101 Tahun Umat Tanpa Khilafah, UIY Sebut Tiga Substansi yang Paling Dirasakan

 101 Tahun Umat Tanpa Khilafah, UIY Sebut Tiga Substansi yang Paling Dirasakan

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengatakan, sejak runtuhnya khilafah tahun 1924 hingga saat ini, atau setidaknya selama 101 tahun menurut perhitungan hijriah, ada tiga substansi dampak yang paling signifikan bisa dirasakan dari ketiadaan sistem pemerintahan Islam tersebut.

“Kalau ditanya apa yang paling signifikan kita rasakan ini hari dengan tidak adanya khilafah, ya tiga ini,” jawabnya dalam Collaboration Talkshow, puncak rangkaian Ekspo Rajab 1443 H: Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam, hari ketujuh yang dilakukan secara daring, Ahad (27/2/2022)

Pertama, ukhuwah islamiah atau persatuan umat Islam yang tidak bisa terwujud. Kedua, penerapan syariah yang tidak kaffah. Ketiga, tidak efektifnya dakwah berikut penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia.

Tanpa persatuan, kaum Muslim akan lemah. Meski faktanya, jumlah umat Islam saat ini menjadi yang terbesar di dunia, yakni 1,7 miliar jiwa. “Ini hari kalau kita mengikuti Pew Research Center, itu jumlahnya 1,7 miliar. Entitas umat beragama terbesar di seluruh penjuru dunia,” terangnya.

Menurut UIY, hal itu bisa disaksikan dari berbagai tragedi kemanusiaan di dunia Muslim. Misal, di Rohingya, Uighur, Palestina, termasuk di India baru-baru ini.

“Bagaimana bisa saudari-saudari Muslimah kita di sana (India) itu begitu dinistakan. Sekadar mencoba menutup aurat saja diperlakukan seperti seolah-olah mereka adalah penjahat besar,” geramnya.

Celakanya, umat Islam tidak bisa melakukan apa pun kecuali hanya melihat dari jauh dengan tatapan sedih serta elusan dada. “Paling jauh kita kemudian berteriak. (Tetapi) kadang-kadang berteriak pun sekarang sudah tidak bisa. Karena segera dicap bahwa anda begini-begitu,” sedihnya.

Namun yang lebih menyedihkannya, ketidakberdayaan umat Islam tersebut ternyata merembet ke mana-mana, termasuk ketidakmampuan menjaga syiar serta simbol-simbol Islam yang mulia.

“Al-Quran dinistakan, dibakar. Di internet kita melihat bagaimana Al-Quran disobek-sobek untuk lap orang, mohon maaf, BAB. Bahkan dimasukkan ke toilet segala macam, kita tidak bisa melakukan apa-apa,” paparnya.

Malah, Nabi Muhammad SAW yang mulia, dikarenakan Allah SWT dan para malaikat-Nya bershalawat untuk beliau, pun dihinakan. “Atas hak apa mereka melakukan itu? Tidak ada hak apa pun. Tetapi mereka melakukan itu, dan kita tidak bisa melindungi,” tandasnya.

Lebih lanjut, berkenaan dengan imbas kedua, yakni penerapan syariah Islam yang tidak menyeluruh, menurut UIY, justru memiliki konsekuensi digantinya sistem Islam dengan yang bukan berasal dari Islam.

Hal itu, menurutnya, bisa dilihat dari sistem ekonomi yang diadopsi saat ini memakai kapitalisme. Begitu juga politik yang menggunakan demokrasi. Pun sikap beragama yang cenderung sinkretistik.

“Ini hari sinkretisme begitu rupa, tampak orang seperti enggak cukup dengan salam assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Harus ditambah apalah itu salam-salam yang sesungguhnya tidak dikenal,” ungkapnya.

Padahal, kata UIY, sesungguhnya ucapan assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh sudah lebih dari cukup lebih dari itu semua.

Tak hanya itu, pendidikan serta kebudayaan, sambungnya, juga tak luput dari paham materialisme dan westernisme. “Umat Islam itu hampir-hampir enggak ada bedanya dengan umat selain Islam,” jelasnya.

Kalaupun ada, mungkin tinggal shalat dan model pakaian. “Kalau pakaiannya pun tidak beda, shalatnya pun tidak dilakukan, maka praktis sudah tidak ada bedanya,” khawatirnya.

Sedangkan terkait dengan dampak ketiga, yakni dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia tidak bisa secara efektif dilakukan, menurut UIY, berpotensi menjadikan umat Islam tidak bisa paham, salah paham, atau pahamnya salah. Bahkan, sesama umat Islam pun berpotensi besar saling berhadap-hadapan.

“Kita ingin memegang Islam dengan sungguh-sungguh, tetapi dikatakan oleh mereka dengan sebutan-sebutan yang (radikal),” ujarnya.

Sementara di saat bersamaan, tidak ada tuntunan bahwa umat Islam harus menjadi seorang Muslim radikal, sebagaimana juga tidak ada tuntunan untuk menjadi Muslim moderat.

Oleh karena itu, kata UIY, patut dipertanyakan kualitas dari jumlah umat Islam yang ternyata lebih besar dari Kristen Katolik yang lebih dari 1,1 miliar jiwa, Kristen Protestan kurang lebih sekitar 700 juta jiwa, Hindu kurang lebih satu miliar jiwa, Budha kurang lebih 400 juta jiwa, sebagaimana kutipan data lanjutan yang diungkap Pew Research Center itu.

“Ini hari ada 1,7 miliar, Alhamdulillah. Tetapi 1,7 miliar dalam jumlah, sementara dari segi kualitas, kita bisa mempertanyakan seperti apa kualitas itu karena tidak ada dakwah yang efektif yang dilakukan secara langsung oleh khilafah,” terangnya.

Padahal, dengan penerapan syariah Islam secara kaffah melalui dakwah fikriyah, kemuliaan dan keagungan syariat Islam bisa dijelaskan sehingga tidak ada lagi umat Islam yang salah paham terhadap syariah-Nya.

Hal demikian bisa disandingkan dengan pernyataan seorang tokoh Muslim dari sebuah partai yang mengklaim berbasis Islam, tetapi justru mengatakan bahwa ajaran Islam khilafah telah usang.

“Bagaimana bisa tokoh Muslim dari partai yang katanya berbasis Islam mengatakan ajaran Islam itu usang. Atas dasar apa?” ungkitnya terkait pernyataan itu awal 2022 lalu.

Untuk itu UIY pun menyangkal pernyataan tersebut. “Kalau diukur dari kurun lahirnya, demokrasi jauh lebih usang. Dia lahir dari 300-400 tahun sebelum Masehi. Khilafah, 600 (tahun) setelah Masehi,” pungkasnya dengan menyindir demokrasi yang dipeluk tokoh dimaksud, tak pernah dikatakan sebagai sesuatu yang usang.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *