Apakah Hadits Kabar Gembira Akan Kembalinya Khilafah Dha’if? (Tanggapan atas Klaim Nadirsyah Hosen)
Oleh Yuana Ryan Tresna
Nadirsyah menuding bahwa hadits hadits tentang kembalinya khilafah statusnya dha’if karena sanadnya lemah dan bermasalah. “Para ulama tafsir itu bahkan tidak mengutip riwayat Musnad Ahmad soal ini, yang amat populer di kalangan HTI, namun sudah pernah saya jelaskan dengan tuntas dan detil bahwa sanadnya pun lemah dan bermasalah”, begitu tandasnya dalam catatan terbarunya. (Lihat: https://www[dot]facebook[dot]com/1552475198334094/posts/2313333105581629/).
Sebelum kami, ada yang telah menulis bantahan terkait topik ini. Namun tak salah penulis memberikan tanggapan secara lebih fokus dan jelas pada aspek yang berbeda, yakni kritik sanad hadits.
Jikia tuduhan diarahkan pada aspek kritik matan, sangatlah lemah dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-gesa, dan membuktikan yang bersangkutan awam terhadap ilmu hadits, khususnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil. Masih menurut Nadirsyah dalam catatan terdahulunya, bahwa hadits yang dijadikan landasan utama oleh pendiri HT itu jika dilakukan penelaahan akan tampak jelas bahwa dalam perspektif kritik sanad hadits tersebut ternyata ada seorang rawi bernama Habib bin Salim al-Anshari yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah (terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang negatif (al-jarh) dari Imam Bukhari yang menilainya “fihi nazhar”, dan juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, dia menyimpulkan, dengan demikian hadits tentang kekuasaan khilafah Islamiyyah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib berkata, “Abu Hatim berkata tsiqah, al-Bukhari berkata fihi nazhar, Ibnu Adi berkata laisa fi mutun ahaditsihi hadits[un] munkar bal qad idhtharaba fi asanidi ma ruwiya ‘anhu (pada matan-matan haditnya tidak ada hadits munkar, tapi telah terjadi idhthirab pada sanad-sanad (hadits) yang diriwayatkan darinya).” Kemudian al-Hafizh berkata, “saya nyatakan, bahwa al-Ajiri berkata dari Abu Dawud bahwa ia tsiqah, dan Ibn Hibban menyebutkan dalam (kitab) al-Tsiqqat.” Adapun dalam kitab yang lebih kecil, Taqrib al-Tahdzib Ibnu Hajar berkata, “la ba’sa bihi.“
Tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim ditsiqahkan oleh sebagian ulama jarh wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Seharusnya adil dan objektif meneliti setiap ungkapan tersebut.
Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari sudah pasti dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari Imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tidak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakan kedha’ifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”.
Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinahnya (indikasi-indikasinya). Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa memutlakan kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.
“Fihi nazhar” seperti ungkapan hipotesis dari seorang peneliti, bahwa rawi ini perlu diperhatikan atau diteliti lebih lanjut. Tetapi yang jelas, Imam al-Bukhari tidak sedang menunjukkan ta’dil dengan ungkapan tersebut, melainkan jarh ringan yang masih membuka ruang interpretasi para nuqqad (kritikus hadits). Termasuk potensi jarh syadid (penilaian negatif yang parah) bahkan ta’dil, ketika pada tempat lain Imam al-Bukhari menerimanya.
Bahkan ada yang mengajukan pendapat bahwa ungkapan “fihi nazhar” bermakna pertengahan, dengan alasan ungkapan al-Hafizh Ibnu Hajar saat membahas Abu Balj di kitab Badzlu al-Ma’un fi Fadhli al-Tha’un hlm. 117:
وقال البخاري فيه نظر وهذه عبارته فيمن يكون وسطا
Menurut sebagian kalangan, penilaian imam al-Bukhari “fihi nazhar” untuk Abu Balj bukan jarh yang sifatnya menjatuhkan. Namun bermakna bahwa Imam al-Bukhari memiliki sedikit keraguan terhadapnya. Bisa jadi Imam al-Bukhari menilai Abu Balj shaduq, namun ada sedikit keraguan terhadapnya.
