Lebih dari 100 tahun yang lalu pada tahun 1917, Revolusi Bolshevik berlangsung di Rusia dan serangan terhadap kementerian luar negeri membuahkan suatu kesepakatan oleh dua pegawai sipil Kerajaan Inggris dan Perancis – Sir Mark Sykes dan Francois Georges-Picot. Menjelang Perayaan Seratus Tahun Perang Besar: 100 tahun yang lalu, yang mewakili negara-negara mereka, para raja saat itu setuju untuk mengkerat-kerat Timur Tengah untuk memastikan kaum Muslim tidak pernah lagi menjadi ancaman bagi mereka. Negeri yang sebelumnya bersatu dipecah-pecah menjadi banyak negara dengan banyak raja dan otokrat disebut sebagai pemerintah dan dipaksakan kepada rakyat. Namun, 100 tahun berlalu, perjanjian Sykes-Picot hancur berantakan dan kekuatan yang seharusnya dihalau, bermunculan di mana-mana. Dua dari negara-negara ini – Irak dan Suriah – tidak lagi memiliki perbatasan yang real di antara mereka.
Adalah penting untuk dicatat bahwa pada hari ini, batas-batas politik di Timur Tengah tidak menunjukkan kelompok masyarakat yang berbeda. Perbedaan diantara orang Irak, Suriah, Yordania, dll yang sepenuhnya diciptakan oleh Perancis dan Inggris sebagai metode untuk mengadu domba orang Arab dengan yang lainnya. Perbatasan yang ditarik dalam perjanjian Sykes-Picot diciptakan tanpa memperhatikan keinginan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Penting untuk dicatat bahwa bahkan pada hari ini, batas-batas politik di Timur Tengah tidak menunjukkan kelompok etnis atau agama yang berbeda. Model Eropa yang berkaitan dengan hak-hak individu yang diekspresikan dalam negara bangsa, tidak pernah dan tidak sesuai dengan model budaya mereka. Bagi orang Arab, keluarga – dan bukan individu – adalah unit dasar masyarakat, dengan loyalitas kepada Khalifah. Keluarga adalah milik suatu klan dan klan milik suatu suku, bukan milik negara. Bangsa Eropa menggunakan konsep negara bangsa untuk mengekspresikan perpecahan diantara “kami” dan “mereka”. Bagi orang Arab, ini adalah suatu kerangka yang asing, yang hingga hari ini masih bersaing dengan identitas agama dan kesukuan. Negara-negara yang diciptakan bangsa Eropa dibuat dengan sewenang-wenang – dimana penduduknya tidak memberikan kesetiaan utama kepada mereka. Tidak mengherankan, inilah alasannya mengapa negara-negara itu menjadi negara-negara gagal. Namun, apa yang mengejutkan, adalah bagaimana hal ini sudah berlangsung sangat lama.
Bangsa-bangsa itu bertahan selama ini karena para oportunis yang setia kepada Perancis dan Inggris berkuasa, yakni, para diktator yang mereka tempatkan. Para pemimpin Barat, lembaga think tank dan media mereka telah lama mendukung para diktator dan otokrat di Timur Tengah itu. Barat telah mendukung para otokrat itu karena mereka adalah satu-satunya kekuatan yang mampu membendung arus ke arah Islam, yang mewakili sistem nilai di kawasan itu dan mereka memastikan tetap adanya pasokan minyak yang aman. Mendukung para otokrat untuk alasan “keamanan”, adalah suatu pembenaran yang sama yang digunakan oleh para otokrat Arab untuk menjaga para pendukung mereka di dalam negeri tetap sejalan. Di Mesir, setelah terjadinya kudeta militer yang menyingkirkan Ikhwanul Muslimin dari kekuasaan, militer memulai kampanye penindasan yang keras terhadap musuh-musuhnya. Strategi ini tidak hanya bertujuan untuk menekan Ikhwan, kekuatan yang dilenyapkan secara politis, tetapi juga bertujuan untuk mempolarisasi sistem politik dengan cara memastikan dukungan untuk militer di kalangan kelas menengah perkotaan.
Sementara para pemimpin di dunia Barat menerima dukungan dari rakyat dan dapat diturunkan dengan mobilisasi massa, di Timur Tengah basis pendukung penguasa adalah Barat dan bukan rakyat. Para otokrat, monarki dan diktator itu berkuasa dengan tangan besi, dengan cara menindas rakyat dan menggunakan dinas rahasia untuk mempertahankan takhta dan mempertahankan status quo mereka.
Sykes-Picot berusaha untuk mengakhiri Islam sebagai kemungkinan politik dalam hal pemerintahan di Timur Tengah. Namun, sejumlah cendekiawan Barat mengakui bahwa kaum Muslim di wilayah itu secara kultural berbeda dengan Barat. “Kasus Mesir menimbulkan pertanyaan yang menarik dan jelas tanpa memandang bagaimana semuanya terjadi. Bagaimana jika dilakukan pemilu demokratis dan rakyat memilih sebuah rezim yang melanggar prinsip-prinsip HAM Barat? Apa yang terjadi jika, setelah upaya Barat yang luar biasa untuk memaksa pemilu demokratis, para pemilih itu memilih untuk menolak nilai-nilai Barat dan memilih arah yang sangat berbeda – misalnya, para pemilih menganggap nilai-nilai Barat sebagai nilai moral yang tercela dan bertujuan untuk memerangi mereka? … tetapi pernyataan umum adalah bentuk narsisisme di Barat yang menganggap bahwa semua orang yang berakal, yang dibebaskan dari penindasan, akan meniru kami”[1]. George Friedman mengakui bahwa rakyat di Timur Tengah secara kultural berbeda dan oleh karenanya belum tentu memeluk nilai-nilai Barat. Sementara pemilu, keamanan, kepemilikan dan supremasi hukum adalah nilai-nilai universal, namun demokrasi, kebebasan dan sekularisme bukan nilai-nilai universal, dan memiliki asal-usulnya di Eropa dimana terjadi pergolakan antara gereja dan rakyat.
Perbedaan budaya ini telah menyebabkan kegagalan nilai-nilai Barat menjadi meluas di Timur Tengah dan di sinilah para otokrat diperlukan – untuk memastikan wilayah tersebut tidak kembali ke pemerintahnya sendiri dan mendominasi salah satu wilayah paling strategis di dunia dan mengusir Barat.
Timur Tengah terus menjadi sasaran penelitian, analisis, para pemegang gelas PhD dan para kritikus. Sementara pada beberapa abad di kawasan ini telah disaksikan banyak aktor, negara dan kekuatan yang membentuknya, 100 tahun ke depan akan sangat berbeda dari 100 tahun lalu. Ada banyak tren yang sudah terbentuk yang akan menghadirkan tantangan yang lebih besar, lebih dalam dan lebih luas untuk pengaturan saat ini. Para penguasa di kawasan ini memiliki sedikit pemahaman tentang hal ini dan umumnya bersikap pragmatis terhadap tren yang muncul, atau telah menggunakan kekerasan untuk mempertahankan status quonya. Tren ini berkisar dari masalah ekonomi, politik hingga sosial. Dalam jangka menengah hingga jangka panjang, Timur Tengah akan memiliki penduduk yang jauh lebih besar, terutama terdiri dari kaum muda. Mereka akan membutuhkan pekerjaan, untuk mendapat tempat dan akan ingin memiliki suara dalam pemerintahan di negara mereka. Ke depan, penindasan dan otoritarianisme bukan lagi alat yang dapat diandalkan oleh para otokrat di kawasan ini karena hal itu tidak lagi berdampak pada rakyat, seperti yang terlihat pada Musim Semi Arab.
Rakyat di Timur Tengah sekarang dihadapkan pada berita yang dilarang disiarkan dan berbagai pendapat, meskipun ada upaya oleh pemerintah mereka untuk membatasi aliran informasi yang bebas. Mereka dapat mendiskusikan hal-hal yang tabu, mengkritik pemimpin mereka, dan memprotes ketidakadilan. Selain itu, penduduk yang tumbuh dan muda ini – di masa depan akan sangat berbeda dengan Timur Tengah masa lalu.
Semua tren, maju ke depan, menunjukkan masalah berat bagi status quo.
Timur Tengah saat ini berdiri pada suatu zaman. Jahitan arsitektur buatan yang dibuat oleh Inggris dan Perancis sedang terobek-robek dan tidak ada jumlah jahitan yang bisa menyatukannya. Para penguasa Muslim, yang telah lama memainkan peran untuk mempertahankan arsitektur buatan di Timur Tengah, telah kehilangan senjata ampuhnya – yakni membuat ketakutan, yang merupakan satu-satunya cara mereka untuk mempertahankan Perjanjian Sykes-Picot, serta diri mereka sendiri untuk berkuasa. Dengan melihat ke depan, ada kecenderungan demografi, ekonomi, politik, sosial, teknologi dan geopolitik yang sangat besar yang terbentuk yang tidak diketahui oleh para otokrat regional. Semua itu akan melenyapkan segala sesuatu yang menghalangi mereka dan menyapu mereka yang mencoba mempertahankan arsitektur yang dibuat secara artifisial.