75 Tahun
Oleh: M. Ismail (Direktur Elsad)
Tiba waktu negeri ini kembali memperingati hari kemerdekaan. Tujuh puluh lima tahun sudah kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan. Sungguh usia yang tak muda lagi bagi Indonesia. Menuju cita-cita menjadi bangsa maju, adil, dan makmur sejahtera lahir dan batin.
Bendera merah putih dipajang di depan rumah dan di jalan-jalan, aneka lomba dengan apik coba ditampilkan, tak ketinggalan upacara seremonial yang selalu diselenggarakan. Semua ini terangkum dalam spirit yang sama; mengisi ulang tahun hari kemerdekaan, untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan dalam mengusir penjajahan.
Para pahlawan telah mewariskan semangat pada generasi berikutnya, bahwa kita tidak boleh menjadi bangsa jongos. Yakni bangsa yang tunduk dalam ketiak bangsa asing. Mereka punya semboyan yang begitu masyhur; merdeka atau mati (syahid). Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Indonesia berhasil mengusir penjajah. Patut kita syukuri.
Namun pekerjaan besar masih harus dipikul oleh generasi berikutnya. Karena sejatinya Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Penjajah Barat memang telah berhasil dipaksa angkat kaki dari negeri ini, tapi ternyata sistem ala Barat masih terus diterapkan.
Sistem sekuler tak mampu menjawab tantangan atas maraknya kriminalitas, jual beli hukum, dst. Sistem politik Indonesia juga begitu kental dengan corak sistem politik Eropa dan Amerika. Trias Politica ajaran dari B. Mostequieu & John Luke sampai kini terus diamalkan. Muncul lah kemudian praktik politik yang opurtunistik. Sistem ekonomi kita mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme-liberal. Dimana pemilik modal asing maupun swasta bebas mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan meminimalisir intervensi dari pemerintah. Pun sistem ekonomi ini lebih fokus ke sektor non real daripada sektor real, sehingga identik dengan aktivitas riba dan perjudian. Alhasil, kekayaan alam negeri ini terus dikuras oleh bangsa asing.
Demikian halnya bidang sosial dan budaya, saat ini cenderung berkiblat kepada barat. Sebagai contoh bagaimana kaum muslim masih begitu gandrung dengan sistem social dan budaya corak barat, seperti dalam hal pergaulan maupun berpakaian. Budaya Islam teramat kental hanya di saat Ramadhan saja. Kesimpulannya adalah Indonesia masih terjajah.
Berbagai cara diupayakan. Bermacam strategi telah coba diuji. Mulai dari pergantian sistem kenegaraan, menggilir sosok pemimpin, hingga seleksi wakil rakyat di Senayan. Hasilnya masih nihil. Sehingga apa yang semestinya dilakukan?
Negeri berpenduduk mayoritas muslim ini sejatinya memiliki khazanah yang agung guna menjadikan Indonesia merdeka seutuhnya. Caranya ialah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Kembali pada Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana spirit Piagam Jakarta yang di saat massa proklamasi kemerdekaan nyaris diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebelum ada manuver tidak sehat dari segelintir pihak.
Saat ini, Islam belumlah dipakai secara menyeluruh. Islam dipandang hanya sebatas agama yang mengatur ibada ritual dan spiritual sebagaimana agama-agama lain.
Padalah Islam adalah agama yang sempurna, mengatur urusan pribadi, keluarga maupun Negara. Allah Swt berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kusempurnakan nikmatKu kepadamu serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al- Maa’idah: 3)
Abdurrahman Muhammad mengatakan: “Dalam ayat yang mulia di atas, Allah SWT mengabarkan bahwa agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW kepada seluruh manusia adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh perkara yang cocok diterapkan di setiap zaman, setiap tempat dan setiap umat. Islam adalah agama yang sarat dengan ilmu, kemudahan, keadilan dan kebaikan. Islam adalah pedoman hidup yang jelas, sempurna dan lurus untuk seluruh bidang kehidupan. Islam adalah agama dan negara (daulah), di dalamnya terdapat manhaj yang haq dalam bidang hukum, pengadilan, politik, kemasyarakatan dan perekonomian serta segala perkara yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan dunia mereka, dan dengan Islam nantinya mereka akan bahagia di kehidupan akhirat.” (Dinul Haq, Abdurrahman bin Hammad Alu Muhammad)
Taqiyuddin An-Nabhani juga menjelaskan, Islam mengatur kehidupan dengan sempurna. Pertama: Mengatur segenap perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Khaliq-nya. Tercermin dalam aqidah dan ibadah ritual dan spiritual. Seperti: Aqidah, sholat, zakat, puasa, serta ibadah yang lain. Kedua: Mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Yang diwujudkan berupa akhlak, pakaian, dan makanan. Ketiga: Mengatur manusia dengan sesama (muamalah). Tercermin dalam sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb. (Nidhomul Islam, An-Nabhani Taqiyuddin).[]