Pandangan-Pandangan Fiqhiyah Tentang Mengganti Puasa

 Pandangan-Pandangan Fiqhiyah Tentang Mengganti Puasa

Soal:

Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Ya syaikhuna, saya ingin mengetahui hukum Allah tentangnya supaya hati saya tenteram.

Saya dahulu semasa masih jahiliyah, saya meninggalkan puasa Ramadhan secara sengaja tanpa udzur, kemudian alhamdulillâh, Allah merahmati saya sehingga saya bertaubat kepada-Nya.

Bagaimana saya mengganti (mengqadha’) puasa yang saya lewatkan? Apakah saya harus membayar fidyah dalam setiap tahun atau cukup dengan mengganti puasa saja?

Mudah-mudahan Anda sudi menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ya Syaikhuna.

Ig Purwantama‎‏

Jawab:

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Ya akhiy, Anda mengatakan bahwa Anda dulu tidak berpuasa selama beberapa waktu secara sengaja tanpa udzur. Kemudian setelah tahun-tahun itu, Allah memberi Anda petunjuk ke jalan yang lurus sehingga Anda pun berpuasa dan tidak berbuka…

Atas dorongan ketakwaan, Anda ingin mengganti bulan-bulan Ramadhan yang sebelumnya Anda tidak berpuasa… Saya memuji Allah karena telah menunjuki Anda kepada ketaatan yang baik sehingga Anda tidak cukup dengan berpuasa setelah Allah menunjuki Anda, tetapi Anda konsern untuk mengganti bulan-bulan Ramadhan yang Anda tidak berpuasa. Semoga Allah melimpahkan berkah kepada Anda dan dengan Anda dan semoga Allah memperbagus taubat Anda dan mewarnai Anda dengan kenikmatan-Nya dan ramhmat-Nya.

Saudaraku yang dimuliakan, kami tidak mentabanni dalam masalah ibadah, tetapi kami serahkan perkara tersebut kepada muslim agar mengikuti madzhab tertentu dalam puasa, shalat, … dan sebagainya. Dan saya di sini akan mengingatkan kepada Anda beberapa pandangan fikhiyah tentang mengganti puasa. Mana yang membuat lapang dada Anda dan menenteramkan hati Anda maka Anda bisa mengikutinya:

1- Di dalam Nihâyah al-Mathlab fî Dirâyah al-Madzhab karya Abdul Malik al-Juwayni yang digelari Imam al-Haramayn (w. 478 H) dan beliau dari madzhab asy-Syafi’iy dinyatakan:

“Siapa yang melewatkan puasa hari-hari dari Ramadhan, dan bisa menggantinya, maka dia tidak boleh menundanya ke bulan Ramadhan tahun berikutnya. Yang kami sebutkan bukan istihbâban (dianjurkan) tetapi yang demikian itu merupakan keharusan. Seiring adanya kemampuan dan hilangnya udzur, seandainya diasumsikan dia menunda penggantian puasa sampai tahun depan, tanpa udzur, maka dia wajib mengganti untuk tiap hari satu mud makanan. Seandainya dia menunda penggantian puasa selama dua tahun atau lebih, maka tentang pelipatgandaan fidyah ada dua pandangan: pertama, bahwa tidak dilipatgandakan, dan tidak wajib dengan penundaan bertahun-tahun itu kecuai apa yang wajib saja dalam satu tahun… Yang lebih shahih adalah berbilangnya firdyah dan perbaharuannya. Jadi dia wajib mengkompensasi penundaan pada setiap tahun itu satu mud (untuk tiap satu hari). Jika dia menunda dua tahun maka bersama dengan mengganti puasa dia wajib membayar fidyah untuk tiap harinya dua mud. Begitulah tambahannya dan selebihnya. Ini adalah posisinya dalam hal fidyah…”. Ini artinya, bahwa mengganti puasa Ramadhan bagi orang yang tidak berpuasa, dia harus menggantinya sebelum Ramadhan berikutnya. Jika dia menunda setelah datangnya Ramadhan maka dia wajib mengganti puasa dan membayar fidyah… Dan beliau juga punya pandangan lain bahwa jika menunda penggantian puasa dua tahun misalnya, maka dia wajib dua fidyah bersama dengan mengganti puasa, begitulah.

2- Dinyatakan di Kasyâf al-Qinâ’ ‘an Matni al-Iqnâ’ karya Manshur bin Yunus al-Bahuti al-Hanbali (w. 1051 H):

“Siapa yang melewatkan puasa Ramadhan semuanya atau sebagiannya … maka dia wajib mengganti sejumlah harinya … dan dia boleh menunda penggantiannya itu selama tidak lewat waktunya, yaitu sampai datangnya hilal Ramadhan berikutnya … Dia tidak boleh menundanya ke Ramadhan yang lain tanpa udzur… Jika dia menundanya ke Ramadhan yang lain atau beberapa Ramadhan berikutnya, maka dia wajib mengganti dan memberi makan orang miskin untuk satu hari apa yang memenuhi dalam kafarah, dan fidyah tidak berulang dengan berbilangnya Ramadhan. Sebab banyaknya penundaaan, dengannya tidak ditambah kewajiban sebagaimana sandainya seorang menunda haji yang wajib selama bertahun-tahun, tidak yang wajib bagi dia lebih dari melaksanakannya saja” … Ini berarti bahwa siapa yang melewatkan puasa Ramadhan dan tidak menggantinya sebelum datang Ramdhan berikutnya, maka dia ajib mengganti dan membayar fidyah.

3- Adapun madzhab Abu Hanifah, maka betapapun penundaan penggantian puasa maka tidak wajib kecuali hanya mengganti saja. Seandainya datang Ramadhan lainnya… maka dia mengganti yang terlewat saja dan tidak ada fidyah baginya dengan penundaan itu:

– Di dalam al-Mabsûth oleh as-Sarakhsi (w. 483 H) fikih hanafi dinyatakan:

“Dia berkata: “seorang laki-laki harus mengganti hari-hari dari bulan Ramadhan dan dia tidak menggantinya sampai masuk Ramadhan berikutnya … Dan dia wajib mengganti Ramadhan yang lalu dan tidak wajib baginya fidyah menurut kami. Sedangkan menurut asy-Syafi’iy rahimahullah, dia harus bersama mengganti itu, untuk tiap hari dia harus memberi makan orang miskin… Dan untuk kita zhahir firman Allah SWT:

﴿فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ﴾ [البقرة: 184]

“maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (TQS al-Baqarah [2]: 184).

 

Di dalamnya tidak ada penentuan waktu. Dan penentuan waktu dengan waktu antara dua Ramadhan itu merupakan tambahan. Kemudian, ibadah ini mu`aqqitah (sudah ditentukan waktunya) dan penggantiannya tidak ditentukan waktunya…”.

– Dinyatakan di Badâi’ ash-Shanâi’ fî Tartîb asy-Syarâi’ karya ‘Alauddin al-Kazani al-Hanafi (w. 587 H):

“ … yang menjadi madzhab menurut ashhabuna bahwa kewajiban mengganti tidak ditentukan waktunya, dikarenakan apa yang telah kami sebutkan bahwa perintah mengganti itu bersifat mutlak tanpa penentuan sebagian waktu tanpa sebagian lainnya, maka hal itu berlaku pada kemutlakannya. Berdasarkan hal ini maka ashhabuna berkata: jika tertunda penggantian puasa Ramadhan sampai masuk Ramadhan lainnya maka tidak ada fidyah atasnya…”.

Ini berarti bahwa menurut madzhab Abu Hanifah, yang wajib adalah mengganti saja tanpa fidyah, artinya hanya mengganti bulan-bulan yang dia tidak berpuasa.

Seperti yang kami sebutkan kepada Anda di awal, kami tidak mentabanni dalam masalah ibadah. Melainkan saya sebutkan kepada Anda beberapa pandangan madzhab Abu Hanifah, asy-Syafi’iy, dan al-Hanbali, dan apa yang membuat lapang dada Anda maka lakukanlah… Semoga Allah memberi Anda taufiq kepada apa yang Dia sukai dan Dia ridhai.

Saya berharap, di dalam jawaban ini ada kecukupan. Wallâh a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

8 Ramadhan 1440 H

13 Mei 2019 M

 

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/q-a/60098.html

بسم الله الرحمن الرحيم #جواب_سؤال: الآراء الفقهية في قضاء #الصومإلى Ig Purwantama‎‏===============#السؤال:السلام…

Dikirim oleh ‎عطاء بن خليل أبو الرشتة ata abu al-rashta‎ pada Senin, 13 Mei 2019

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *