57 Mantan Pegawai KPK Direkrut Polri, Langkah Kompromi Rezim?

Mediaumat.news – Tanggapi usulan Kapolri yang ingin merekrut 57 mantan pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) menjadi ASN Polri, Direktur el-Harokah Research Center (HRC) Achmad Fathoni menduga rencana itu sebagai langkah kompromi rezim di tengah desakan publik untuk membatalkan pemecatan tersebut.

“Rencana Kapolri itu sebagai langkah kompromi di tengah desakan untuk membatalkan pemecatan itu,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Jumat (01/10/2021).

Ia menilai, justru langkah tersebut tidak akan menyelesaikan masalah sebenarnya yang akar permasalahannya terletak pada awal proses tes wawasan kebangsaan (TKW) yang ditengarai bermasalah.

Memang pada dasarnya, lembaga pemberantasan korupsi bukan KPK saja yang berwenang. Namun demikian, KPK menurut Achmad adalah lembaga yang bersifat independen yang selama ini masih terjaga eksistensinya. “Jika tujuannya untuk pemberantasan korupsi, mengapa harus di lembaga kepolisian, seharusnya yang lebih tepat ya tetap di KPK,” herannya.

Polemik tersebut, menurutnya, juga mengindikasikan ketidakprofesionalan serta tidak kompetennya kinerja birokrasi. Apalagi setelah pengesahan UU KPK No. 19/2019, menggantikan UU KPK yang lama No. 30/2002, pada tanggal 19 Oktober 2019, yang selain menimbulkan perselisihan antara lembaga negara, ia juga melihat kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia juga menurun.

Puncak Gunung Es

Terkait pelaksanaan TWK KPK yang ia nilai sebagai sebuah kasus maladministratif, hanyalah bagian dari ‘puncak gunung es’ sejak 2019. Wajar jika publik berharap presiden turun tangan. “Salah satu yang diharapkan yaitu, Presiden Joko Widodo mengambil sikap mengenai persoalan ini,” tandasnya.

Penting dipahami, sambung Achmad, penyebab mendasar berbagai polemik sejak awal pelaksanaan TWK, pemecatan 57 pegawai KPK, serta usulan perekrutan menjadi ASN Polri adalah karena penerapan sistem demokrasi yang secara tidak langsung terus melahirkan para koruptor.

Ia menambahkan, terjadinya tindak pidana korupsi bukan sekadar karena kebutuhan ekonomi, melainkan kerakusan ingin menguasai hak orang lain dengan ‘menghalalkan’ segala cara. “Di samping itu, hukum bisa dibeli, aturan dan undang-undang bisa direkayasa, setiap pasal juga bisa diatur dan dinegosiasikan demi manfaat dan keuntungan pihak atau kelompok tertentu,” bebernya.

Apalagi, KPK yang menurutnya sudah kehilangan independensi dikarenakan terdapat campur tangan penguasa yang salah satunya melalui UU KPK No. 19/2019, berdampak pada penyelesaian problem bangsa yang tak kunjung bisa dituntaskan secara komprehensif.

Solusi

Oleh karena itu sebagai solusi, Achmad mengajak umat agar memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang akan membentuk sifat adil dan bertakwa hingga mampu menuntun siapa pun untuk memiliki self-control yang kuat.

Dalam sistem Islam, lanjut Achmad, yang dibangun adalah SDM berdasarkan akidah Islam dan ketakwaan kepada Allah SWT. Sehingga, para pejabat tidak akan mau menerima apa saja yang bukan hak mereka, meski tak seorang pun mengawasi mereka.

“Mereka yakin ada pengawasan dari Allah yang Maha Melihat dan Maha Mendengar segala aktivitas dan tingkah laku mereka di mana pun berada. Inilah kepribadian seseorang yang konsisten menjalankan agamanya,” tuturnya sembari mengutip dua Hadits Rasulullah SAW dengan riwayat sama, Imam Ahmad yang artinya,

‘Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.’, dan ‘Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.’

Oleh karena itu, sekali lagi ia menegaskan, gagalnya penguasa dalam upaya menuntaskan perkara korupsi, meski telah membentuk lembaga independen sekali pun, adalah akibat menerapkan sistem yang rusak.

Maka, sambungnya, sungguh perilaku aneh dan tidak bisa diterima akal sehat, jika ada pihak tertentu yang menuduh dan menyematkan kecurigaan kepada mereka yang konsisten menjalankan ajaran agamanya. Atau justru sebaliknya, jangan-jangan ada yang merasa khawatir jika ajaran agama dijalankan, akan menghalangi para koruptor menjalankan kejahatannya.

“Inilah yang menjadi konsekuensi penerapan sistem demokrasi sekuler. Aturan Allah dicampakkan, hingga tak ada rasa takut atas dosa dan siksa karena kejahatan yang dilakukan mengambil hak orang lain tanpa alasan yang benar,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: