86 Persen Koruptor Sarjana, UIY: Harus Jadi Bahan Kontemplatif
Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) berharap, pernyataan yang menyebutkan sebanyak 86 persen koruptor di Indonesia berasal dari lulusan perguruan tinggi, menjadi bahan kontemplatif bagi pejabat berwenang.
“Mustinya ini kan, situasi ini menjadi bahan kontemplatif dari pejabat yang berwenang,” ujarnya dalam Perspektif PKAD: Perguruan Tinggi Penyumbang Koruptor 86 Persen, Sistemik atau Kasuistik?! Selasa (30/8/2022) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Semestinya, lanjut UIY, ada pula penguatan terhadap karakter. Artinya di samping angkanya tinggi dan bisa dikategorikan sebagai satu fenomena yang bersifat sistemik, bukan lagi kasuistik, pelakunya justru mereka yang merupakan lulusan dari pendidikan tinggi, yang seharusnya memilliki karakter kuat.
Yang seharusnya juga, karakter dasar semacam kejujuran sudah terbentuk pasca pendidikan dasar dan menengah. “Dari awal itu kan kita sudah dididik untuk untuk memiliki karakter-karakter seperti itu dalam pendidikan dasar,” terangnya, seraya menekankan perlunya upaya perbaikan atas kondisi itu.
Namun alih-alih demikian, justru di saat bersamaan tak ada komen mendasar apa pun terhadap fenomena tersebut, baik dari pimpinan institusi pendidikan maupun yang lain.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, perguruan tinggi menyumbang sebanyak 86 persen koruptor untuk Indonesia.
Lantaran itu, respons UIY lagi, upaya pembentukan serta penguatan karakter sangat penting dilakukan. Namun upaya dimaksud mengharuskan pula adanya sesuatu yang menjadi dasar dalam pembangunan karakter dimaksud. “Apalagi jika itu bukan agama,” tuturnya.
Maksudnya, sebagaimana dipahami, korupsi dan perilaku semacamnya jelas anti terhadap agama.
Tetapi sayangnya, mereka yang mencoba membawa agama di dalam konteks negara, dikatakan sebagai kelompok radikal yang harus sisihkan. “Itu kan semangat yang dulu bolak-balik di omongkan oleh Karomani,” ulasnya, menyinggung rektor Unila yang di-OTT KPK pada Sabtu (28/8) dinihari karena dugaan kasus suap penerimaan calon mahasiswa baru.
“Dia ngomong anti radikalisme-anti radikalisme, ternyata dia maling. Kan jadi enggak cocok,” imbuhnya, dengan juga menyebut hal ini sebagai tamparan besar bagi dunia pendidikan.
Sehingga yang dikatakan oleh wakil ketua KPK itu, menurut UIY, harus menjadi bahan koreksi sangat mendasar pemerintah terhadap peran pendidikan, khususnya pendidikan tinggi selama ini.
Salah Diagnosis
“Kenapa kok menjadi seperti ini? Ibarat kata itu, ini ada rumah genting bocor, lalu yang disalah-salahkan tembok, kan enggak cocok,” cetusnya.
Padahal yang sebenarnya mengancam negara adalah perilaku korupsi. “Yang mengancam negara, korupsi ini,” tegas UIY.
Pun menurutnya, negeri ini terkesan kebingungan. “Ibarat dokter, ini sudah salah diagnosis,” lontarnya.
Tak ayal, salah pula terapi yang diberikan. “Dokter, yang paling dasar itu kemampuannya itu kemampuan diagnosis, baru kemudian terapi,” lugasnya.
“Kalau dia diagnosisnya sudah keliru. Disangka tifus ternyata demam berdarah, disangka demam berdarah ternyata flu biasa. Kan kacau,” timpalnya.
Sebutlah Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) terbaru yang sedang disosialisasikan.
“Terapinya itu (RUU Sisdiknas) justru menghindarkan diri dari iman dan takwa,” singgung UIY, terkait tujuan dari pendidikan nasional yaitu supaya menjadi manusia beriman dan bertakwa, telah diubah menjadi kalimat manusia yang religius.
Padahal terminologi iman dan takwa memiliki definisi konkret. Salah satunya terkait proses tercapainya sebuah keyakinan tentang perkara-perkara yang harus diyakini berdasarkan dalil.
“Lah kalau religius itu opo? Manusia religius itu apa? Enggak jelas,” cetusnya.
Dengan kata lain, bukannya menguatkan tujuan pendidikan untuk menggarap aspek karakter, yang ada malah semacam reduksi terhadap subtansi dari tujuan pendidikan menjadi sekadar manusia religius.
Sehingga, kata UIY menekankan kembali, dari angka 86 persen seperti diungkapkan wakil ketua KPK tersebut berikut fakta-fakta yang terjadi, harus memberikan pelajaran penting bersifat mendasar.
“Harus ada koreksi sungguh-sungguh,” ucapnya, terkait poin tujuan pendidikan nasional yang semestinya tidak menjadi seperti itu.
Selanjutnya, korupsi harus dinyatakan secara eksplisit oleh penyelenggara negara sebagai bahaya laten. “Jika masih radikal-radikul, ini salah sasaran,’ ujarnya.
Sehingga, langkah pemerintah merevisi ketentuan hukum dalam hal ini UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun harus dinyatakan sebagai kekeliruan besar.
“Terus penyingkiran 50 sekian orang-orang yang terbukti di masa lalu memberikan kontribusi luar biasa kepada kinerja KPK itu juga harus dinyatakan sebagai sebuah kekeliruan,” tambahnya, mengenai TWK KPK tahun lalu.
Sebabnya, bagaimana mengatakan ada upaya pemberantasan korupsi dengan sungguh-sungguh, apabila faktanya, revisi UU tersebut justru memperlemah kewenangan institusional KPK.
Selain itu, tersangka, Karomani, dkk. imbuh UIY, kalau nantinya diputus bersalah misalnya, harus mendapatkan hukuman yang setimpal untuk memberikan efek jera kepada para koruptor secara umum, dan khususnya oleh para pendidik.
Karena selain tindak pidana itu sendiri, sang rektor ternyata juga merusak calon peserta didik yang notabene generasi penerus bangsa. “Kalau tidak ada efek jera apa-apa, saya khawatir angka 86 persen yang tadi disebut itu, itu bisa bertambah itu,” ucapnya.
Terlebih ia khawatir arah perjalanan negeri ini bakal semakin masuk ke tubir jurang. Dan suatu saat akan betul-betul terjerembab ke dasar jurang yang sangat fatal.[] Zainul Krian