Buktinya, Imam al-Bukhari berhujjah dengan keterangan Abu Balj saat membahas rawi lain. Dalam biografi Muhammad bin Hatib al-Qurasyi di Tarikh al-Kabir (1/18), Imam al-Bukhari berhujjah dengan ini:
…حَدَّثَنَا أَبُو بلج قَالَ لنا مُحَمَّد بْن حاطب ولدت فِي الهجرة الأولى بالحبشة.
Hanya saja, saya sedikit keberatan ketika dikatakan bahwa asal dari istilah “fihi nazhar” itu adalah pertengahan jarh dan ta’dil. Dengan alasan: (1) Itu sangat kasuistik tergantung rawi yang ditelitinya; (2) makna pertengahan adalah interpretasi al-Hafizh Ibnu Hajar pada kasus tertentu. Adapun interpretasi ulama lainnya berbeda; (3) adanya penjelasan langsung dari Imam al-Bukhari tentang “fihi nazhar”.
Berikut ini adalah penjelasan Imam al-Bukhari terhadap istilah “fihi nazhar”:
1. Dalam kitab Tahdzib al-Kamal (hlm. 544), al-Mizzi menyebutkan:
قال الحافظ أبو محمد عبد الله ابن أحمد بن سعيد بن يربوع الإشبيلي: قال البخاري في التاريخ : كل من لم أبين فيه جرحة فهو على الاحتمال، وإذا قلت فيه نظر فلا يحتمل.
Secara jelas Imam al-Bukhari menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh (لا يحتمل).
2. Imam al-Bukhari menyebutkan dalam biografi Suwaid bin Abdul Aziz bin Numair al-Sulamiy Abi Muhammad al-Dimasqi (al-Dhu’afa al-Shaghir, hlm. 57; lihat Tahdzib al-Tahdzib, 4/242):
فيه نظر لا يحتمل
Imam al-Bukhari menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh (لا يحتمل) sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.
3. Al-Khathib al-Baghdadi (Tarikh Baghdad, 2/25; lihat Taghliq al-Ta’liq, 2/10; dan al-Hady, 481) dengan sanad kepada Abu Ja’far Muhammad bin Abi Hatim, bahwasannya dia berkata: Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) ditanya tentang informasi suatu hadits, maka al-Bukhari berkata:
يا أبا فلان! تراني أدلس وقد تركت عشرة آلاف حديث لرجل فيه نظر، وتركت مثلها أو أكثر منها لغيره لي فيه نظر.
Secara jelas, hal ini menunjukkan bahwa beliau meninggalkan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar”.
Dengan demikian, dugaan awal atau hipotesis dari ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan. “Fihi nazhar” ini masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll., berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya.
Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.
Istilah yang tercakup dalam bahasan فيه نظر diantaranya adalah:
في حديثه نظر، في إسناده نظر، منكر الحديث فيه نظر، فيه بعض نظر، في صحته نظر، إسناده فيه نظر، في إسناده نظر فيما يرويه، في يعض حديثه نظر، في حفظه نظر، الخ…
Para muhaddits (ahli hadits) dan para nuqqad telah meneliti persoalan ini. Mereka tidak satu suara dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar” atau istilah yang semisalnya oleh Imam al-Bukhari.
Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhari. Ini baru yang “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”. Untuk contoh, dalam hadits bisyarah nabawiyah “khilafah ‘ala minhaj al-nubuwah”, yakni rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir. Dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhari, 2/2606), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-Uqaili, 2/66) dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adi, 2/405), Imam al-Bukhari menilainya “fihi nazhar”.
Imam Ibnu Adi menilai Habib bin Salim munkar dan idhthirab dalam sanad, tetapi Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”. (Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; al-Tsiqat, 4/138; al-Kamil, 2/405; al-Taqrib, 1/151). Imam Muslim menggunakan dalam hadits cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan al-Darimi meriwayatkannya.
