagai dalil tegaknya kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian, wa biLlâhi al-taufîq, kecuali bagi mereka yang mendustakan ilmunya para ulama dan menganggap mereka berdusta, wal ’iyâdzu biLlâh, Allâh al-Musta’ân. []
والله أعلم بالصواب