Informasi tambahan yang cukup berharga adalah bahwa meski Habib bin Salim dinilai “fihi nazhar”, namun Imam al-Bukhari menilai shahih riwayat Habib bin Salim di ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152,
حَدَّثَنا قتيبة ، حَدَّثَنا أبو عوانة عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر ، عَن أَبِيه عن حبيب بن سالم عن النعمان بن بشير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في العيدين والجمعة ب {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى} و {هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ} وربما اجتمعا في يوم فيقرأ بهما
سَألْتُ مُحَمدًا عن هذا الحديث ، فقال : هو حديث صحيح وكان ابن عيينة يروي هذا الحديث عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر فيضطرب في روايته قال مرة حبيب بن سالم ، عَن أَبِيه عن النعمان بن بشير وهو وهم والصحيح حبيب بن سالم عن النعمان بن بشير
Indikasi lainnya, meski Habib bin Salim dinilai “fihi nazhar”, tapi imam al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365), al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim:
قَالَ حبيب بْن سالم يزيد بن أصحاب عُمَر بْن عَبْد العزيز
Demikian juga kalau memperhatikan penilaian para imam nuqqad mutaqaddimin, semisal Imam Yahya bin Ma’in, Abu Hatim al-Razi dan Ibnu Adi, ketiganya selalu berbeda dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar”. Mulai dari kadzdzab, munkar, syaikh, shalih, la ba’sa bihi, hingga tsiqah. Jadi sekali lagi, jangan tergesa-gesa.
Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 621-644.
Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian ahli hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai hujjah. Bagi para pengkaji, ini (jarh dan ta’dil) salah satu medan penelitian yang sangat penting. Kita bisa meneliti, membandingkan dan mengambil suatu kesimpulan.
Dalam menilai rawi Habib bin Salim misalnya, para ulama tidak satu suara. Tetapi sebagian besar menerimanya. Bahkan para ulama hadits telah menerima hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim, termasuk hadits bisyarah nabawiyah sebagaimana disebutkan di atas.
Sebagaimana telah disinggung, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat ‘Ied dan jum’ah dari al-Nu’man bin Basyir, melalui sanad Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq, dari Jarir, berkata Yahya telah memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin Muhamad bin al-Muntasyir dari bapaknya dari Habib bin Muslim Maula al-Nu’man bin Basyir dari al-Nu’man bin Basyir. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya. Maka bisa dimengerti mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib menyatakan la ba’sa bihi.
Imam al-Tirmidzi (IV/54) mengomentari tentang hadits seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata hadits al-Nu’man di dalam isnadnya terjadi idhthirab. Beliau juga berkata, “saya mendengar Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari Habib bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah”. Dalam kitab Aun al-Ma’bud disebutkan bahwa al-Tirmidzi berkata, “saya bertanya pada Muhammad bin Isma’il (maksudnya al-Bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah maka beliau berkata: saya menahan diri terhadap hadits ini.” Penjelasan al-Tirmidzi ini bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam al-Bukhari diatas.
Terkait pernyataan Imam Ibnu Adi, dalam kitab al-Kamil fi Dhua’afa al-Rijal, Ibnu Adi berkata: “…dan untuk Habib bin Salim hadits-hadits yang diimla’kan untuknya telah berbeda-beda sanadnya, meski pada matan-matan haditsnya bukan hadits munkar tapi terjadi idhthirab sanad-sanadnya apa yang diriwayatkan darinya Habib bin Abi Tsabit…“. Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim. Dengan demikian tidak ada alasan yang kuat untuk mendha’ifkan Habib bin Salim Al-Anshari. Adapun indikasi idhthirab yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan al-Tirmidzi di atas.
Adapun rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi ditsiqahkan oleh Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rawi sisanya adalah para rawi yang tsiqah.
Dengan demikian adalah tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah itu dha’if hanya karena sorotan pada rawi bernama Habib bin Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun ungkapan “fihi nazhar” dari imam al-Bukhari dan “idhthirab” dari Ibnu Adi sudah terjawab dalam penjelasan sebelumnya.
Adalah juga tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-hadits lain yang secara makna sejalan dengan hadits diatas. Misalnya hadits riwayat Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan ‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung jumlahnya. Selain itu masih banyak hadits-hadits yang lain, misalnya hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Thabarani, dan al-Baihaqi).
Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum Islam melalui khilafah hanya didasarkan pada hadits dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam ahmad tentang akan datangnya khilafah adalah shahih atau minimal hasan. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, Juz 4 No. 18.430 dan dinilai shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (2/17). Terlebih lagi, masih banyak hadits-hadits lain yang secara makna menegaskan hal yang sama. []
Bandung, 18 Juni 2019